Tradisi Langka Memandikan Tengkorak Pusaka Dayak Angan

Satu di antara komunitas Dayak di Kalimantan Barat yang meskipun
bersusah payah, tapi tetap melakukan ritual ini adalah warga di Desa Angan
Tembawang. Daerah ini merupakan bagian dari Kecamatan Jelimpo, Kabupaten
Landak, Kalimantan Barat.
Nama ritualnya adalah notokng. Nama yang muncul dari alat music tabuh
totokng. Mestinya, ritual ini digelar saban tahun, ketika musim panen padi
tiba.
Pada 10-12 Mei 2018 yang lalu, ritual notokng kembali digelar.
Waktu yang tiga hari terbilang sebagai gawe besar. Dalam kondisi sulit,
biasanya notokng tidak dirayakan, cukup dukun yang menyimpan kepala itu
menyiapkan sajian sederhana. Kadang, jika biaya cukup, notokng digelar satu
hari.
Apa maksud ritual notokng? Begini ceritanya.
Mungkin 200-an tahun lalu, peristiwa ini terjadi. Tidak ada yang
tahu persis kapan terjadinya. Ada seorang pedagang keliling, orang asing dari
Asia Tengah, datang ke dusun itu.
Kala itu, perang antar suku Dayak terjadi, yang disebut dengan
istilah mengayau. Mencari musuh dan memenggal kepala. Kepala hasil kayauan
menjadi harta berharga, satu dari sekian banyak perlengkapan adat. Tapi, ini
uniknya, tengkorak manusia di Kampung Angan Tembawang itu bukanlah hasil dari
mengayau.
Orang asing ini diingat bernama A Ghu. Dia datang ke dusun
Angan, dan menjumpai petani di pondoknya. Orang yang berada di pondok
menanyakan, maukan engkau menjadi pusaka kami?
Legenda menuturkan, A Ghu berkenan menyerahkan kepalanya sebagai
pusaka kampung, daripada nanti dia mati terbunuh sebagai korban perang antar
suku. Dari situlah legenda ini. Sebuah tengkorak orang asing yang secara turun
temurun diwariskan sebagai pusaka.
A Ghu memberi syarat, setiap tahun tengkoraknya harus
diritualkan. Juga meminta persembahan berupa beberapa jenis ikan, seperti lele,
ikan seluang, dan ikan adong atau tengadak.
L. Lamat (71), dukun utama yang saat ini mendapat amanah
menyimpan tengkorak pusaka, mengatakan, A Ghu bukanlah korban tradisi ngayau.
Dia menyerahkan kepalanya sebagai pusaka kampong, dan warga secara turun
temurun wajib menghormati dia dengan menggelar ritual notokng.
“Kami menyebut tengkorak ini sebagai pet manggel, artinya kakek
penjaga kampong,” tutur Lamat.
Itu sebabnya, bagian dari ritual notokng adalah memanggil roh A
Ghu dalam ritual gerinting. Tujuh dukun secara bersamaan menyerukan nama A Ghu
disertai tabuhan gendang dan gong dalam ritme cepat. Memanggil roh A Ghu supaya
datang karena sesajen untuk dia sudah disiapkan.
Mungkin sulit bagi orang di luar komunitas ini memahami tradisi
seperti ini. Tetapi jika sedikit menyelami ritme kehidupan masyarakat Dayak,
akan ditemukan harmonisasi kehidupan mereka dengan alam.
Ritual notokng wajib dilakukan, untuk menghindari musibah.
Seperti gagal panen atau munculnya sejumlah penyakit seperti sampar.
Jika Anda ingin menyaksikan ritual ini, bersiaplah setiap bulan
Mei. Barangkali, dengan kemampuan yang ada, masyarakat Angan Tembawang akan
kembali menggelarnya. Memang, tidak setiap tahun bisa menyaksikan ritual ini
dilakukan besar-besaran.
Terlebih, dukun senior yang bisa memimpin ritual sudah amat
sedikit. Muncul kekhawatiran, jika tak ada lagi dukun yang sanggup menerima
amanah menyimpan tengkorak itu, maka ritual ini akan lenyap selamanya. (Hnz)
Keterangan foto: L. Lamat, dukun utama ritual notokng (baju merah) dan tengkorak pusaka di atas talam. Foto: KoSaKata
Tidak ada komentar: