Stasi Lanjak: Dibuka 1908, Ditutup Secara Definitif pada 1921

August 26, 2022
Last Updated

Lahan yang semula hutan belantara, kini telah berdiri pastoran, sekolah, dan asrama. Di belakang sekolah dibangun ruangan untuk anak-anak memasak dan makan. Selain bangunan misi, ada beberapa bangunan untuk pekerja dan kios orang Cina yang berdagang sembari membuka tempat penginapan. Stasi Lanjak telah berdiri sebagai tempat misi yang baru.


[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]


WALAUPUN gedung sekolah sudah berdiri, tidak ada minat bagi orang tua mengirim anaknya untuk sekolah. Ada sebagian orang yang tidak senang dengan misi. Mereka menyiarkan kabar bahwa jika anak-anak sekolah pada misi, anak-anak akan dikirim ke luar negeri sehingga tidak kembali. Isu seperti ini membuat orang tua takut untuk mengirim anaknya. Selain itu, Kontrolir Semintau mengumumkan pada masyarakat tidak bisa memaksa anak-anak untuk ke sekolah. Situasi ini membuat gedung sekolah menjadi kosong.

Para misionaris tidak putus asa. Mereka semakin semangat melakukan turne ke kampung-kampung. Saat turne, mereka memanfaatkan untuk mencari anak yang mau sekolah. Mereka turne sampai bagian hulu sungai Embaloh, kira-kira delapan jam jalan kaki dari Lanjak.

Turne cukup efektif. Dari beberapa kampung, ada anak-anak ikut Pastor Ignatius untuk bersekolah di Lanjak. Jumlahnya mencapai 30 anak. Dari suku Batang Lupar hanya beberapa anak. Hal ini bisa dimengerti karena antara suku Batang Lupar dan Suku Embaloh tidak rukun.

Baca Ini: Survei Pastor Eugenius Putuskan Lanjak Cocok jadi Stasi Baru

Sebagai Pimpinan Misi di Borneo, untuk lebih memahami situasi lapangan, Prefek Bos melakukan kunjungan ke Lanjak. Prefek ditemani oleh Pastor Beatus. Prefek Bos dan Pastor Beatus sampai di Lanjak pada 5 Oktober 1910. Mereka juga berkunjung ke Embaloh. Pada kunjungan itu, ada pendapat bahwa masyarakat di Embaloh lebih terbuka menerima misi dibandingkan Lanjak.

Diskusi itu mendapat tempat dalam pikiran Prefek Bos. Pada 1913, Prefek Bos menugaskan Pastor Gonzalvus untuk memulai misi di Embaloh. Tahun itu juga, Gonzalvus mulai membangun rumah pastoran di Kampung Kram bagian dari Kampung Banua Banyu. Gedung pastoran itu diperbesar lagi oleh Gonzalvus dengan bantuan Pastor Felicianus dan Bruder Donulus; sebuah dapur yang luas dengan tempat untuk masak, makan dan tidur. Ada lagi ruangan khusus untuk berobat dan kapel kecil.

Pada Mei 1913,  Prefek Bos datang untuk memberi Sakramen Krisma kepada 12 orang, di antaranya 3 orang dari Kanowit di Serawak. Mereka merupakan pelarian dari Serawak dan tinggal di Hindia Belanda. Prefek juga memberi krisma untuk sembilan anak dari sekolah Lanjak. Umat Katolik di Embaloh pada waktu itu sebanyak 70 orang.

Pada 1913, Pastor Flavianus menjadi pastor kepala. Pastor Honoratus sebagai pastor rekan. Pada 14 November 1914, sekolah sudah dimulai di Benua Martinus dengan 13 murid intern.

