Tiga Tokoh Dayak dan Katolik Kalimantan Barat di Awal Kemerdekaan

June 03, 2018
Last Updated



PONTIANAK, KOSAKATA - Tjilik Riwut, Franciscus Conradus Palaunsoeka dan Johanes Chrysostomus Oevaang Oeray, siapa mereka? Ketiga orang ini, telah berkontribusi dengan kapasitasnya masing-masing pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

Apa saja yang telah mereka perbuat? Dismas Aju—populer dengan nama Aju—seorang wartawan senior dan penulis di provinsi ini, telah menuliskan ketiga tokoh itu dalam sebuah buku. Judulnya, “Sejarah Perjalanan Sosial dan Politik Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat dari Era Kolonial Sampai 2017”.

Buku setebal 923 halaman ini di antaranya, mengungkap peran Tjilik Riwut, Franciscus Conradus Palaunsoeka dan Johanes Chrysostomus Oevaang Oeray, sebagai tokoh sentral masyarakat Suku Dayak di Kalimantan pada awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Tiga-tiganya beragama Katolik. Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah, 1958 – 1967, personil andalan operasi intelijen Letkol (Inf) Zulkifli Lubis dalam membubarkan negara federal (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) di Kalimantan, dan ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional tahun 1999.

F.C. Palaunsoeka, pendiri Dayak In Action (DIA) di Putussibau, 30 Nopember 1945, pendiri Partai Persatuan Dayak di Kalimantan Barat, 30 Nopember 1946, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pendiri Harian Kompas, Jakarta, 1965, tokoh sipil di balik integrasi Timor Timur dengan Indonesia tahun 1975, dan Staf Ahli Analis Komunis Eropa Timur Badan Intelijen Negara (BIN), 1975 - 1982.

J.C. Oevaang Oeray, Gubernur Kalimantan Barat, 1959 – 1966, dan politisi pertama kali di Indonesia mengusulkan Pancasila sebagai ideologi negara di dalam Sidang Konstituante di Bandung, 10 Nopember 1956, serta atas dorongan Tjilik Riwut, menggiring Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, menggabungkan diri dari negara federal ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimuat di Majalah Keadilan, Pontianak, edisi 12 April 1950.

Saat Presiden Soekarno, tidak setuju Indonesia berbentuk negara federal, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS), berdasarkan Perjanjian Meja Bundar, Denhaag, Belanda,  23 Agustus - 2 November 1949, Letkol (Inf) Zulkilfli Lubis diperintahkan berkolaborasi dengan militer Jepang, menggelar operasi intelijen di seluruh Indonesia.

Belanda sendiri baru mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk federal, yaitu RIS terhitung 27 Desember 1949.

Melalui peran strategis operasi intelijen Tjilik Riwut di Kalimantan pula, terungkap Jepang di balik Presiden Soekarno, menolak Indonesia berbentuk negara federal, yaitu RIS.

Militer Jepang pula berada di belakang Presiden Soekarno, melalui operasi intelijen di bawah komando Zulkifli Lubis dan Tjilik Riwut sebagai motor penggerak operasi intelijen di Kalimantan, berhasil membuat Belanda angkat kaki dari Indonesia, pasca Sultan Hamid II, Sultan Pontianak, ditangkap di Hotel Des Indes, Jakarta, 5 April 1950, karena dituduh berada di balik penyerbuan Rapat Kabinet RIS di Jakarta oleh Kapten Pierre Raymond Westerling, 24 Januari 1950.

Mayor Tjilik Riwut ditugaskan Zulkifli Lubis, sebagai andalan memobilisasi masyarakat di Kalimantan, menolak negara federal untuk beralih ke NKRI berkedudukan di Yogyakarta. Untuk memuluskan operasi intelijen, tanggal 17 Oktober 1947, tiga belas orang anggota berhasil diterjunkan di Samba, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Tim Tjilik Riwut diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota RI-002, diterbangkan Bob Freeberg, warga Amerika Serikat sekaligus sebagai pemilik pesawat, ko-pilot Opsir (U) III Suhodo, dan jump master Opsir Muda (U) III Amir Hamzah.

Peristiwa penerjunan tim Tjilik Riwut di kemudian hari, merupakan peristiwa menandai lahirnya satuan tempur pasukan elit  TNI Angkatan Udara, yaitu Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), dimana sekarang dikenal Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Kopaskhas).

Jika anda ingin menambah wawasan tentang sejarah Kalimantan Barat dan kontribusinya terhadap Negara ini, bolehlah buku ini menjadi bagian dari bahan bacaan anda. (Hnz)

Selengkapnya