Br Greg MTB di tengah koleksi museum. Foto: Hilarinus
Oleh: Hilarinus Tampajara
Sehari setelah acara Cap
Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (9/02/2020) suasana kota kembali
seperti biasa. Hanya di Jl. Diponegoro, panitia Cap Go Meh masih melakukan
pembongkaran tribun yang digunakan untuk para tamu undangan menonton atraksi
para tatung yang ikut memeriahkan Cap Go Meh.
Siang itu jalanan masih
lenggang, cuaca agak cerah. Tidak jauh dari tribun itu, berdiri rumah para
bruder MTB yang dikenal dengan sebutan Bruderan. Bagunan yang telah
berdiri sejak tahun 1924 ini merupakan rumah pertama para Bruder MTB yang
datang dari negeri Belanda pada 11 Maret 1921.
“Sejak tahun 2009 saya
ditugaskan dan memulai mengurus musem ini. Saya secara perlahan-lahan
mengumpulkan barang-barang yang pernah digunakan para pendahulu bruder MTB yang
tersebar di komunitas-komunitas bruder MTB, ”kisah Br. Gregorius Saptonoegroho,
MTB saat ditemui di Bruderan MTB Singkawang.
MTB merupakan singkatan dari Maria Tak
Bernoda. Tarekat para bruder, atau biarawan Katolik. Para bruder ini memiliki
karya di bidang pendidikan, utamanya mengelola sejumlah sekolah dan asrama
untuk para siswa.
“Sebenarnya pertama kali
para bruder MTB Belanda datang ke Singkawang membeli rumah orang Tionghoa yang
kemudian di bongkar dan mendirikan rumah yang sekarang menjadi museum ini,
“ujar Bruder yang kerapkali dipanggil Br. Greg.
Para misionaris pendahulu. Foto: Hilarinus |
Bermula Lima Bruder
Para pendahulu Bruder MTB
yang datang bermisi ke Borneo Barat ini berjumlah lima orang diantaranya; Br.
Canisius, Br. Maternus, Br. Longinus, Br. Leo Geer, Br. Serafinus. Foto-foto
para misionaris Bruder MTB ini dapat dilihat dipojok ruangan museum ini.
Tujuan mereka bermisi
sesungguhnya menjawab permintaan dari Prefektur Borneo Barat, Mgr. Jan
Pasificus Bos, OFMCap yang kala itu mengalami kesulitan untuk mencari tenaga
pendidik untuk sekolah dan asrama yang dimulai nya.
“Dulu memang pemerintah
Belanda di Borneo mengharuskan sekolah-sekolah yang di kelola oleh misi, tenaga
pendidiknya haruslah memiliki sertifikat mengajar hal ini untuk syarat bagi
sekolah menerima bantuan dari pemerintah,” kisah Br. Claudius Kuyper, MTB satu
di antara misionaris yang masih menetap di Pontianak.
Br. Claudius sendiri
merupakan misionaris yang datang ke Kalimantan pada dekade tahun 1950-an. Ia
pernah ditugaskan sebagai Guru SMP Bruder di Singkawang dan di Nyarumkop
sebagai guru matematika dan fisika di SPG dan SMA Seminari .
Museum sebagai Pengingat
Sebagai upaya untuk
mengingat peran para bruder pendahulu dengan situasi dan kondisi sulit kala
itu, mereka berjuang dan bekerja keras dengan tekun dalam karya pelayanan nya.
Kiranya dengan alasan tersebut maka digagaslah agar ada museum yang dapat
menjadi “pengingat” atas jasa para pendahulu tersebut dengan cara membangun
museum yang menyimpan barang-barang yang pernah mereka gunakan.
Proyektor jadul. Foto: Hilarinus |
Barang-barang yang
disimpan di museum tersebut berupa alat mengajar, alat-alat komunikasi,
peralatan dapur, barang-barang miliki pribadi para bruder yang masih
tertinggal seperti mesin cukur rambut, janggut, kumis, dan barang lainnya.
Museum yang dinobatkan
dengan nama “Museum Van Hoydonk” ini resmi dibuka untuk umum pada tahun 2012.
Dari buku daftar tamu yang mengunjungi museum ini tertera asal pengunjung nya,
ada yang berasal dari Philipina, Belanda, Mexico, Amerika, Malaysia, dan Jakarta.