Baca Ini: Suster Veghel di Pontianak; Merawat Maimuna, Anak Sultan Pontianak yang Akrab Dipanggil Juliana


[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]


Saat dunia mengalami perang dunia pertama, terjadi kesulitan ekonomi. Prefek Bos mengintruksikan pada Pastor Flavianus agar anak-anak sekolah dipulangkan karena keuangan mengalami kesulitan. Pastor Flavianus mencoba menahan anak-anak untuk tidak pulang, asal mau bekerja membantu pastor. Setidaknya itu bisa meringankan biaya kehidupan anak-anak sendiri. Pastor Flavianus juga menanam kopi sembari dengan berupaya agar sekolah dapat terus berlangsung.

Sebagaimana yang diperintahkan Prefek Bos pada Pastor di Benua Martinus demikina juga pada pastor di Lanjak. Sama seperti Flavianus, Pastor Gonzalvus bukan orang yang mudah menyerah kalah. Ia terus menyelenggarakan sekolah di Lanjak dalam kesulitan keuangan.

Dalam kondisi seperti itu, kedua stasi tersebut harus mandiri. Pastor Flavianus dengan sekolah di Benua Martinus dan Pastor Gonzalvus di Lanjak. Pada 21 September 1915, Prefek datang ke Benua Martinus untuk memberi sakramen krisma. Pada tahun itu juga sekolah di Lanjak terpaksa ditutup untuk sementara waktu kurang berkembang. Tetapi Prefek tidak menutup Stasi Lanjak.

Pastor Gonzalvus diberi kesempatan mencari kampung-kampung di daerah Batang-Lupar. Pastor Honoratus yang bertugas di Benua Martinus datang membantu Gonzalvus.  Pada 10 Desember 1916, setelah mendapat persetujuan dari Prefek Bos, Pastor Gonzalvus berusaha kembali membuka sekolah di Lanjak.

Baca Ini: Suster Veghel di Sejiram: Disambut Letusan Senapan, Diteriaki Minta Tembakau

Masyarakat Batang Lupar sadar jika misi tidak berkarya di Lanjak merupakan kerugian besar. Kehadiran misi di Lanjak, hasil hutan, sayur mayur, dan buah-buahan dibeli dengan harga yang pantas. Ketika Stasi Lanjak ditutup sementara waktu, sayur dan buah-buahan dibeli dengan harga yang ditentukan menurut orang Cina.

Karena itu, mereka meminta Pastor Gonzalvus membuka sekolah kembali. Sekolah akhirnya dibuka dengan jumlah 25 anak Batang-Lupar. Tapi nasib tidak baik, tidak lama kemudian Pastor Gonzalvus jatuh sakit. Selain itu, banyak orang Batang Lupar pindah ke Serawak.

Prefek Bos realistis. Ia tidak mau tenaga dan segala upaya sia-sia. Prefek Bos meminta agar meninggalkan Lanjak. Berita ini sangat memukul semangat Pastor Gonzalvus, ditambah lagi penarikan Pastor Honoratus untuk membantu di Stasi Pelanjau.

Tahun 1918, Pastor Gonzalvus mulai mengunjungi kampung-kampung, walaupun badannya seringkali sakit-sakit. Untuk menemani dan menolongnya, Bruder Nerius pindah dari Benua Martinus ke Lanjak. Pastor Gonzalvus masih memiliki opitmisme di Lanjak, maka ia berupaya memesan ramuan untuk membangun gedung gereja. Namun, Lanjak tetap tidak berkembang bahkan menunjukkan kemunduran. Pastor Gonzalvus mengalami sakit lagi dan harus meninggalkan Lanjak pada awal tahun 1919.

Untuk mengisi kekosongan, Pastor Flavianus dari Benua Martinus bersedia sesekali mengunjungi Lanjak. Pada 10 April 1920, Pastor Egbertus menjadi pastor baru di Lanjak, tetapi Stasi Lanjak tak dapat diselamatkan. Pada 23 April 1921, Stasi Lanjak sebagai stasi ditutup secara defenitif.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Suster Veghel di Singkawang; Mengajar Anak-anak Tionghoa hingga Merawat Orang Kusta

Selengkapnya