Berpose di Asisi. (Dok. Kris Tampajara) |
Kris Tampajara
Roma, Italia
Sebuah kesempatan membawa saya menapakkan jejak di Italia—sebuah
negeri yang indah, popular dengan julukan Negeri Pizza. Kabarnya, makanan yang
bagi saya pribadi tidak terlalu mengundang selera itu, bermuasal dari tempat
ini.
Saya lebih memilih makan spageti, sejenis mie, untuk makan
malam ketika berada di Asisi, kota kelahiran Santo Fransiskus, sekitar dua jam
naik kereta api dari Roma, ibu kota Italia.
Sebulan penuh dalam Oktober, saya dan beberapa rekan
se-kolegial di Biara Maria Tak Bernoda (MTB) dari Indonesia berkeliling Eropa,
untuk suatu agenda tarekat yang memang harus kami hadiri di Belanda.
Saya lebih tertarik menceritakan soal kuliner dan
transportasi dari tempat-tempat yang kami kunjungi.
Di Roma, makanan berupa nasi bisa dijumpai di Restorante
Indian—sebuah restoran India. Harga berkisar EUR 6 hingga 10 (EUR 1 dengan kurs
Rp 15,500), sudah termasuk minuman bersoda, dan lauk daging ayam, sayuran dan
lalapan. Itu harga termurah, lho!
Semua pelayan di restoran itu laki-laki. Entah mengapa, saya
tidak sempat bertanya.
Sepintas suguhannya seperti di Rumah Makan Padang! Dan orang
yang banyak makan di tempat itu umumnya berasal dari Asia dan Afrika.
Barangkali karena ada kesamaan selera.
Restoran ini hanya ada di Stasiun Termini—stasiun induk
semua transportasi dari berbagai jurusan, termasuk dari Bandar Udara Leaonardo
da Vinci di Italia.
Lokasi rumah makan ini relative jauh dari tempat-tempat yang
kami kunjungi. Jadi kami hanya makan nasi pada sore hari, ketika hampir semua
kegiatan kunjungan selesai.
Kami menginap di Susteran Ordo Dominican yang berada di
dekat Universitas Angelicum. Universitas ini sangat terkenal, milik ordo
tersebut.
Selama menginap di sana, kami makan hanya saat sarapan
dengan menu roti tawar ala Italy, diolesi selai dan macam-macam bahan. Saya
hanya tahu selai saja di antara bermacam bahan itu.
Sambil sarapan, kami minum kopi, susu, dan air putih.
Kopinya memang terasa lebih enak daripada kopi yang saya nikmati di Pontianak.
Kopinya lebih storng, sulit saya menggambarkannya.
Kami makan siang di luar susteran. Di situlah harus
pandai-pandai berbelanja. Kalau tidak bisa habis bekal euro, karena hanya punya
EUR 200 per orang selama sepekan kami di sana. Kami semua berdelapan.
Supaya hemat, makan siang dengan roti dan es krim,
lumayanlah untuk mengganjal perut. Malamnya makan nasi di restoran India itu,
atau makan spageti. Harga per porsi spageti kurang lebih harga nasi.
Soal transportasi, kami menaiki kereta bawah tanah atau
trem. Membeli tiket di loket elektronik otomatis, seperti ATM. Petunjuk hanya
dalam bahasa Inggris dan Italia. Ketika hendak menaiki trem, tiket harus
divalidasi dengan menekankan bar code di panelnya.
Biaya EUR 5 harus dikeluarkan untuk satu rute perjalanan
untuk menyusuri sepanjang kota selama tidak berhenti. Tidak tergantung jauh
dekat. (*)