“Silakan datang, kita
terbuka untuk umum, memang selama ini masih terbatas karena orang belum banyak
yang tahu, saya kira museum ini juga dapat menjadi tempat edukasi sejarah bagi
siswa-siswi dan mahasiswa,” kata Br. Greg yang telah menjalani 33 tahun sebagai
Bruder MTB.
Museum yang menempati
rumah pertama para bruder MTB ini sekaligus sebagai saksi sejarah bahwa ada
semangat yang menggelora seolah terpatri pada dinding dan tiang-tiang rumah
yang sebagian besar menggunakan kayu ulin atau kayu besi.
“Rumah ini bertingkat,
untuk lantai bawah ini khusus disimpan barang-barang yang sering digunakan oleh
para bruder MTB dulunya. Barang-barang tersebut disimpan dilemari etalase kaca
dengan diberi keterangan mengenai merek barang, tahun penggunaannya, siapa yang
menggunakannya,” tutur Br. Greg.
Barang-barang Antik
Di tengah ruang museum
berdiri motor Vespa dan juga sepeda onthel merek Gazale. Scooter yang dibeli
pertama kali tahun 1972 ini sering digunakan oleh Br. Claudius untuk pergi
mengajar di Nyarumkop kala itu. Sedangkan disudut ruangan yang lain terdapat
motor bebek merek Suzuki yang masih terawat, motor tersebut dibeli pada 1980-an
dengan warna yang masih asli dari pertama kali dibeli.
Kemudian untuk lantai atas
rumah tersebut secara khusus untuk menyimpan arsip-arsip dan buku-buku serta
surat-surat para pendahulu bruder MTB yang tidak kalah pentingnya sebagai saksi
sejarah bagaimana mereka kala itu menahan rindu dnegan kampong halamannya
negeri Belanda.
Alat transportasi jadul masih utuh. Foto: Hilarinus |
Untuk itu beberapa hiburan
yang dapat mengobati kerinduan mereka tersebut maka beberapa barang-barang yang
mereka miliki yang bersifat menghibur seperti; meja bilyar, piringan hitam,
proyektor film, tustel atau kamera, orgel yang masih dipompa menggunakan pedal
kaki.
Dibeberapa sudut dan
dinding pada museum juga tergantung foto-foto lama yang memotret situasi
dan kondisi rumah, sekolah dan kota Singkawang kala itu. Namun yang juga tidak
kalah penting di tiga lemari etalase terpasang jubah para bruder MTB dari zaman
ke zaman. Awal para bruder tiba di Indonesia mengenakan jubah warna hitam
dengan ikat tali ikat pinggang berwarna hitam.
Setelah para bruder awal
tersebut mengalami cuaca khatulistiwa yang cukup panas maka beberapa saat
kemudian warna jubah hitam diganti dengan warna putih dengan tali ikat pinggang
putih. Maka bebeberapa dekade para bruder MTB dikenal dengan sebuatan “Bruder
Putih”.
Selain jubahnya putih
sebutan tersebut bagi anak-anak asrama dan umat untuk membedakan dengan para
bruder kapusin yang berjubah coklat. Setelah tahun 1980 jubah para bruder MTB
kembali mengalami metamorfosis dari warna putih menjadi warna abu-abu.
Piano klasik. Foto: Hilarinus |
Warna abu-abu ini
sejatinya warna jubah St. Fransiskus dari Asisi pertama kali bertobat, sebagai
pengikut dan penganut spiritualitas Fransiskan dalam Keluarga Ordo III Regular,
maka pimpinan Bruder MTB memutuskan dan menetapkan warna jubah bruder MTB menjadi
abu-abu sampai saat ini. Dan abu-abu juga menunjukan sebuah perpaduan hitam dan
putih dimana hitam adalah lambing dari kelemahan manusia sedangkan putih itu
melambangkan kesucian.
Hal ini dimaknai oleh para
bruder MTB, bahwa hidup sebagai bruder MTB itu kerapkali tidak luput dari
kelemahan dan dosa, kendati demikian usaha dan perjuangan tetap diarahkan untuk
mencapai kesucian hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.
“Kami pada 2021 mendatang
akan merayakan 100 tahun Bruder MTB berkarya di Indonesia khususnya di
Kalimantan Barat. Kiranya museum ini menjadi kisah suka-duka perjuangan para
pendahulu bruder MTB dalam pengabdiannya sebagai tenaga pendidik, baik di
sekolah dan asrama, sehingga dapat menyadarkan para generasi bruder MTB saat
ini,” ujar Br. Greg.