Cinta dalam Bercarik Kertas

August 07, 2022
Last Updated


KAPANPUN dan di manapun cinta selalu mewarnai dan memberi warna kepada apapun dan siapapun, mendorong siapapun untuk menumbuhkan dan menciptakan energi bahwa cinta itu anugerah terindah. Dengan cinta di setiap sisi kehidupan akan terasa dan semua terlihat indah, bahkan biasa menjadi luar-biasa. Cinta menyulutkan rasa, termasuk hasrat puncak yang kerap kali meluruhkan atau melarutkan ukuran kepada ukuran-ukuran tertentu.

Subjektivitas tentunya dan tidak menutup juga objektivitas selalu teretas dalam lingkup perspektif cinta. Lebih-lebih subjektivitas begitu dominan saat semuanya dalam rengkuhan cinta, objek yang tampak selalu saja tersematkan oleh rasa yang saat itu sedang terlanda. Segar kelopak bunga yang merekah memerah menjadi gambaran siapapun atas cerminan wajah dan senyumnya, merupakan kelindan rasa dengan membawahkan cinta.

Pantikan-pantikan sebab cinta menyulutkan gairah dan langkah untuk melakukan sesuatu yang bisa jadi terukur, bahkan tidak terukur di luar dugaan. Seperti memicu energi atau bahkan energi terbarukan saat perspektif cinta mengiringi di setiap sudut atau di setiap saat ketika siapapun dan apapun menjadi sasaran luapan rasa cinta. Kasus Romeo dan Juliet, Sampek Entay, dan Roro Jonggrang menyiratkan dahsyatnya rasa cinta yang sangat kuat memicu.

Rasa cinta itu terbersit dalam secarik-carik, bercarik kertas kerja cerpen yang tersajikan dalam antologi yang diupayakan oleh Komunitas Sarang Kata (Kosakata). Antologi tersebut tampaknya hasil besutan dua aktor intelektual yang selama ini membidani cerpen di kawasan Kalimantan Barat, yaitu E. Widiantoro dan Budi Miank. E. Widiantoro baru saja memeringati 29 tahun menggeluti dunia cerpen, sebuah capaian angka yang mengindikasikan kelindan fluktuasi suasana kebatinan (lihat Fuad, “Eling Cerpen Sampai 29 Tahun”, Pontianak Post, Minggu 18 Juli 2021, hlm 11).

Baca Ini: Tamu Terakhir dalam Gawai Sastra Minggu Sore

Sementara itu, Budi Miank tercatat sebagai punggawa koran mainstreams Kalbar, Pontianak Post, membidani ruang Apresiasi, mengatur distribusi puisi, cerpen, dan esai sastra untuk dipublikasi di tiap minggunya. Dua pembesut ini tampaknya mengajak para pemula untuk menaruh perhatian penuh terhadap cerpen dalam antologi bersama demi merasakan kelindan fluktuasi kebatinan cerpen yang dipumpunkan dalam perspektif cinta. 

Dalam Arina ditawarkan E. Widiantoro dalam perspektif cinta masa lalu yang diketahui kemudian sehingga terukur hitungan keagamaan yang menyebabkan cinta terganjal. Ukuran keagamaan dijangkarkan untuk mengganjal cinta yang hakikatnya suci maka kesucian cinta tidak dapat diwujudkan. Demikian juga, Azan Subuh Telah Lewat Satu Setengah Jam merupakan gambaran cinta ternoda sebelumnya sehingga memicu perilaku di luar kepatutan atas nama cinta.

Perspektif cinta memang memicu hal yang logis dan nirlogis secara timbal-balik, baik yang mencinta maupun yang dicintai.  Izinkan Aku Panggil Kamu Sayang karya Budi Miank memberikan gambaran terkait dengan media sosial yang marak di era sekarang ini. Hanya saja, media-sosial yang dibangun oleh Budi Miank merupakan media-sosial yang sudah tidak digunakan dan terdapat berbeda masa antarmedia sosial itu sendiri.

Istilah android (gawai) dan blackberry yang digunakan Budi Miank agak berbeda masa dalam konteks media-sosial kekinian. Terlepas dari sengaja bahwa era disrupsi memengaruhi perspektif cinta sebagai media pengantar untuk menghangatkan cinta. Bandingkan dengan era manual, surat warna merah jambu merupakan media yang selalu disebut untuk menghantarkan hangat antara pecinta dan yang dicinta.

Baca Ini: Sepucuk Surat untuk Mama di Hari Natal

Kekuatan sebuah karya sastra menunjukkan taringnya yang dapat merekonstruksi keadaan, situasi, dan suasana sesuai kontekstualitasnya. Pengarang maupun pembaca secara sosiologis dapat diteroka belantaranya sesuai dengan masanya sebagai realitas-sosial maupun romantika sosial. Secara tidak langsung, terkait dengan tingkat atau kedewasaan pembacaan dan keterbacaan antara kontekstual dan tekstual, termasuk dalam penuangannya.

Tingkatan ini sepertinya menjadikan pembeda luaran yang dihasilkan oleh masing penulis. Tentu terdapat perbedaan antara Hujan di Taman Kota cerpen Budi Miank dengan cerpen-cerpen lainnya disebabkan faktor-faktor yang melingkupi. Meski hujan, dapat direkonstruksi sedemikian rupa dalam bingkai perspektif cinta dengan penuh romantika-sosial dan tetap menyertakan realita-sosial yang memang terjadi nyata (taken for granted).

Sementara itu, karya-karya lain masih tersarankan kepada romantika-sosial semata karena tingkatan pembacaan dan keterbacaan yang terbatas juga, termasuk tingkat kedewasaan secara psikologis. Perspektif cinta masih dalam tata-kelola yang belum diikuti oleh perspektif pribadi mendalam dari para pengarang itu sendiri. Meskipun, di beberapa cerpen terdapat sudut-sudut rekonstruksi realitas sosial, Hari Kelima Belas cerpen Arist Gardabumi dalam realitas-sosial Cap Gomeh tradisi masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang.

Apapun karya itu hakikatnya realitas-sosial dan romantika-sosial yang didasarkan oleh tingkat atau kedewasaan pembacaan dan keterbacaan masing-masing penulis secara individual. Secara eksplisit, karya-karya ini terdapat perbedaan, tetapi secara implisit terdapat persamaan pada ranah tingkat atau kedewasaan pembacaan dan keterbacaan. Tentu kredit poin bagi maqom tertentu berbagi suasana kebatianan kepada lainnya seturut membangun sebuah karya.[]

Penulis: Khairul Fuad – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Indonesia

 Catatan: Artikel ini diterbitkan sebagai pengantar dalam buku antologi cerita pendek 'Dentang Lonceng Angelus' yang diterbitkan Komunitas Sarang Kata (KosaKata) pada 2022

Artikel Lain: Ada Puisi di Sarang Kata

Selengkapnya