Ingar Bingar Manila Mendadak Senyap

April 26, 2020
Last Updated

Oleh: Pastor Bagara Darmawan, OFM Cap, dari Manila, Filipina

P.Bagara Dharmawan OFM Cap
[Artikel ini ditulis oleh Pastor Bagara Dharmawan, anggota Ordo Saudara Dina Provinsi Pontianak di Indonesia, yang sedang menjalankan tugas belajar di Manila, Filipina. Ditulis khusus untuk pembaca web kosakata.org. Terima kasih atas kesediaan Pater. Salam dari tanah air.]

Pada 15 Maret 2020, Pemerintah Filipina menerapkan lockdown. Saya diliputi rasa cemas. Logistik menipis. Uang belanja juga menipis. Meski begitu, saya tetap bersyukur kepada Allah atas kebaikan-Nya. Lockdown berlaku efektif pada sore hari.

Pada pagi tanggal 15 itu, saya bergegas menuju Provinsialat Kapusin Manila. Perlu waktu satu jam lebih menggunakan kendaraan umum dari tempat tinggalku. Setiba di provinsialat, saya meminta biaya hidup untuk dua bulan. Biasanya hanya untuk satu bulan.

Entah apa yang menuntunku untuk mengajukan demikian. Lockdown akan berlangsung sebulan. Sebagai seorang beriman, pastor, dan biarawan, saya percaya bahwa hal itu terjadi atas kebijaksanaan dan pemeliharan Tuhan. Tidak dapat kubayangkan seandainya pada saat itu biaya hidup yang diminta hanya untuk sebulan. Lockdown diperpanjang satu bulan lagi. Dalam situasi demikian, saya tidak mungkin pergi ke Provinsialat. Betapa baiknya, Engkau, Tuhan, karena hal-hal sederhana pun Engkau perhatikan.

Pada malam itu, lockdown dan jam malam, mulai pukul 20.00-05.00, berlaku efektif. Suasana kota Manila berubah. Tempat saya tinggal yang dikenali dengan dunia malam menjadi sunyi-senyap-menjadi kota mati. Saya dapat menyaksikan keadaan ini karena unit kamarku terletak di lantai 35.

Sebelum jam malam diberlakukan, setelah mendapat biaya bulanan, saya belanja banyak hal untuk persediaan keperluan sehari-hari. Lockdown membuat orang untuk tinggal di rumah saja, toko-toko ditutup, kendaraan-kendaraan umum tidak beroperasi, bahkan transportasi dalam dan luar negeri dihentikan.

Pada hari itu, orang ramai sekali berbelanja di supermarket. Antrean pembayaran panjang kendati tersedia banyak loket. Belanjaan berjumlah banyak. Semua orang sepertinya, termasuk saya, diliputi ketakutan dan kecemasan yang diakibatkan penyebaran Covid-19.

Saya membeli bahan makanan yang tahan lama sebagai antisipasi manakala pusat-pusat perbelanjaan ditutup dan tidak diperkenankan keluar rumah sama sekali. Demikianlah terjadi pada hari itu. Lockdown tetap berlangsung sampai pada saat ini, bahkan perpanjangannya hingga 15 Mei 2020 telah diumumkan.

Setelah memperoleh biaya hidup dan membeli aneka persediaan. Namun, pikiran dan perasaan terbawa kepada mereka yang tidak mempunyai tempat untuk tinggal, yang sehari-hari mengemis di jalan, yang mendapat upah harian, dan yang gajinya tidak memungkinkan untuk membeli persediaan. Pikiran dan perasaan ini mengusik ‘kenyamanan’ dan ‘kemampanan’ku. Aku termenung sambil mendengar gejolak batin.

“Tetapi, apa yang harus kuperbuat? Saya juga harus bertahan. Biaya hidupku sangat terbatas. Saya harus berhemat dan bijak dalam menggunakannya. Kalau nanti pergi belanja dan menjumpai mereka yang meminta-minta, aku akan memberi sedikit dari biaya hidupku.”

Kemiskinan mereka, bukanlah karena kemauan mereka-siapapun pasti menginginkan kesejahteraan dalam hidupnya. Tetapi, boleh jadi saya salah seorang yang membuat mereka dalam keadaan demikian. Cara pikir atau pandangan atas hidup dan dunia yang menjadi mainstream, sistem yang dianut dan digemari. Perilaku yang membudaya dan populer memungkinkan orang untuk saling memiskinkan, bukan saling membantu dan mengembangkan.

Keseharianku di Masa Lockdown

Pastor Bagara misa sendiri selama masa lockdown
Sebelum lockdown, saya sudah terbiasa tinggal di kamar sendiri. Saya tidak banyak melakukan kegiatan-kegiatan di luar. Aktivitas saya lebih banyak di dalam kamar seperti berdoa, belajar, mencuci, memasak, membersihkan kamar, chatting, dan hal-hal positif lainnya. Semua itu dilakukan sendiri dalam sepi nan tenang.

Namun, suasana dan keadaan berbeda sebelum lockdown. Tidak ada aturan pembatasan berpergian, keluar rumah, dan jalan-jalan. Kebisingan dan keramaian kota berubah menjadi kesepian dan kesunyian. Kebebasan menjadi kepatuhan terlebih dikarenakan oleh keterpaksaan. Hingar bingar musik, canda tawa, gemerlap dunia malam berubah menjadi kesenyapan yang mencekam. Semua orang harus, karena kesadaran atau karena peraturan, berada di dalam rumah.

Kendati demikan, ada juga yang membandel-sepertinya selalu ada suatu pilihan berhadapan dengan situasi tertentu. Karena ‘kebandelan’ ini, Presiden Duterte pernah mengeluarkan pernyataan untuk ditembak. Kebandelan itu bisa saja mengungkapkan suatu alasan dan kebenaran akan pilihan. Tetapi karena peraturan telah dikeluarkan, maka yang melanggar dianggap tidak patuh peraturan. Lockdown mengubah banyak hal.

Saya mengisi masa lockdown ini dengan mengerjakan desertasiku walau terkadang bosan dan jenuh. Selama masa lockdown ini, saya terkadang tidak tahu siang atau malam: belajar di waktu malam atau siang terasa sama saja. Masa ini juga membantuku untuk memusatkan diri pada penyelesaian desertasiku. Mudah-mudahan saya bisa menyelesaikannya sesegera mungkin.

Dari pihak saya, hal itu bisa saja selesai segera, tetapi saya juga bergantung pada dosen-menunggu perbaikan dan usulan dari dosen. Sampai saat ini, saya tidak mendapat kabar kapan perkuliahan akan dimulai kembali. Saya pernah ke kampus dan bertemu dengan seorang staf.

“Kapan semester baru akan dimulai?” tanya saya pada staf itu.

 “Pastor, kita tidak tahu kapan. Saat ini orang sedang memikirkan hidup atau mati,” jawab staf tersebut.

Saya terdiam dan merenungkannya. Kita berhadapan dengan suatu masa depan yang kabur and tidak pasti. Dalam perjalanan hidup ini, kita terkadang dihadapkan dengan aneka misteri. Kiranya kita sanggup bertahan dan melewati masa ini tanpa kehilangan pengharapan. Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.

Hari demi hari masa lockdown dijalani. Orang masih diperkenankan untuk membeli keperluan sehari-hari. Beberapa pusat perbelanjaan masih buka walaupun sangat dibatasi. Bank-tidak tutup- demikian juga, apotek-apotek tetap beroperasi.

Suatu hari di masa lockdown ini, saya beranikan diri untuk berjalan-jalan. Suasana di jalan sangat sepi. Di samping berjalan-jalan, saya juga sangat perlu untuk bertemu dengan Pastor Sajimin Pr – berasal dari Keuskupan Agung Pontianak, yang studi lanjut di sekolah yang sama dengan saya, Asian Social Institute - karena saya tidak mempunyai persediaan anggur dan roti untuk misa. Pastor Sajimin tinggal di asrama kampus, sekitar 20 menit berjalan kaki dari tempat tinggalku.

Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan beberapa orang pengemis dan homeless. Kepada mereka yang meminta, saya dengan gembira dan tulus meberikan sejumlah uang. Saya teringat akan kisah seorang janda miskin dalam Kitab Suci yang memberikan biaya hidupnya. (Luk 21:1-4)

Saya belum sanggup berbuat seperti janda miskin itu. Saya hanya memberi sedikit dari biaya hidupku. Rasa tidak pantas muncul di dalam hati, tetapi seraya itu juga, saya memikirkan diri ini untuk bertahan. Saya berucap di dalam hati.

“Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa ini; saya belum mampu berbuat seperti seorang janda dalam Kitab Suci.”

Saya bertemu dengan Pastor Sajimin. Anggur dan roti sudah disiapkan. Kami berbincang dan bercanda sebentar. Setelah itu, saya kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saya bertemu lagi dengan beberapa pengemis yang lainnya. Saya melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.

Masa lockdown ini, semakin mendekatkan diriku dengan Tuhan, merasakan kehadiran, cinta, belas-kasih, dan pemeliharaan-Nya. Dalam banyak masa dan kesempatan, apalagi di mana segalanya dirasakan baik-baik saja, Tuhan acapkali dikesampingkan, bahkan dijauhi. Kepekaan akan kehadiran, pemeliharaan, dan perlindungan-Nya terabaikan karena apapun yang terjadi seolah-olah karena usaha kita atau hal biasa saja.

Masa ini mengingatkan diri untuk berdoa sesering mungkin bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang meminta ataupun yang tidak meminta, terutama bagi mereka yang sungguh memerlukan kasih Tuhan. Pada saat ini banyak di antara kita, khususnya yang Katolik, tidak dapat menghadiri Ekaristi yang merupakan puncak dan sumber iman, tetapi kiranya tidak memadamkan intimitas kita dengan Tuhan.

Perayaan liturgis, doa bersama dan pribadi, doa terucapkan dan batin, bagi saya merupakan ungkapan kedekatan hubungan dengan Tuhan. Saya percaya akan kekuatan doa menyelamatkan, membebaskan, mengubah, dan menyembuhkan bukan hanya pada diri sendiri tetapi bagi yang lain. Doa memungkinkan dan menuntun kita untuk semakin dekat dengan Tuhan dan semakin memurnikan diri dan perbuatan-perbuatan kita. Tuhan hadir. Percayalah!

Selain itu, untuk mengisi keseharian di masa lockdown ini, saya memasak, mencuci, membersihkan kamar, dsb. Kegiatan ini memang rutin dilakukan pun sebelum lockdown. Tetapi, di masa lockdown ini membantu untuk mengisi keseharian. Bekerja kiranya tidak diukur dengan sejumlah uang yang bisa dihasilkan, tetapi sebagai persembahan diri kita kepada Tuhan dan sesama.

Rasul Paulus mengingatkan kita untuk melakukan segala sesuatu seolah-olah bukan untuk manusia, tetapi untuk Tuhan (Kol 3:23). Kiranya selama di tinggal di rumah, kita tidak enggan untuk melakukan hal-hal yang nampaknya sepele dan saat ini kiranya kreativitas tidak mati - melakukan dan menciptakan hal-hal baru. Selain itu, saya juga mengunjungi link-link di internet, facebook, chatting, dsb.

Syukurlah, internet tetap berfungsi dan masih ada pulsa/kuota internet. Kalau internet terhenti, mungkin gerah juga rasanya, tetapi saya yakin pasti bisa menyesuaikan. Demikianpun hal-hal lainnya, umumnya dilakukan di kamar, terkecuali jika hendak berbelanja, tetapi jarang dan dihindari juga.

Kalaupun mau keluar atau berjalan-jalan, mau pergi kemana dalam situasi seperti ini. Angkutan umum, taksi, kereta api tidak beroperasi dan juga akan berhadapan dengan pos-pos pemeriksaan. Oleh karena itu, hari-hari saya berada di kamar. Rasa bosan menjadi saat mencari kesukaan yang menggembirakan. Rasa sendiri, memang sudah sendirian, menjadi masa kebersamaan dengan Tuhan. Rasa takut dan cemas, kapan saja bisa dilanda oleh hal-hal yang mematikan, memampukan untuk melihat pengharapan dan penyerahan diri pada Tuhan.

Pembelajaran di Masa Lockdown
Pusat Kota Manila yang difoto dari lantai 35 gedung 
kediaman Pastor Bagara, terlihat sepi dan sunyi.
Saya juga membaca aneka refleksi atas sitauasi yang kita hadapi saat ini. Banyak hal yang kita tidak tahu, tapi orang mengetahuinya; banyak hal yang dikatakan orang, tapi kita tidak mengatakannya; banyak hal yang dibuat orang, tapi kita tidak melakukannya; demikian sebaliknya.

Kita hendak saling mengembangkan, saling membantu, dan saling memperkaya dalam hidup di dunia ini yang merupakan masa pembentukan dan pembinaan untuk kehidupan abadi. Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa hidup kita tidaklah berakhir di dunia ini.

Covid-19 dan lockdown ini merupakan saat yang menakutkan, mencemaskan, dan membosankan, tetapi juga merupakan saat permenungan, teduh, berdoa, dan juga berkreasi.

Banyak orang terserang dan meninggal karena virus corona. Semua berharap tidak terjangkiti dan meninggal dunia karena virus corona. Hampir semua segi kehidupan terhenti karena covid-19 dan lockdown. Semua kita berhadapan dengan ketakutan dan kecemasan, terutama mereka yang harus kehilangan pekerjaan, yang tidak mempunyai simpanan di bank, yang penghasilannya tidak mencukupi.

Ke mana kita harus menaruh kepercayaan, mendapat penghiburan, dan melihat pengharapan? Kiranya, iman kita akan kehadiran Tuhan yang mencintai, menyelamatkan, dan memelihara berakar kuat, bertumbuh, dan berbuah.

Saya gembira tatkala mendengar berita tentang bangsa-bangsa, komunitas-komunitas, pribadi-pribadi saling membantu dan peduli, bahkan berani ambil resiko terjangkiti atau meninggal dunia. Kebersamaan dan kepedulian untuk saling memberi kehidupan inilah kiraya dibangun, digerakkan, dan diperjuangkan.

Covid-19 dan lockdown ini juga mengajari kita akan makna kesederhanaan hidup – bukan berarti hidup miskin-melarat, tetapi kemampuan untuk merasa, untuk peduli akan yang lain, terutama mereka yang berkekurangan, yang perlu dibantu dan dikembangkan. Marginalisasi, diskriminasi, dan eksploitasi saya yakini sebagai buah dari keinginan akan kemewahan, kekuasaan, dan keangungan diri atau kelompok. Kesederhanaan adalah kesediaan untuk berbagi, untuk saling memberi kehidupan.

Kita berharap bahwa masa kusulitan, kekuatiran, dan ketakutan yang dialami oleh semua manusia di dunia ini segera berakhir. Semoga setelah wabah ini berakhir, hal-hal baik-indah-bernilai-berarti, solidaritas, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, bertumbuh dan berkembang di tempat kediaman bersama dan semua ini.

Wabah covid-19 dan lockdown kiranya memungkinkan perubahan-perubahan mendasar dan berarti untuk semua baik manusia dan alam ini. Pandangan yang keliru akan dunia, pengesampingan dan penyangkalan atas kehadiran, cinta, dan belas kasih Tuhan, perilaku dan cara hidup ‘rakus’ bukan hanya kepada bumi, tetapi juga kepada sesama, penghargaan dan perlindungan kepada sesama ciptaan yang diabaikan demi kemewahan dan demi menjadi ‘tuhan’.

Semoga diperbaiki dan dijadikan baru. Ilmu pengetahuan dan teknologi kembali kepada tujuannya yakni untuk pemberdayaan, kebaikan-kesejahteraan, dan keberlangsungan hidup bersama bersama bumi ini. Kapital dan investasi kiranya bukan untuk kekuasaan dan kemewahan, tetapi untuk pemberdayaan dan pengembangan yang lainnya. Datanglah roh kudus, dan jadikan baru seluruh muka bumi.(*)

Selengkapnya