Pastor Hoho, Pak Tuha yang Fasih Be Ahe

August 02, 2020
Last Updated

Pastor Savio Nederstigt OFMCap wafat pada 1 Agustus 2020, saat usianya 85 tahun. Pastor Bagara Dharmawan OFMCap punya kisah dengan misionaris asal Belanda itu. Berikut tulisan Bagara Dharmawan dari Manila, Filipina untuk pembaca kosakata.org. 

Sebelumnya, saya tidak kenal dengan Pastor Savio Nederstigt. Dia adalah seorang misionaris Kapusin Belanda yang diutus dan masuk ke Indonesia, khususnya bumi Kalimantan pada 9 Februari 1965. Pastor Savio yang lahir di Haarlem pada 6 Agustus 1935 dalam cerita banyak umat, dikenal dengan panggilan 'Pastor Hoho' terutama umat di Nyarumkop, Menjalin, dan sekitarnya. Panggilan itu muncul karena 'hoho' selalu terucap dari mulutnya sebagai ungkapan mendengarkan, mengerti, dan memahami percakapan-percakapan.

Setelah berkarya di Kalimantan Barat, Pastor Savio yang menjadi Kapusin pada 30 Agustus 1953 dan ditahbiskan sebagai imam pada 1 Agustus 1960 ditugaskan sebagai Magister Novis Kapusin di Parapat - Sumatera Utara pada tahun 1987. 

Saya mengenal Pastor Savio Nederstigt ketika memasuki masa novisiat di Parapat - Sumatera Utara rentang 1992 dan 1993. Savio pada waktu itu masih sebagai Magister Novis. Pada 1993, Savio kembali ke Belanda karena alasan kesehatan dan tinggal di tanah kelahirannya hingga maut menjemputnya dalam usia 85 tahun pada 1 Agustus 2020. 

Para novis Kapusin memanggil Savio dengan panggilan Pak Tu(h)a. Dia tidak mau dipanggil pastor. Hal ini mau menunjukkan bahwa Savio adalah saudara bagi para (saudaranya) novis Kapusin. Di dalam persaudaraan Kapusin, seorang akan yang lainnya dipanggil sebagai saudara. 

Pak Tua adalah seorang pendoa, rendah hati, peduli, dan mendengarkan. Devosinya akan Bunda Maria, sejauh yang kuamati pada waktu itu, sangatlah kuat dan dalam. Dia senantiasa memakai jubah kapusin dan rosario terpasang pada jubahnya. Karena itu, dalam bimbingan rohani, saya tidak merasa enggan untuk bercerita perihal pergulatan dan pergumulan sebagai seorang anak muda yang (sedang) menggabungkan diri dalam persaudaraan Kapusin. Hidupnya sungguh memberi teladan dan peneguhan kepada para novis perihal hidup sebagai saudara Kapusin.

Ketika saya di novisiat St. Fidelis-Parapat, Sumatera Utara, bagiku adalah tempat baru, tanah baru, dan pulau baru - kehadiran dan sapaanya dalam bahasa Dayak Ahe menghadirkan tanah Kalimantan, khususnya tanah kelahiranku. Hal ini membuatku tersentuh-betah-bahagia. Dalam percakapan, kami selalu memakai bahasa Ahe. Sejauh saya kenali, Savio adalah salah seorang misionaris Kapusin Belanda yang fasih berbahasa Ahe. Savio jugalah yang memberikan nama religius kepada saya, Faustus Bagara.

Pertemuanku terakhir dengan Savio pada waktu itu di Bandara Soekarno-Hatta. Berkenaan dengan tahun pertemuan itu, saya agak lupa persisnya (2004?). Tetapi momen pertemuan singkat dan tak terduga itu memberi kesan mendalam pada diriku. Savio yang adalah orang tua dan mantan Magister Novis berlutut di hadapanku seorang pastor muda dan memohon. 

"Pastor, berkati aku!" begitu ia meminta. 

Air mataku meleleh seraya memberkati beliau. Perjumpaan itu berlangsung sekejap saja. Savio terburu-buru untuk memasuki ruang tunggu keberangkatan bandara.

Demikian kisah singkatku bersama Pak Tuha. Terima kasih atas pengajaran, teladan, dan peneguhan yang telah Pak Tuha berikan sebagai seorang saudara Kapusin. Doakan kami yang masih dalam perziarahan seraya berjuang untuk menghadirkan karya baik Allah. Doakan kami.[]

Selengkapnya