Energi Kepepet Membawa Kebahagiaan Ganda

April 28, 2020
Last Updated

Oleh: Amon Stefanus

KEPEPET dapat menimbulkan kreativitas. Semboyan ini berlaku bagiku. Karena mengalami kesulitan dalam studi dan keuangan, maka aku coba-coba menulis di media massa.

Ini juga didorong oleh pengalaman beberapa rekan mahasiswa senior seperti Markus Mardius yang sudah lebih dulu memiliki pengalaman menulis di media massa. Dia bahkan sudah mampu menelorkan sebuah buku diterbitkan Gramedia, kala itu.

Tulisanku yang pertama kali dimuat berjudul Kiat Menjadi Idola Remaja. Tulisan tersebut  dimuat di Ruang Tunas Muda (RTM), Mingguan Hidup yang terbit di Jakarta edisi No. 21 Mei 1990.

Ketika aku mendapatkan kiriman honor lewat wesel pos pada 18 Juni 1990 bukan main senangnya. Aku langsung traktir teman-teman anggota Legio Maria makan bakso sebagai ungkapan rasa senangku.

Untuk selanjutnya aku menjadi pengisi setia kolom RTM pada Mingguan Hidup. Hingga tahun-tahun terakhir di Jogja, aku masih sering menulis di Mingguan Hidup.

Namun tulisan yang dimuat bukan lagi dalam bentuk opini tapi dalam bentuk resensi buku. Setelah pulang ke Kalimantanpun ada beberapa resensiku yang dimuat di Majalah Hidup. Setelah dimuat di Mingguan Hidup, aku juga mencoba mengirimkan tulisanku di media massa lain.

Beberapa artikelku dimuat pada Mingguan Simponi, Swadesi, Sentana, dan Harian Berita Yudha. Semuanya terbitan Jakarta. Selain itu juga pernah dimuat di Harian Akcaya (sekarang Pontianak Post), Majalah Sinus dan Harian Bernas (keduanya terbitan Jogjakarta).

Setelah tulisanku dimuat di Harian Bernas, aku menjadi semakin semangat dan lebih percaya diri. Aku mencoba mengirimkan tulisanku ke Harian Kompas (Jakarta). Tiga kali berturut-turut tulisanku dikembalikan.

Artikel yang keempat yang berjudul Melihat Satu Sisi Kurikulum 1994, merupakan tulisan pertama berbentuk artikel opini yang dimuat di koran nasional bergengsi itu. Dr. St. Suwarsono, dosen mata kuliah Seminar Pendidikan langsung memberiku nilai A untuk mata kuliah yang diampunya.

Klipping tulisan saya di sebuah surat kabar puluhan tahun lalu. 
Rasanya aku tak percaya. Kok bisa artikelku dimuat, padahal menurut dosenku, menulis di Kompas itu banyak saingan. Termasuk harus bersaing dengan para penulis yang sudah punya nama.

Namun rupanya, kalau kita memiliki kemauan keras, tekun dan ulet, tidak ada yang mustahil. Kita bisa bila berpikir bisa, begitu kata Norman Vincent Peale.

Ada satu pengalaman yang sangat berkesan bagiku, sebagai pengirim tulisan ke Kompas. Itu terjadi ketika pengumuman kelulusan kuliahku pada 1995.

Kala itu, 4 Februari 1995, aku mendapatkan kebahagiaan ganda. Pertama, aku lulus dan berhak menyandang gelar sarjana pendidikan. Kedua, resensiku dimuat pada harian Kompas.

Honornya lumayan untuk ongkos pulang ke Kalimantan. Kalau dibelikan tiket pesawat Semarang-Ketapang ada lebihnya.

Selain pernah dimuat di Kompas, beberapa tulisanku juga pernah dipublikasikan di Harian The Jakarta Post.

Apakah ada kiat tertentu dalam menulis? Bagiku tidak ada kiat khusus. Aku tidak pernah kursus jurnalistik.

Mungkin modal yang kumiliki adalah karena aku memang suka membaca. Selebihnya karena mengandalakan kekerasan hati: mencoba dan mencoba, pantang putus asa, tambah rajin membaca. (HEP)

* Penulis adalah seorang pendidik, lulusan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tinggal di Ketapang, Kalimantan Barat.

Selengkapnya