Imam Besar Islam dan Katolik Bahas Dokumen Abu Dhabi di Pontianak
PONTIANAK,
KOSAKATA - Peristiwa ini terbilang unik sekaligus menarik untuk Kota Pontianak,
Kalimantan Barat. Seorang tokoh Islam dari Jakarta tampil di forum para imam
atau pastor Katolik di Pontianak, membahas suatu dokumen perdamaian dunia.
Dokumen tersebut sebelumnya telah ditandatangani Paus Fransiskus bersama
seorang imam besar Islam di Abu Dhabi.
Dia juga
mengungkapkan rasa sedihnya melihat banyak kalangan masih sering saling
menyalahkan dengan mengatasnamakan agama. Menurut dia, orang yang suka
menyalahkan, termasuk mengkafirkan orang lain, artinya masih harus banyak
belajar memahami perbedaan.
![]() |
Mgr Agus (kanan) berbincang akrab dengan Prof Nasaruddin. Foto: HEP |
Imam Besar
Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar, berbicara dalam temu pastores
(pertemuan dua tahunan para pastor) di Keuskupan Agung Pontianak, Kalimantan
Barat, Selasa 28 Januari 2020. Pertemuan itu diikuti 83 pastor, dan 93 awam—di
antaranya sejumlah biarawan dan biarawati Katolik, termasuk sebagian pendeta
Kristen Protestan.
Dalam empat
hari temu pastores, satu hari di antaranya merupakan “hari studi” yang
diagendakan membahas The Document on Human Fraternity for World Peace and
Living Together, dikenal sebagai Dokumen Abu Dhabi.
Dokumen ini
ditandatangani Pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Fransiskus dan Imam Besar
Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, dalam kunjungan bersejarah Paus ke Uni Emirat Arab
untuk Konferensi Global pada 4 Februari 2019.
Selain
menghadirkan Prof Nasaruddin, Keuskupan Agung Pontianak juga mengundang Uskup
Purwokerto yang merupakan seorang ahli Islamologi, Mgr Christoporus Tri
Harsono, untuk membedah dokumen Abu Dhabi.
Mgr
Harsono, uskup yang fasih berbahasa Arab belajar tentang classical Arabic di
Institut Dar Comboni di Kairo, Mesir—juga study di Pontificial Institute for
Arabic and Islamic Studies di Roma, Italia.
Uskup Agung
Keuskupan Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus mengatakan, kehadiran Imam Besar
Istiqlal dan Mgr. Harsono, sangat penting untuk mendalami Dokumen Abu Dhabi tersebut,
sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Saya
berharap kesempatan ini memberi peluang-peluang untuk memperkuat persaudaraan
antar umat manusia, khususnya di Kalimantan Barat. Pertemuan antar kaum muda
lintas agama di Kalimantan Barat harus semakin digalakkan,” kata Uskup Agustinus.
Temu
Pastores itu mengangkat tema “Persaudaraan Insani untuk Indonesia Damai”. Prof
Nasarrudin banyak menceritakan hubungan dekatnya dengan kalangan non muslim,
baik di masa lalu ketika study di luar negeri, maupun ketika di tanah air. Perjumpaan
dan persahabatan lintas agama itu turut mewarnai sebagian perjalanan hidupnya.
“Maka saya
tegaskan, jangan menafsirkan agama orang lain dengan dugaan-dugaan kita
sendiri. Karena akan selalu ada perbedaan secara semantik, terutama dalam hal
memahami makna faktual maupun simbolik, yang dimiliki setiap agama,” ucap Prof
Nasaruddin.
Suasana seminar dokumen Abu Dhabi. Foto: HEP |
“Seseorang sebaiknya
harus sudah bisa menyalahkan dirinya sendiri, sehingga menjadi lebih arif,
tidak pernah mencari kambing hitam. Melakukan kebaikan tanpa menepuk dada,”
tutur Prof. Nasaruddin yang pernah menjadi Wakil Menteri Agama RI periode
2011-2014.
“Tiada
jarak, sekat-sekat harus ditembus. Maka kalau teman-teman sekalian ke Jakarta,
mampirlah ke Istiqlal. Boleh kok berkunjung, toh masjid itu milik Negara,” kata
Nasaruddin.
Dia
menyakinkan, tidak ada satu agama pun mengajarkan keburukan. Tetapi umat dan
pengikutnya yang barangkali melakukan keburukan, sehingga akibatnya bisa
menghancurkan kehidupan bersama.
Dalam sesi
berbeda, Mgr Harsono menekankan, dialog lintas agama semakin penting digalakkan
untuk menjaga kehidupan bersama. Dia melakukan otokritik bahwa dalam lingkungan
interen gereja Katolik sendiri, masih ditemukan sebagian kecil kalangan yang
belum memahami pentingnya dialog ini.
“Tanpa
dialog, orang tidak akan kenal dengan Katolik. Bahkan tidak bisa membedakan
antara Katolik dengan Protestan. Semua dianggap sama, padahal sebenarnya
berbeda. Sehingga banyak hal akan tidak nyambung,” kata Uskup Harsono.
Dia
menegaskan, dialog lintas agama yang paling indah adalah dialog kehidupan,
untuk bersama-sama menemukan pemecahan atas masalah kehidupan bersama, seperti
menghasilkan perkembangan ekonomi setempat, pendidikan, dan rasa damai.
“Hindari
dialog yang membicarakan hal sensitive, seperti argumentasi tentang aqidah atau
kebenaran dogma. Tetapi carilah persamaan-persamaan dari agama-agama yang
menunjang nilai kehidupan bersama,” kata Uskup Harsono.
Dokumen Abu
Dhabi merupakan satu di antara tonggak sejarah dialog antaragama sebagai hasil
pertemuan Paus Fransiskus dengan Pimpinan Islam Dunia di Uni Emirat Arab. Dalam
suatu bagian dokumen itu dinyatakan dengan tegas, agama tidak boleh menghasut
orang kepada perang, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstrimisme, juga tidak
boleh menghasut kepada kekerasan atau penumpahan darah. (HEP)
Tidak ada komentar: