Menghangatkan Cinta dan Senja yang Sempat Basi
Oleh: Hanz
Pramana
Anda
penggemar novel sastra? Jika grade Anda sebagai penikmat sastra sudah di atas
rata-rata, mungkin tema senja, cinta, atau sejenisnya, sudah ditinggalkan jauh
di belakang. Atau barangkali tinggal sekadar pajangan di lemari buku. Sudah
basi. Sastra yang membalut persoalan nonromantika: masalah sehari-hari seperti
korupsi, intoleran, radikalisme, sampai pada keutuhan bangsa, barangkali lebih
menarik.
Budi Miank,
seorang wartawan, blogger, dan sastrawan yang telah memulai debutnya dengan
antologi puisi "Ombon, Perempuan Pengembara", kini tampil di jagad
sastra lokal dengan novel "Senja dan Cinta yang Tak Pernah
Tiba".
Di jagad
"pernovelan", penikmat sastra tentu tak asing dengan Seno Gumira
Ajidarma. Tema senja menjadi bidang garapan di sejumlah cerita pendek dan
novelnya. Ada banyak aspek menarik dari senja yang telah diolah Seno menjadi
karya yang menjadikan namanya seakan tak terpisahkan dari senja itu
sendiri.
Seno yang
seorang wartawan, melukiskan senja yang maya, menjadi seakan laporan jurnalistik.
Semua orang--yang senang membaca tentu saja--pasti bisa hanyut dengan olahan
katanya.
Lalu, ada
pula penyair senior Sapardi Djoko Damono. Sang profesor juga populer dengan
satu puisinya berjudul "Aku Ingin", yang di antara lariknya berbunyi:
aku ingin mencintaimu//dengan sederhana.
Kaum muda
lebih mengenal musikalisasi puisinya Sapardi, barangkali. Sebab, kaum muda
generasi gadget mana yang masih betah membolak-balik buku sastra, apalagi jika
kemunculannya jauh dan sangat jauh sebelum kelahiran mereka?
Dua tokoh
ini--dan masih ada sejumlah tokoh lain seperti Si Burung Merak WS Rendra--telah
mewarnai sekaligus dikolaborasikan oleh Budi Miank dalam novelnya. Dia
bercerita tentang senja dan aneka romatikanya. Dia juga berpuisi, yang seperti
Sapardi, ingin mencintai seseorang dengan sederhana.
Baiklah,
mungkin hal-hal romantisme yang rasa-rasanya sudah menjadi tema yang basi, kini
coba dihangatkan kembali. Siapa lagi yang kini masih tertarik dengan tema-tema
seperti ini, selain kaum muda yang sedang puber? Dan novel ini, jelas sekali,
tidak spesifik ditujukan kepada kaum alay itu.
Jalinan
bahasanya yang kuat, pilihan kata yang dipertautkan kokoh dengan kata lainnya,
telah menunjukkan penulisnya memang seorang pegiat kata-kata sejak lama. Buka seseorang
yang sedang coba-coba, sambil waswas menanti kritikan pembaca.
Maka mari
bicara senja, mari bicara cinta. Mungkin, novelis kelahiran Angan
Tembarang--sebuah desa yang menurut dia tak terjejak di google map karena
tertutup daun pisang--sedang mengasah kepuitisannya melalui narasi.
Membaca novel
ini, seakan kita disuguhkan sebuah prosa liris. Seperti berpuisi sejak halaman
awal hingga akhir. Seperti menimang-nimang perasaan, dan mengaduk-aduk
kenangan, sampai akhirnya dia menyadari, senja dan cinta itu memang tak pernah
tiba.
Jangan
lupakan, peluncuran buku antologi puisinya telah mendahului. Sehingga gaya-gaya
yang puitis pun masih sangat kental dalam novel ini, seakan setiap cerita hanya
cocok jika "didendangkan" dengan rangkaian kata-kata indah dan aneka
kiasan.
Tak ada nama
tokoh, pula tak ada nama tempat. Tak ada pula rentang waktu yang bisa diukur,
atau tapak-tapak riil yang bisa dijejak. Latar cerita dibalut dengan
surealisme. Budi Miank mengajak pembacanya bertamasya ke suatu arena tanpa
nama, tanpa penunjuk waktu, pun tanpa sesiapa yang bisa ditanya. Mengembara
dalam segara kata!
Cerita-cerita
yang saling bertaut dalam novel setebal 142 halaman ini disuguhkan dalam
chapter-chapter singkat, antara dua hingga empat halaman. Di beberapa bagian,
ikut disertakan istilah lokal, seperti Jubata untuk merujuk
pada Tuhan, dan kerigai merujuk pada keranjang khas masyarakat
Dayak yang dijalin dari rotan atau bambu.
Simak
paragraf berikut ini:
Senja
memberiku arti yang berbeda pada setiap garis-garis yang dilukiskan langit.
Senja seperti membuka tirai malam. Ia mempersiapkan ruang gelap, yang membuat
bulan dan bintang begitu berbinar. Senja yang durasinya singkat, memberi nuansa
lain dalam kehidupan semesta.
Semua orang
tentu tahu seperti apa suana senja. Mungkin ada yang benar-benar
memperhatikannya, ada pula yang cuek. Budi Miank menghadirkan
"definisi" yang puitis dengan jalinan kata-kata pilihan yang kuat,
sehingga orang menemukan perbendaharaan nuansa yang berbeda dari tuturan orang
kebanyakan.
Lalu
perhatikan pula paragraf ini:
Sebenarnya
aku ingin bercerita padamu. Tentang rindu yang tak sanggup lagi aku tahan.
Berkali purnama sudah kau tak bersua denganku. Aku sudah seperti seekor pungguk
yang terisak bila purnama tiba. Tetapi aku tak bisa mencurahkan semua cerita
rindu itu. Kau tak di sini.
Tumpahan
perasaan yang tertahan, dan dia harus menelan kembali sesuatu yang tak bisa
dikeluarkan. Begitu kira-kira nuansa yang ingin dia tampilkan pada deretan
kalimat itu.
Apakah harus
selalu ada simpul akhir yang harus Anda tambatkan dari setiap bacaan yang telah
tuntas. Bisa iya, bisa juga tidak. Bisa pula ini hanya media bagi Anda untuk
mengembara dalam segudang kata-kata puitis, menghanyutkan, menghangatkan, atau
sekadar pengisi waktu luang.
Jika Anda
akhirnya hanyut dalam buaian kata-kata, bahkan sampai penasaran siapa gerangan
si anonim yang menjadi sentral novel ini, atau di mana setting peristiwanya,
maka Budi Miank telah berhasil membuat Anda lebur dalam pengembaraan yan sama.
Senja dan cinta, memang lautan yang tiada bertepi.
* Penulis
adalah penggemar sastra, tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar: