Melihat Koleksi Barang Antik di Museum Misi Bruder MTB di Singkawang

February 19, 2020
Last Updated

Br Greg MTB di tengah koleksi museum. Foto: Hilarinus

Oleh: Hilarinus Tampajara

Sehari setelah acara Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (9/02/2020) suasana kota kembali seperti biasa. Hanya di Jl. Diponegoro, panitia Cap Go Meh masih melakukan pembongkaran tribun yang digunakan untuk para tamu undangan menonton atraksi para tatung yang ikut memeriahkan Cap Go Meh.

Siang itu jalanan masih lenggang, cuaca agak cerah. Tidak jauh dari tribun itu, berdiri rumah para bruder MTB yang dikenal dengan sebutan Bruderan. Bagunan yang telah berdiri sejak tahun 1924 ini merupakan rumah pertama para Bruder MTB yang datang dari negeri Belanda pada 11 Maret 1921.

“Sejak tahun 2009 saya ditugaskan dan memulai mengurus musem ini. Saya secara perlahan-lahan mengumpulkan barang-barang yang pernah digunakan para pendahulu bruder MTB yang tersebar di komunitas-komunitas bruder MTB, ”kisah Br. Gregorius Saptonoegroho, MTB saat ditemui di Bruderan MTB Singkawang.

MTB merupakan singkatan dari Maria Tak Bernoda. Tarekat para bruder, atau biarawan Katolik. Para bruder ini memiliki karya di bidang pendidikan, utamanya mengelola sejumlah sekolah dan asrama untuk para siswa.

“Sebenarnya pertama kali para bruder MTB Belanda datang ke Singkawang membeli rumah orang Tionghoa yang kemudian di bongkar dan mendirikan rumah yang sekarang menjadi museum ini, “ujar Bruder yang kerapkali dipanggil Br. Greg.  

Para misionaris pendahulu. Foto: Hilarinus

Bermula Lima Bruder

Para pendahulu Bruder MTB yang datang bermisi ke Borneo Barat ini berjumlah lima orang diantaranya; Br. Canisius, Br. Maternus, Br. Longinus, Br. Leo Geer, Br. Serafinus. Foto-foto para misionaris Bruder MTB ini dapat dilihat dipojok ruangan museum ini.

Tujuan mereka bermisi sesungguhnya menjawab permintaan dari Prefektur Borneo Barat, Mgr. Jan Pasificus Bos, OFMCap yang kala itu mengalami kesulitan untuk mencari tenaga pendidik untuk sekolah dan asrama yang dimulai nya.

“Dulu memang pemerintah Belanda di Borneo mengharuskan sekolah-sekolah yang di kelola oleh misi, tenaga pendidiknya haruslah memiliki sertifikat mengajar hal ini untuk syarat bagi sekolah menerima bantuan dari pemerintah,” kisah Br. Claudius Kuyper, MTB satu di antara misionaris yang masih menetap di Pontianak.

Br. Claudius sendiri merupakan misionaris yang datang ke Kalimantan pada dekade tahun 1950-an. Ia pernah ditugaskan sebagai Guru SMP Bruder di Singkawang dan di Nyarumkop sebagai guru matematika dan fisika di SPG dan SMA Seminari . 

Museum sebagai Pengingat

Sebagai upaya untuk mengingat peran para bruder pendahulu dengan situasi dan kondisi sulit kala itu, mereka berjuang dan bekerja keras dengan tekun dalam karya pelayanan nya. Kiranya dengan alasan tersebut maka digagaslah agar ada museum yang dapat menjadi “pengingat” atas jasa para pendahulu tersebut dengan cara membangun museum yang menyimpan barang-barang yang pernah mereka gunakan.

Proyektor jadul. Foto: Hilarinus

Barang-barang yang disimpan di museum tersebut berupa alat mengajar, alat-alat komunikasi, peralatan dapur,  barang-barang miliki pribadi para bruder yang masih tertinggal seperti mesin cukur rambut, janggut, kumis, dan barang lainnya.

Museum yang dinobatkan dengan nama “Museum Van Hoydonk” ini resmi dibuka untuk umum pada tahun 2012. Dari buku daftar tamu yang mengunjungi museum ini tertera asal pengunjung nya, ada yang berasal dari Philipina, Belanda, Mexico, Amerika, Malaysia, dan Jakarta. 

