Pastor Eugenius: Umat tak Tahu Kapan Hari yang Disebut Hari Minggu

August 07, 2022
Last Updated


TIGA
misionaris yang bertugas di Sejiram merasa senang tinggal di rumah sederhana. Beberapa bulan pertama, mereka kesulitan mencari kebutuhan bahan pokok, begitu interaksi dengan orang-orang Dayak.

Pastor Camillius OFMCap mencatat:

“Untuk mendapat beras dan buah-buahan, kami dapat menukar dengan garam dan tembakau, tetapi ayam dan telur harus dibayar terlalu mahal.”

Sedangkan pengalaman Pastor Eugenius OFMCap mengatakan, “Mereka  (Dayak) lebih kikir daripada orang-orang Tionghoa!”

Pembangunan gereja, sekolah, dan pastoran terus dilakukan. Pada 20 Januari 1907, gereja sudah selesai dibangun. Pada 11 Februari 1907, sekolah sudah bisa digunakan. Pada 1 Maret 1907, gereja diberkati. Sementara pastoran mulai dihuni pada 1 Mei 1907.

Pater Eugenius mengisahkan awal menetap di Sejiram.

Buku permandi­an yang diisi oleh Pater Looymans tidak lengkap lagi. Sampai saat ini, kami dapat menemukan kembali 130 orang yang dulu sudah dibap­tis. Kami mengundang mereka datang ke gereja pada hari Minggu, tetapi kadang-kadang mereka tak tahu kapan hari yang disebut hari Minggu. Untuk membantu mereka kami mengajar mereka memakai sebuah tali dengan tujuh ikatan. Kemudian apabila mereka datang ke pastoran maka mereka mendengar keteran­gan agama di serambi, sementara mereka merokok atau diobati.”

Baca Ini: Sejiram untuk Misi bagi Orang Dayak, Singkawang Tempat Misi bagi Orang Tionghoa

Biaya kehidupan di Sejiram bagi misionaris pada saat itu sangat mahal, belum lagi kalau berbicara mengenai transportasi. Prefek Bos berangkat ke Sejiram dari Singkawang menggunakan kapal air. Untuk pulang pergi, perjalanan itu menelan biaya hingga Fl.134 golden. Untuk mendukung karya misi di Sejiram, para misionaris membuka kebun karet. Hasilnya bisa meringankan biaya dari Belanda.

Prefek Pasifikus Bos pernah menulis surat untuk meminta bantuan dana sejumlah Fl.5.000 pada Pimpinan Kapusin di Belanda. Dana itu untuk membeli sebuah kapal air agar mempermudah transportasi dalam turne-turne misionaris. Hal tersebut mengingat wilayah turne mereka yang sangat luas. Di antaranya meliputi; Suku Suhaid di hulu sungai, sedangkan Suku Kantuk di hilir Seberuang.

Misi di Sejiram sangat menantang dan menguji kesabaran para misionaris Kapusin. Mereka harus menerima realitas hidup di belantara hutan Borneo dengan situasi yang berbeda dengan Belanda. Bukan hanya persoalan penyebaran iman semata, hal sederhana seperti berkebun, bertukang, memasak, harus dilakukan sendiri. Bahkan bertaruh nyawa di antara situasi masyarakat yang masih menganggap semua orang Belanda itu penjajah.

Artikel Lain: Prefek Bos Kepada Orang Dayak: Saya akan Mengunjungi Kalian!

Penulis: Br. Kris Tampajara MTB                                                                                                      Editor: Budi Atemba

Selengkapnya