Di Kota Abadi, Dunia Seakan Berhenti

March 27, 2020
Last Updated

Oleh P. Paskalis Nores CP, dari Roma, Italia


[Artikel ini ditulis oleh Pastor Paskalis Nores, anggota Kongregrasi Pasionis Indonesia, yang sedang menjalankan tugas belajar di Roma, Italia. Ditulis khusus untuk pembaca web kosakata.org. Terima kasih atas kesediaan Pater. Salam dari tanah air.]

Hampir semua orang di belahan dunia ini pernah mendengar dan mengenal kota Roma (berdiri pada tanun 753 SM), kota metropolitan negara Italia. Di kalangan nasrani nama kota ini sangat populer karena tulisan rasul Paulus terutama dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (surat kepada jemaat di Roma).

Kita mengenalnya sekarang dengan julukan “kota abadi” atau “kota suci” karena selain sebagai pusat pemerintahan negara Italia, terdapat kota Vatikan sebagai pusat agama Katolik di seluruh dunia, tempat kediaman Paus.

Roma adalah “pusat dunia”. Slogan yang selalu kita dengar tetang kota Roma: “Banyak jalan menuju Roma”, ini artinya kota Roma sebagai pusat dunia, salah satu pusat kekaisaran Romawi pada masa lampau dan peradaban Eropa. Dengan sejarah membentang lebih dari dua ribu lima ratus tahun, melalui mitos, ceritera rakyat ataupun hasil kajian ilmiah.

Kota Abadi Tak Pernah Sepi

Dahulu kala, jauh sebelum Kristus lahir, julukan Roma sebagai kota suci “Urbs Aeterna” atau Kota Abadi dan “Caput Mundi” atau Ibu Kota Dunia, telah muncul jauh sebelum julukan-julukan kota lain muncul. Pencetus julukan ini adalah penyair Romawi bernama Tibullus.

Ia menuliskan secara eksplisit dalam puisinya bahwa Romulus (pendiri kota Roma) telah membangun kota yang abadi. Sejak itu, para warga Roma percaya jika kota mereka hancur, maka seisi dunia pun akan hancur.

Kita lupakan kejayaan dan cerita zaman dahulu kala. Kenyataannya walaupun kota unik, antik dan tua, ia seolah seperti “hidup”, ber-evolusi dan bertransformasi dengan budaya dan zaman.

Orang-orang yang menghuni kota ini pun datang dari berbagai macam suku bangsa. Kota ini tidak lagi menjadi milik atau klaim identitas kaum tertentu sebut saja misalnya “bangsa romawi”, tetapi menjadi identitas bagi semua bangsa baik Asia, Eropa, Afrika dan lain-lainnya.

Roma dengan populasi penduduk 4,3 juta jiwa memiliki daya tarik wisata yang paling populer di Italia dan merupakan kota tempat berwisata bagi turis di seluruh penjuru dunia, selain kota ini menjadi tujuan para peziarah umat Katolik di seluruh dunia.

Colesseum, satu di antara ikon kota Roma pada malam 
hari sebelum lock down. Foto: Paskalis Nores CP
Roma, kota yang tak pernah sepi dari keramaian.

Roma, kota yang selalu bertransformasi dengan orang-orang yang mengunjunginya dan menghuninya. Kota yang menawarkan sejuta keindahan dan nilai budaya dan sejarahnya.

Roma, kota tempat para kaum berjubah, rohaniwan dan rohaniwati Katolik belajar dan menimba ilmu, meneruskan tradisi ajaran agamanya. Roma pusat dunia, kota yang selalu dikenang dan dirindukan oleh banyak orang yang pernah berdiam dan mengunjunginya.

Itu dulu, cerita sebulan yang lalu….

Corona Mengubah Segalanya

Hanya dalam waktu sebulan sejak kematian pertama akibat virus corona terjadi di Italia, potret kehidupan di Negeri "Pizza" langsung berubah drastis. Begitupun potret kehidupan di kota abadi, berubah drastis. Virus corona mengubah segalanya.

Saat awal kejadian wabah virus corona di luar Italia, tepatnya di kota Wuhan negara Cina, orang-orang di sini menganggapnya sebagai hal yang biasa. Sebagian dari mereka membuat lelucon atau guyonan di media sosial.