“Silakan datang, kita terbuka untuk umum, memang selama ini masih terbatas karena orang belum banyak yang tahu, saya kira museum ini juga dapat menjadi tempat edukasi sejarah bagi siswa-siswi dan mahasiswa,” kata Br. Greg yang telah menjalani 33 tahun sebagai Bruder MTB. 

Museum yang menempati rumah pertama para bruder MTB ini sekaligus sebagai saksi sejarah bahwa ada semangat yang menggelora seolah terpatri pada dinding dan tiang-tiang rumah yang sebagian besar menggunakan kayu ulin atau kayu besi. 

“Rumah ini bertingkat, untuk lantai bawah ini khusus disimpan barang-barang yang sering digunakan oleh para bruder MTB dulunya. Barang-barang tersebut disimpan dilemari etalase kaca dengan diberi keterangan mengenai merek barang, tahun penggunaannya, siapa yang menggunakannya,” tutur Br. Greg.

Barang-barang Antik

Di tengah ruang museum berdiri motor Vespa dan juga sepeda onthel merek Gazale. Scooter yang dibeli pertama kali tahun 1972 ini sering digunakan oleh Br. Claudius untuk pergi mengajar di Nyarumkop kala itu. Sedangkan disudut ruangan yang lain terdapat motor bebek merek Suzuki yang masih terawat, motor tersebut dibeli pada 1980-an dengan warna yang masih asli dari pertama kali dibeli. 

Kemudian untuk lantai atas rumah tersebut secara khusus untuk menyimpan arsip-arsip dan buku-buku serta surat-surat para pendahulu bruder MTB yang tidak kalah pentingnya sebagai saksi sejarah bagaimana mereka kala itu menahan rindu dnegan kampong halamannya negeri Belanda. 

Alat transportasi jadul masih utuh. Foto: Hilarinus

Untuk itu beberapa hiburan yang dapat mengobati kerinduan mereka tersebut maka beberapa barang-barang yang mereka miliki yang bersifat menghibur seperti; meja bilyar, piringan hitam, proyektor film, tustel atau kamera, orgel yang masih dipompa menggunakan pedal kaki.

Dibeberapa sudut dan dinding pada museum  juga tergantung foto-foto lama yang memotret situasi dan kondisi rumah, sekolah dan kota Singkawang kala itu. Namun yang juga tidak kalah penting di tiga lemari etalase terpasang jubah para bruder MTB dari zaman ke zaman. Awal para bruder tiba di Indonesia mengenakan jubah warna hitam dengan ikat tali ikat pinggang berwarna hitam. 

Setelah para bruder awal tersebut mengalami cuaca khatulistiwa yang cukup panas maka beberapa saat kemudian warna jubah hitam diganti dengan warna putih dengan tali ikat pinggang putih. Maka bebeberapa dekade para bruder MTB dikenal dengan sebuatan “Bruder Putih”.

Selain jubahnya putih sebutan tersebut bagi anak-anak asrama dan umat untuk membedakan dengan para bruder kapusin yang berjubah coklat. Setelah tahun 1980 jubah para bruder MTB kembali mengalami metamorfosis dari warna putih menjadi warna abu-abu. 

Piano klasik. Foto: Hilarinus

Warna abu-abu ini sejatinya warna jubah St. Fransiskus dari Asisi pertama kali bertobat, sebagai pengikut dan penganut spiritualitas Fransiskan dalam Keluarga Ordo III Regular, maka pimpinan Bruder MTB memutuskan dan menetapkan warna jubah bruder MTB menjadi abu-abu sampai saat ini. Dan abu-abu juga menunjukan sebuah perpaduan hitam dan putih dimana hitam adalah lambing dari kelemahan manusia sedangkan putih itu melambangkan kesucian. 

Hal ini dimaknai oleh para bruder MTB, bahwa hidup sebagai bruder MTB itu kerapkali tidak luput dari kelemahan dan dosa, kendati demikian usaha dan perjuangan tetap diarahkan untuk mencapai kesucian hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.

“Kami pada 2021 mendatang akan merayakan 100 tahun Bruder MTB berkarya di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat. Kiranya museum ini menjadi kisah suka-duka perjuangan para pendahulu bruder MTB  dalam pengabdiannya sebagai tenaga pendidik, baik di sekolah dan asrama, sehingga dapat menyadarkan para generasi bruder MTB saat ini,” ujar Br. Greg.

Selengkapnya