Tinggalkan Bakar Lahan, Penduduk Desa Beralih ke Pertanian Organic
Foto: KoSaKata |
“Barangkali ini manfaat
lain dari kebun organic ya, saya baru dua tahun belakangan mempelajarinya.
Sayuran lebih awet, usia tanaman lebih panjang sehingga saya bisa penen terus,”
kata Mujillah, petani di Desa Lembah Hijau 2.
Desa di Kecamatan Nanga
Tayap, Kabupaten Ketapang, daerah pedalaman Kalimantan Barat menjadi satu dari
tiga desa—selain Desa Tajuk Kayong dan Siantau Raya—dengan sekitar 60 petani
yang menerapkan Pertanian Ekologis Terpadu (PET) sebagai peralihan pertanian
dengan cara membakar lahan.
“Bertani organic sedikit
repot karena banyak yang harus dikerjakan, tetapi hasilnya memuaskan. Bisa
lebih dari dua kali lipat dari hasil pertanian kimia,” kata wanita yang enam
bulan belakangan melakukan replikasi cara organic di pekarangan rumahnya seluas
10 kali 10 meter.
Sebelumnya, dia bersama
30-an petani lain di desa itu—dominan pesertanya perempuan—belajar bertani
sayuran organic di sebuah kebun belajar seluas seperempat hektar. Rumput
tebasan lahan yang biasanya dibakar, dicacah untuk bahan kompos dicampur cairan
Mikro Organisme Lokal (MOL) yang diproduksi sendiri.
Ketua Kelompok Tani
Sinar Harapan, Desa Lembah Hijau 2, Yatimin (laki-laki, 63), mengatakan, pola
organic juga diterapkan dengan kombinasi kebun sayur bersama ternak sapi,
kambing, dan kolam ikan. Bagian dari sayuran yang tidak digunakan, dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, sebaliknya kotoran ternak diolah menjadi pupuk.
“Pengendalian hama kami
lakukan secara alami dengan menanam tanaman pengalih hama. Ada jenis
bunga-bungaan yang ditanam di sela sayuran untuk mengundang predator alami,”
kata Yatimin.
Insektisida alami
diproduksi dengan mengolah beberapa jenis daun local untuk disemprotkan ke
sayuran, mengusir beberapa jenis hama.
Para petani lain di Desa
Tajuk Kayong mencoba menerapkan pengolahan lahan tanpa bakar untuk tanaman
padi. Ketua Kelompok Tani Mitra Bedulor, Ahmadi (50) mengatakan, lahan 1,000
meter persegi dengan 8 kilogram bibit dan usia tanam 4 bulan, menghasilkan
gabah kering 200 kilogram. Ini dua kali lipat besarnya dibandingkan system
bakar lahan.
“Kami mengenal cara baru
bertani dengan memanfaatkan bahan-bahan dari sekitar tanpa harus membeli,” kata
Ahmadi.
Camat Nanga Tayap,
Dewanto, mengakui, tidak mudah mengedukasi masyarakat desa yang sudah familiar
dengan cara membakar untuk membersihkan areal kebun sayur dan ladang, sebagai
tradisi warisan leluhur masyarakat Dayak.
“Cara baru seperti ini
barangkali terdengar aneh dan mustahil, tetapi mereka akan meniru jika sudah
melihat hasilnya. Saya berharap semakin banyak desa bisa difasilitasi untuk
peralihan pola pertanian. Secara keseluruhan ada 20 desa, namun yang tersentuh
baru 8 desa,” kata Dewanto.
Foto: KoSaKata |
Delapan desa itu berada
di sekitar konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit Sinar
Mas Agribusiness and Food yang mulanya menerima peningkatan kapasitas dan
peralatan untuk berperan menekan angka kebakaran hutan dan lahan.
Vice President Agronomy
Sinar Mas Agribusiness and Food Wilayah Kalimantan Barat, Junaidi Piliang,
mengatakan, usaha menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan tidak bisa
semata-mata dengan melarang penduduk membakar lahan. Dibutuhkan pendampingan
agar mereka beralih dari cara lama bertani, sehingga model organic dinilai
menjawab kebutuhan local.
Titik
panas dan titik api menurun signifikan dari perbandingan data 2015 (423 titik
panas dan 271 titik api), berkurang pada 2017 (13 titik panas dan 9 titik api).
CEO Perkebunan Sinar Mas Wilayah
Kalimantan Barat, Susanto Yang, mengatakan, memperkenalkan dan menerapkan
metode pertanian organik menjadi solusi pemenuhan gizi local secara mandiri dan
berkelanjutan. Setiap keluarga kini mampu menghemat hingga Rp 300,000 per bulan
dari pemotongan belanja sayuran dan rempah, karena bisa diambil dari kebun
sendiri. Juga mereka menerima Rp 500,000 per bulan dengan menjual sayuran ke
desa-desa sekitar. (Hnz)
Tidak ada komentar: