Pesan Friedrich Wilhelm untuk Milenial

November 29, 2019
Last Updated

Ruang pelayanan CU Bahtera. Foto: HEP
Oleh: Agus


CU Harus Menerapkan Fintec. Jika ingin menggaet anggota milenial. Itulah instruksi Bupati Sintang, Jarot Winarno.


Pesan itu yang saya tangkap, saat membaca portal berita. Tepatnya pada laman tribunpontianak.com. Lebih tepatnya, pada saat membuka Rapat Anggota Tahunan (RAT) pada salah satu Credit Union (CU) di Kota Sintang, Kalimantan Barat.


Kata 'harus ' saja bagi saya sangat ekstrem. Apalagi ditambah kata 'besar-besaran'. 


Sebagaimana diketahui. Dilansir pada laman Bank Indonesia, Fintec adalah sebuah produk layanan dari hasil gabungan  antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari yang konvensional menjadi moderat.


Adapun Fintec lahir, karena adanya revolusi industri 4.0, sehingga mendorong disrupsi dari segala bidang. Disrupsi di sini diartikan adanya perubahan berbagai sektor akibat digitalisasi dan “Internet of Thing”(IoT) atau internet untuk segalanya. 


Pada saat yang sama. Indonesia juga sedang mengalami bonus demografi. Di mana 33  persen penduduknya adalah milenial dengan rang usia 22-38 tahun. Sedangkan milenial adalah generasi yang paling familiar dengan teknologi.  


Dari dua variabel ini, Fintec dan Milenial, bisa dibilang saling berkaitan. Adanya disrupsi, industri Fintec menjadi primadona dan itu menarik perhatian begitu besar dari para pelaku industri keuangan. Sedangkan milenial bagaikan sebuah ladang potensial. Dan anggota itu adalah ladangnya. Tinggal bagaimana cara menggaet mereka sebanyak mungkin.


Pertanyaannya, jika hal itu diterapkan pada lembaga CU, bagaimana lembaga ini berusaha masuk dalam disrupsi. Saya belum bisa membayangkan: Betapa dahsyatnya bila semua CU di Kalimantan Barat bisa menggandeng perusahaan berbasis Fintec dalam menerapkan layanan CU mereka kepada seluruh anggotanya.


Tentu saja, anggota milenial dari tingkat desa bakal terangkul. Apalagi kita tahu, CU memiliki  lembaga yang memiliki basis kuat, terutama di tingkat desa dan pelosok. Kekuatan ini  ternyata belum bisa dilakukan oleh perusahaan pembiayaan lain, lantaran ekspansi pada daerah perkotaan, terutama kotamadya. 


Tapi, saya juga menaruh perhatian, dari kedahsyatan penerapan Fintec itu sendiri. Mengapa? Saya melihat fenomena hadirnya Fintec, yang sebelumnya sudah diterapkan oleh perusahaan pembiayaan maupun perbankan, cenderung memiliki tujuan hanya satu arah saja.


Artinya, bagaimana anggota milenial bisa tertarik mendapatkan pinjaman modal dengan mudah dan cepat, tanpa melihat hasil, apakah modal pinjaman yang sudah dilakukan bisa produktif atau tidak.


Tolok ukurnya sederhana saja. Bagaimana masifnya iklan atau promosi perusahaan pembiayaan, didesain menarik dan elegan di dunia maya. Kemudian bandingkan, apakah ada program literasi keuangan yang diberikan untuk seluruh anggotanya.


Untuk pembuktiannya sebenarnya simpel. Caranya, bisa dimulai dari mesin pencarian Google. Cukup mengetik keyword  “Jasa Fintec” isinya malah lebih banyak promosi iklan beserta benefitnya, ketimbang bagaimana Fintec tersebut berusaha mencerdaskan nasabahnya. Misalnya bagaimana modal yang dipinjam diarahkan ke hal produktif, dan bukan konsumtif. 


Kalaupun ada dari perusahaan Fintec dalam hal melakukan pendidikan literasi kepada nasabahnya. Itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Misalnya milenial dari lingkungan kampus. Dan itu juga tidak menyeluruh.


Padahal pendidikan literasi itu penting sekali untuk milenial, bagaimana mencegahnya agar tidak terjebak pada prilaku konsumtif atau hanya mementingkan kebutuhan gaya hidup.

Setidaknya ada arah referensi bagi mereka, bagaimana memulai investasi  yang baik. Satu di antaranya menjadi wirausaha. Penanaman nilai ini bagi saya penting digerakkan, bagaimana mengubah hidup mereka menjadi berkualitas. Bukan yang terjadi sekarang. Yakni sebaliknya.

Itu bisa dibuktikan dengan hasil Survei Asia Tenggara Luno bekerjasama Dalia Research. Dari laman kompas.com, dua lembaga ini merilis, ada 69 persen dari generasi milenial Indonesia tidak memiliki strategi investasi. Bahkan dari angka itu, ada 44 persen milenial Indonesia hanya berinvestasi sekali satu atau dua tahun. Mirisnya 20 persen di antaranya bahkan tidak berinvestasi.


Senada dengan hasil survei GoBankingRates, juga menyebutkan, kaum milenial jauh lebih boros ketimbang generasi lainnya. Misalnya, banyak individu yang menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak diperlukan seperti kopi, makan di luar, hiburan, pakaian, dan alkohol.

Bahkan ketika dikelompokkan berdasarkan kelompok usia, generasi milenium menghabiskan lebih dari setiap generasi lainnya secara keseluruhan, terutama untuk pakaian dan makan di luar.

Jika dikaitkan dalam skala Nasional sebenarnya, tingkat inklusi keuangan menunjukkan angka 67,8 persen. Artinya, dari angka tersebut menunjukkan orang dewasa sudah memiliki akses keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan menyimpulkan, pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan masih sangat minim. Hanya 29,7 persen masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai mengenai produk dan layanan keuangan.


Menyatukan Kekuatan

Kehadiran CU dan perusahaan pembiayaan berbasis Fintec, jika melihat dari sejarah dan perjalanannya hampir mirip. Sama –sama lahir pada zaman revolusi. Hanya masa saja yang membedakan dari keduanya.

Jika Fintec ada sejak 2017, lebih tepatnya pada zaman Revolusi Industri 4.0. CU justru lahir pada zaman Revolusi Industri, lebih tepatnya pada 1846 di Jerman dan itu didirikan oleh seorang Walikota di Jerman.

Friedrich Wilhelm Raiffeisen namanya. Konsep koperasi “Prinsip Menolong Diri Sendiri.” Artinya, untuk menghapus kemiskinan, seseorang harus melawan ketergantungannya, terbukti berhasil pada zamanya. Yakni mampu mengentaskan kemiskinan, terutama anggotanya yang dari golongan petani

Meski tujuan akhir dari keduanya sama. Yakni bagaimana merangkul anggota agar sebanyak mungkin untuk bisa bergabung di dalamnya. Tapi perlu digarisbawahi. Saya justru melihat, lembaga CU, sementara ini diakui terbukti mampu membentuk anggotanya menjadi solid.  

Mereka berkumpul atas dasar saling percaya. Lalu, membentuk suatu ikatan pemersatu dan akhirnya mereka bersepakat untuk menabung uang mereka di dalamnya. Tujuannya, tak lain, bagaimana menciptakan modal bersama, lalu digunakan untuk dipinjamkan kepada anggota, agar mereka produktif dan sejahtera.

Kekuatan ini lah sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh para pengurus dan anggota CU itu sendiri. Terutama jika ingin menggaet kalangan milenial. Di saat trend milenial cenderung memilih pinjaman dari yang terbiasa instan--langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman dengan tujuan konsumtif.

Pola pikir ini yang mesti diubah. Bukan bagaimana cara menyediakan pinjaman kepada anggota milenial yang dibuat mudah. Tetapi bagaimana menanamkan mereka agar gemar menabung terlebih dahulu, lalu membentuk karakter mereka bagaimana menciptakan modal, baru memanfaatkan atau meminjam.

Caranya, mesti dilakukan secara masif, bagaimana cara menelurkan semangat Friedrich Wilhelm Raiffeisen kepada milenial.

Cara masif yang saya maksud di sini, semua komponen masyarakat harus terlibat di dalamnya. Sama halnya perjuangan Friedrich Wilhelm Raiffeisen, kepiawaiannya melibatkan pengusaha hingga pejabat lokal agar bisa meyakinkan kepada penduduknya, agar gemar menabung kemudian bersama-sama menciptakan aset untuk kepentingan bersama.

Bila pada waktu itu, semangat Friedrich Wilhelm Raiffeisen, rela duduk bersama petani, dengan bertatap muka langsung, kemudian memulainya dengan membentuk lingkaran kecil, lalu mengubahnya menjadi lingkaran besar. Kemudian jadilah sebuah perkumpulan, dan itu berhasil menyelamatkan semuanya dari kemiskinan.    

Semangat itu tidak ada salahnya, dilakukan oleh pejabat, pengusaha hingga tokoh masyarakat kita di daerah. Misalnya bagaimana membentuk karakter milenial agar gemar menabung dan bersama-sama dari kalangan mereka bisa menciptakan aset yang besar dan itu untuk kemajuan dan kepentingan mereka.

Selain mengikuti cara Friedrich Wilhelm Raiffeisen, tidak ada salahnya, dari lembaga CU itu sendiri membuat Fintec tandingan. Arah dan targetnya, bukan bagaimana cara Fintec diciptakan untuk merangkul nasabah milenial, melainkan, bagaimana Fintec itu sendiri mengajak milenial untuk gemar menabung.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, menciptakan aplikasi itu bukan lah hal yang sulit. Tinggal bagaimana peran CU memanfaatkan teknologi yang ada, kemudian merangkul semua elemen masyarakat agar terlibat di dalamnya, untuk memanfaatkan teknologi tersebut, agar  target anggota dari milenial bisa mengena.  Terutama milenial berdomisili di desa. Itu lah sebenarnya senjata utama dari penulis.

Kembali kepada Bupati Sintang. Jarot Winarno pada awal kalimat pembuka saya. Bagaimana CU mengharuskan menerapkan Fintec. Bisa saja, kata “harus”  diartikan sebagai media sekaligus senjata, bagaimana lembaga keuangan seperti CU harus bersiap menghadapi perubahan mendasar. Atau disebut disrupsi.


Tentunya pesan itu juga bisa selaras dengan semangat Friedrich Wilhelm Raiffeisen. Semangat gotong-royong dan kebersamaan, menghimpun aset kemudian memanfaatkannya secara bersama-sama. Baik memanfaatkan teknologi, maupun dengan semangat kekeluargaan.


Pada akhirnya, Friedrich Wilhelm Raiffeisen memang telah berjuang pada masanya. Tapi, semangat itu setidaknya bisa selaras dengan Fintec dan diterima oleh kalangan milenial itu sendiri. Setidaknya itulah tantangan CU ke depan.

* Penulis adalah Mahasiswa Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Naskah ini meraih Juara I dalam lomba menulis untuk merayakan 11 tahun berdirinya CU Bahtera dengan tema “CU yang Ramah dan Sahabat Kaum Milenial”.

Selengkapnya