Bahkan ketika penyebaran virus semakin masif hampir melanda seluruh negara Cina, mereka kerapkali membully orang-orang “bermata sipit” dari Asia di tempat-tempat umum, di bus-bus, kereta api atau di MRT.

Singkatnya, kata rasis dan rasisme selalu ada dan berlaku bagi mereka yang berasal dari negara Cina. Imbas lain yang paling terasa ialah adanya gerakan politik dan ekonomi, pemblokiran dan pelarangan untuk membeli produk-produk dari negara Cina. Sunguh ini tidak adil!

Masih tentang isu awal penyebaran virus corona, ketika pemerintah Italia mengkonfirmasi bahwa partama kali kasus terinfeksi pasien virus corona pada tanggal 21 Februari 2020, masyarakat tampak biasa saja dan tidak menghiraukannya. Aktivitas masyarakat berjalan normal.

Kafe-kafe dan bar masih penuh sesak, tempat-tempat wisata ramai pengunjung, dan kehidupan politik se-dramatis seperti biasanya. Lalu lintas masih macet, dan para turis masih melempar koin di Trevi Fountain (Fontana di Trevi).

Suasana saat lockdown Kota Roma, jalanan sepi siang hari. 
Colosseum dilihat dari taman biara Jendralat 
Pasionis Ss. Giovanni e Paolo – Roma. Foto: Paskalis Nores CP
Tak lupa pula orang-orang mengabadikan momen kunjungan mereka dengan berfoto, berselfi-ria di Colosseum, di halaman Basilika St. Petrus, di jalanan dan jembatan di tepi sungai Tevere, atau pun di museum. Kedai-kedai kopi serta restoran pizza masih ramai, dan penduduk setempat masih mengeluh tentang sampah yang meluap dari tong sampah.

Namun sekarang situasinya jauh berbeda....

Situasi di Italia semakin memburuk, penyebaran virus corona semakin meluas, mulai dari wilayah Italia bagian Utara sampai masuk ke kota Roma. Tiap hari 700an orang meninggal karena serangan virus ini.

Sekarang barulah mereka sadar bahwa virus corona adalah persoalan serius. Pemerintah mulai melakukan kebijakan “lock down” untuk kota Roma.

Sebagian dari mereka yang sebelumnya membully, membuat lelucon atau guyonan di medsos tersadarkan oleh peristiwa yang menimpa seluruh Italia.

Sekarang mereka ramai-ramai menulis: “Siamo onde dello stesso mare, foglie dello stesso albero, fiori dello stesso giardino. Grazie Cina”, yang artinya: Kita adalah ombak dari laut yang sama, dedaunan dari pohon yang sama, bunga dari taman yang sama. Terima kasih Cina!

Kian Sunyi dan Sepi

Jalanan, sudut kota mulai sunyi dan sepi. Tidak ada lagi kerumunan orang, para turis pun sepi.

Tak terdengar lagi suara keriuhan di pusat kota dan sudut kota. Tak terdengar lagi nyanyian dan alunan musik dari para pemusik jalanan.

Tak terlihat lagi pelukis jalanan yang nongkrong di trotoar menjajakan jasa mereka dari hasil karya tangan mereka.

Tidak ada lagi para “pedagang jalanan” - kebanyakan kaum imigran illegal - yang menawarkan payung saat hujan, menawarkan minuman saat haus di musim panas, menawarkan “tongkat narsis” atau “power bank” kepada para turis di kota ini.

Sekarang, jalan-jalan di seluruh Italia hampir kosong, lalu lintas hilang.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan dan aturan bagi warganya yaitu mengkarantina diri sampai batas waktu yang belum pasti. Pemerintah menghimbau warganya untuk selalu menjaga kebersihan, memberlakukan aturan “social distancing”.

Br. Efraim Diakon Ambon CP sedang melihat suasana
 kota Roma dari kejauhan di taman biara 
Jendralat Pasionis Ss. Giovanni e Paolo. Foto: Paskalis Nores CP
Lebih dari 60 juta penduduk Italia, termasuk 4,3 juta orang yang berdiam di kota Roma telah diperintahkan untuk tetap di rumah. Pemerintah melibatkan polisi dan militer yang stand by dalam waktu 24 jam berjaga-jaga di setiap titik strategis dan sudut kota.

