Ruang pelayanan CU Bahtera. Foto: HEP |
CU Harus
Menerapkan Fintec. Jika ingin menggaet anggota milenial. Itulah
instruksi Bupati Sintang, Jarot Winarno.
Pesan itu
yang saya tangkap, saat membaca portal berita. Tepatnya pada laman tribunpontianak.com. Lebih
tepatnya, pada saat membuka Rapat Anggota Tahunan (RAT) pada salah satu Credit
Union (CU) di Kota Sintang, Kalimantan Barat.
Kata 'harus
' saja bagi saya sangat ekstrem. Apalagi ditambah kata 'besar-besaran'.
Sebagaimana
diketahui. Dilansir pada laman Bank Indonesia, Fintec adalah sebuah produk
layanan dari hasil gabungan antara jasa
keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari yang
konvensional menjadi moderat.
Adapun
Fintec lahir, karena adanya revolusi industri 4.0, sehingga mendorong disrupsi
dari segala bidang. Disrupsi di sini diartikan adanya perubahan berbagai sektor
akibat digitalisasi dan “Internet of Thing”(IoT) atau internet untuk segalanya.
Pada saat
yang sama. Indonesia juga sedang mengalami bonus demografi. Di mana 33 persen penduduknya adalah milenial dengan
rang usia 22-38 tahun. Sedangkan milenial adalah generasi yang paling familiar
dengan teknologi.
Dari dua variabel ini, Fintec dan Milenial, bisa dibilang saling
berkaitan. Adanya disrupsi, industri Fintec menjadi primadona dan itu menarik perhatian begitu besar dari para
pelaku industri keuangan. Sedangkan milenial bagaikan sebuah
ladang potensial. Dan anggota itu adalah ladangnya. Tinggal bagaimana cara menggaet
mereka sebanyak mungkin.
Pertanyaannya,
jika hal itu diterapkan pada lembaga CU, bagaimana lembaga ini berusaha masuk
dalam disrupsi. Saya belum bisa membayangkan: Betapa dahsyatnya bila semua CU
di Kalimantan Barat bisa menggandeng perusahaan berbasis Fintec dalam
menerapkan layanan CU mereka kepada seluruh anggotanya.
Tentu saja, anggota
milenial dari tingkat desa bakal terangkul. Apalagi kita tahu, CU memiliki lembaga yang memiliki basis kuat, terutama di
tingkat desa dan pelosok. Kekuatan ini ternyata belum bisa dilakukan oleh perusahaan
pembiayaan lain, lantaran ekspansi pada daerah perkotaan, terutama kotamadya.
Tapi, saya
juga menaruh perhatian, dari kedahsyatan penerapan Fintec itu sendiri. Mengapa?
Saya melihat fenomena hadirnya Fintec, yang sebelumnya sudah diterapkan oleh
perusahaan pembiayaan maupun perbankan, cenderung memiliki tujuan hanya satu
arah saja.
Artinya,
bagaimana anggota milenial bisa tertarik mendapatkan pinjaman modal dengan
mudah dan cepat, tanpa melihat hasil, apakah modal pinjaman yang sudah
dilakukan bisa produktif atau tidak.
Tolok
ukurnya sederhana saja. Bagaimana masifnya iklan atau promosi perusahaan
pembiayaan, didesain menarik dan elegan di dunia maya. Kemudian bandingkan,
apakah ada program literasi keuangan yang diberikan untuk seluruh anggotanya.
Untuk
pembuktiannya sebenarnya simpel. Caranya, bisa dimulai dari mesin pencarian
Google. Cukup mengetik keyword “Jasa
Fintec” isinya malah lebih banyak promosi iklan beserta benefitnya, ketimbang
bagaimana Fintec tersebut berusaha mencerdaskan nasabahnya. Misalnya bagaimana
modal yang dipinjam diarahkan ke hal produktif, dan bukan konsumtif.