Ini semua bertujuan untuk menertibkan warganya. Jika berpergian atau berkeliaran di jalanan maka pasti akan ditangkap dan diinterogasi oleh polisi. Denda 100-300 euro atau penjara selama 3 bulan berlaku bagi warga yang kedapatan berkeliaran atau nongkrong di tempat umum atau berkeliaran tanpa tujuan.

Adapun yang diperbolehkan keluar rumah ialah mereka yang memiliki kepentingan tertentu dan mendesak (seperti belanja kebutuhan pokok rumah tangga). Para pekerja yang berkerja di isntansi/perusahaan swasta harus membawa surat keterangan dari pimpinan tempat mereka bekerja dan berlaku bagi mereka yang tinggal dan bekerja di kota yang sama.

Hal ini diperketat untuk mencegah keluar masuknya warga dari kota satu ke kota lainnya. Pokoknya kontrol dan pemeriksaan riwayat perjalanan seseorang oleh pemerintah dan otoritas yang berwenang sangat diperketat.

Sekolah, universitas, kantor pemerintah dan akses publik ditutup, kecuali transportasi publik masih berjalan normal.

Seluruh kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang dilarang oleh pemerintah.
Basilika, gereja dan Vatikan sebagai pusat kegiatan keagamaan untuk sementara waktu ditutup.

Sebagian besar tempat usaha ditutup, kecuali toko makanan (seperti mini market) dan apotek tetap buka dengan limit waktu tertentu.

Ketatnya Pemerintah

Seorang suster (biarawati) yang tinggal di komunitas kecil dengan beranggotakan 3 orang menceritakan kepada saya tentang pengalamannya berbelanja di mini market:

“Kami di komunitas kecil mulai kekurangan bahan makanan, tetapi tidak berani keluar pergi belanja. Sekalipun berani juga pasti antri panjang, selain mengikuti beberapa aturan: seperti menggunakan masker, sarung tangan, jaga jarak dengan yang lainnya, menjaga etika dan lain-lain.”

“Dua minggu yang lalu saya antri selama 4 jam. Pergi sendiri karena aturannya tidak boleh ada orang lain yang menemani. Keluar dari rumah jam 10 pagi, masuk rumah jam 4 sore hanya untuk belanja.”

“Dalam perjalanan dicegat oleh polisi, ditanya tentang identitas, kelengkapan dokumen, tujuan berpergian dan jalur yang sudah dilewati ataupun yang akan dilewati saat kembali ke tempat semula. Kemudian petugas menyodorkan surat yang harus ditandatangani lengkap dengan nama sesuai identitas sebagai bukti telah melakukan perjalanan dengan catatan untuk keperluan tertentu.”

“Bagi saya sangat menyiksa, tetapi saya tetap ikut aturan demi kebaikan bersama.”

Demikian keaksian suster yang dia kirim melalui pesan WA (WhatsApp) kepada saya.

Saya bisa memaklumi mungkin bagi sebagian orang aturan yang diberlakukan oleh pemerintah sangat membebani. Artinya tidak semua orang bisa menerima kenyataan saat ini.

Kegelisahan dan Kesedihan

Kegelisahan dan kesedihan saya ialah bahwa saat ini orang-orang, keluarga-keluarga di Italia - tempat saya berpijak dan berdiam, di luar jangkauan dan pengalaman saya – mereka menjerit dan menangis setiap saat, bukan hanya ketakutan terjangkit virus corona.

Tetapi mungkin sebagian besar dari mereka sudah tidak mendapat makanan, sebagian dari mereka sudah tidak dapat membeli obat-obatan. Mereka mengalami keterbatasan dan kesulitan hidup yang luar biasa.

Sekarang…

Kota Roma sunyi, sepi dan sangat mencekam. Orang-orang mengalami kecemasan dan ketakutan luar biasa.

Mereka takut bukan karena situasi perang-- sebagaimana sejarah kelam kota ini sejak zaman kuno, abad pertengahan, zaman reformasi dan penindasan kaum nazi sampai zaman modern (perang dunia II)---telah mengalami kehancuran berkali-kali.

Orang-orang mengalami ketakutan bukan karena ancaman bom dan pembunuhan oleh mafia ataupun teroris.

Tetapi, karena virus korona, virus yang sangat mematikan. Virus yang melumpuhkan sendi sendi kehidupan manusia.

Di kota abadi, aktivitas mati, denyut jantung kota berhenti, dunia seakan berhenti. (HEP)

Roma, 27 Maret 2020.

Selengkapnya