Kalaupun ada
dari perusahaan Fintec dalam hal melakukan pendidikan literasi kepada
nasabahnya. Itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Misalnya milenial dari
lingkungan kampus. Dan itu juga tidak menyeluruh.
Padahal pendidikan literasi itu
penting sekali untuk milenial, bagaimana mencegahnya agar tidak terjebak pada
prilaku konsumtif atau hanya mementingkan kebutuhan gaya hidup.
Setidaknya ada arah referensi bagi
mereka, bagaimana memulai investasi yang
baik. Satu di antaranya menjadi wirausaha. Penanaman nilai ini bagi saya
penting digerakkan, bagaimana mengubah hidup mereka menjadi berkualitas. Bukan
yang terjadi sekarang. Yakni sebaliknya.
Itu bisa dibuktikan dengan hasil Survei
Asia Tenggara Luno bekerjasama Dalia Research. Dari laman kompas.com, dua
lembaga ini merilis, ada 69 persen dari generasi milenial Indonesia tidak
memiliki strategi investasi. Bahkan dari angka itu, ada 44 persen milenial
Indonesia hanya berinvestasi sekali satu atau dua tahun. Mirisnya 20 persen di
antaranya bahkan tidak berinvestasi.
Senada dengan hasil survei GoBankingRates, juga menyebutkan, kaum milenial jauh
lebih boros ketimbang generasi lainnya. Misalnya, banyak individu yang
menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak diperlukan seperti kopi, makan di
luar, hiburan, pakaian, dan alkohol.
Bahkan ketika dikelompokkan
berdasarkan kelompok usia, generasi milenium menghabiskan lebih dari setiap
generasi lainnya secara keseluruhan, terutama untuk pakaian dan makan di luar.
Jika dikaitkan dalam skala Nasional
sebenarnya, tingkat inklusi
keuangan menunjukkan angka 67,8 persen. Artinya, dari angka tersebut
menunjukkan orang dewasa sudah memiliki akses keuangan.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) bahkan menyimpulkan, pemahaman
masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan masih sangat minim. Hanya 29,7
persen masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai
mengenai produk dan layanan keuangan.
Menyatukan Kekuatan
Kehadiran CU dan perusahaan
pembiayaan berbasis Fintec, jika melihat dari sejarah dan perjalanannya hampir
mirip. Sama –sama lahir pada zaman revolusi. Hanya masa saja yang membedakan
dari keduanya.
Jika Fintec ada sejak 2017, lebih
tepatnya pada zaman Revolusi Industri 4.0. CU justru lahir pada zaman Revolusi
Industri, lebih tepatnya pada 1846 di Jerman dan itu didirikan oleh seorang
Walikota di Jerman.
Friedrich Wilhelm
Raiffeisen namanya. Konsep koperasi “Prinsip Menolong Diri Sendiri.” Artinya,
untuk menghapus kemiskinan, seseorang harus melawan ketergantungannya,
terbukti berhasil pada zamanya. Yakni mampu mengentaskan kemiskinan, terutama
anggotanya yang dari golongan petani
Meski tujuan akhir dari keduanya
sama. Yakni bagaimana merangkul anggota agar sebanyak mungkin untuk bisa
bergabung di dalamnya. Tapi perlu digarisbawahi. Saya justru melihat, lembaga
CU, sementara ini diakui terbukti mampu membentuk anggotanya menjadi solid.
Mereka berkumpul atas dasar saling
percaya. Lalu, membentuk suatu ikatan pemersatu dan
akhirnya mereka bersepakat untuk menabung uang mereka di dalamnya. Tujuannya,
tak lain, bagaimana menciptakan modal bersama, lalu digunakan untuk dipinjamkan
kepada anggota, agar mereka produktif dan sejahtera.
Kekuatan ini lah sebenarnya bisa
dimanfaatkan oleh para pengurus dan anggota CU itu sendiri. Terutama jika ingin
menggaet kalangan milenial. Di saat trend
milenial cenderung memilih pinjaman dari yang terbiasa instan--langsung
memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman dengan tujuan konsumtif.
Pola pikir ini yang mesti diubah. Bukan bagaimana cara menyediakan
pinjaman kepada anggota
milenial yang dibuat mudah. Tetapi bagaimana menanamkan mereka agar gemar
menabung terlebih dahulu, lalu membentuk karakter mereka bagaimana menciptakan
modal, baru memanfaatkan atau meminjam.
Caranya, mesti dilakukan secara
masif, bagaimana cara menelurkan semangat Friedrich
Wilhelm Raiffeisen kepada milenial.
Cara masif yang
saya maksud di sini, semua komponen masyarakat harus terlibat di dalamnya. Sama
halnya perjuangan Friedrich Wilhelm Raiffeisen, kepiawaiannya melibatkan
pengusaha hingga pejabat lokal agar bisa meyakinkan kepada penduduknya, agar
gemar menabung kemudian bersama-sama menciptakan aset untuk kepentingan bersama.
Bila pada waktu
itu, semangat Friedrich Wilhelm Raiffeisen, rela duduk bersama petani, dengan
bertatap muka langsung, kemudian memulainya dengan membentuk lingkaran kecil,
lalu mengubahnya menjadi lingkaran besar. Kemudian jadilah sebuah perkumpulan,
dan itu berhasil menyelamatkan semuanya dari kemiskinan.
Semangat itu tidak
ada salahnya, dilakukan oleh pejabat, pengusaha hingga tokoh masyarakat kita di
daerah. Misalnya bagaimana membentuk karakter milenial agar gemar menabung dan
bersama-sama dari kalangan mereka bisa menciptakan aset yang besar dan itu
untuk kemajuan dan kepentingan mereka.
Selain mengikuti
cara Friedrich Wilhelm Raiffeisen, tidak ada salahnya, dari lembaga CU itu
sendiri membuat Fintec tandingan. Arah dan targetnya, bukan bagaimana cara
Fintec diciptakan untuk merangkul nasabah milenial, melainkan, bagaimana Fintec
itu sendiri mengajak milenial untuk gemar menabung.
Dengan kemajuan
teknologi saat ini, menciptakan aplikasi itu bukan lah hal yang sulit. Tinggal
bagaimana peran CU memanfaatkan teknologi yang ada, kemudian merangkul semua
elemen masyarakat agar terlibat di dalamnya, untuk memanfaatkan teknologi
tersebut, agar target anggota
dari milenial bisa mengena. Terutama
milenial berdomisili di desa. Itu lah sebenarnya senjata utama dari penulis.
Kembali
kepada Bupati Sintang. Jarot Winarno pada awal kalimat pembuka saya. Bagaimana CU mengharuskan menerapkan Fintec. Bisa saja,
kata “harus” diartikan sebagai media
sekaligus senjata, bagaimana lembaga keuangan seperti CU harus bersiap
menghadapi perubahan mendasar. Atau disebut disrupsi.
Tentunya
pesan itu juga bisa selaras dengan semangat Friedrich Wilhelm Raiffeisen. Semangat gotong-royong dan kebersamaan, menghimpun aset kemudian
memanfaatkannya secara bersama-sama. Baik memanfaatkan teknologi, maupun dengan
semangat kekeluargaan.
Pada akhirnya, Friedrich
Wilhelm Raiffeisen memang telah berjuang pada masanya. Tapi, semangat itu
setidaknya bisa selaras dengan Fintec dan diterima oleh kalangan milenial itu
sendiri. Setidaknya itulah tantangan CU ke depan.
* Penulis adalah
Mahasiswa Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Naskah ini
meraih Juara I dalam lomba menulis untuk merayakan 11 tahun berdirinya CU
Bahtera dengan tema “CU yang Ramah dan Sahabat Kaum Milenial”.