Oleh P. Paskalis Nores CP, dari Roma, Italia

Hampir semua orang di belahan dunia ini pernah mendengar dan
mengenal kota Roma (berdiri pada
tanun 753 SM), kota metropolitan negara Italia. Di kalangan nasrani nama kota
ini sangat populer karena tulisan rasul Paulus terutama dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru (surat kepada jemaat di Roma).
Kita mengenalnya sekarang dengan julukan “kota abadi” atau “kota
suci” karena
selain sebagai pusat pemerintahan negara Italia, terdapat kota Vatikan sebagai
pusat agama Katolik di seluruh dunia, tempat kediaman Paus.
Roma adalah “pusat dunia”. Slogan yang selalu kita dengar
tetang kota Roma: “Banyak jalan
menuju Roma”, ini artinya kota Roma sebagai pusat dunia, salah satu pusat
kekaisaran Romawi pada masa lampau dan peradaban Eropa. Dengan sejarah
membentang lebih dari dua ribu lima ratus tahun, melalui mitos, ceritera rakyat
ataupun hasil kajian ilmiah.
Kota
Abadi Tak Pernah Sepi
Dahulu kala, jauh sebelum Kristus lahir, julukan Roma sebagai kota
suci “Urbs Aeterna” atau Kota Abadi dan “Caput Mundi” atau Ibu Kota Dunia, telah muncul jauh
sebelum julukan-julukan kota lain muncul. Pencetus julukan ini adalah penyair
Romawi bernama Tibullus.
Ia menuliskan secara eksplisit dalam puisinya bahwa Romulus
(pendiri kota Roma) telah membangun kota yang abadi. Sejak itu, para warga Roma
percaya jika kota mereka hancur, maka seisi dunia pun akan
hancur.
Kita lupakan kejayaan dan cerita zaman dahulu kala. Kenyataannya
walaupun kota unik, antik dan tua, ia seolah seperti “hidup”, ber-evolusi dan
bertransformasi dengan budaya dan zaman.
Orang-orang yang menghuni kota ini pun datang dari berbagai macam
suku bangsa. Kota ini tidak lagi menjadi milik atau klaim identitas kaum
tertentu sebut saja misalnya “bangsa romawi”, tetapi menjadi identitas bagi
semua bangsa baik Asia, Eropa, Afrika dan lain-lainnya.
Roma dengan populasi penduduk 4,3 juta jiwa memiliki daya tarik
wisata yang paling populer di Italia dan merupakan kota tempat berwisata bagi
turis di seluruh penjuru dunia, selain kota ini menjadi tujuan para peziarah
umat Katolik di seluruh dunia.
![]() |
Colesseum, satu di antara ikon kota Roma pada malam hari sebelum lock down. Foto: Paskalis Nores CP |
Roma, kota yang tak pernah sepi dari keramaian.
Roma, kota yang selalu bertransformasi dengan orang-orang yang
mengunjunginya dan menghuninya. Kota yang menawarkan sejuta keindahan dan nilai
budaya dan sejarahnya.
Roma, kota tempat para kaum berjubah, rohaniwan dan rohaniwati
Katolik belajar dan menimba ilmu, meneruskan tradisi ajaran agamanya. Roma
pusat dunia, kota yang selalu dikenang dan dirindukan oleh banyak orang yang
pernah berdiam dan mengunjunginya.
Itu dulu, cerita sebulan yang lalu….
Corona
Mengubah Segalanya
Hanya dalam waktu sebulan sejak kematian pertama akibat virus
corona terjadi di Italia, potret kehidupan di Negeri "Pizza" langsung
berubah drastis. Begitupun potret kehidupan di kota abadi, berubah drastis.
Virus corona mengubah segalanya.
Saat awal kejadian wabah virus corona di luar Italia, tepatnya di
kota Wuhan negara Cina, orang-orang di sini menganggapnya sebagai hal yang
biasa. Sebagian dari mereka membuat lelucon atau guyonan di media sosial.
Bahkan ketika penyebaran virus semakin masif hampir melanda
seluruh negara Cina, mereka kerapkali membully orang-orang “bermata sipit” dari
Asia di tempat-tempat umum, di bus-bus, kereta api atau di MRT.
Singkatnya, kata rasis dan rasisme selalu ada dan berlaku bagi
mereka yang berasal dari negara Cina. Imbas lain yang paling terasa ialah
adanya gerakan politik dan ekonomi, pemblokiran dan pelarangan untuk membeli
produk-produk dari negara Cina. Sunguh ini tidak adil!
Masih tentang isu awal penyebaran virus corona, ketika pemerintah
Italia mengkonfirmasi bahwa partama kali kasus terinfeksi pasien virus corona
pada tanggal 21 Februari 2020, masyarakat tampak biasa saja dan tidak
menghiraukannya. Aktivitas masyarakat berjalan normal.
Kafe-kafe dan bar masih penuh sesak, tempat-tempat wisata ramai
pengunjung, dan kehidupan politik se-dramatis seperti biasanya. Lalu lintas
masih macet, dan para turis masih melempar koin di Trevi Fountain (Fontana di
Trevi).
![]() |
Suasana saat lockdown Kota Roma, jalanan sepi siang hari.
Colosseum dilihat dari taman biara Jendralat Pasionis Ss. Giovanni e Paolo – Roma. Foto: Paskalis Nores CP |
Tak lupa pula orang-orang mengabadikan momen kunjungan mereka
dengan berfoto, berselfi-ria di Colosseum, di halaman Basilika St. Petrus, di
jalanan dan jembatan di tepi sungai Tevere, atau pun di museum. Kedai-kedai
kopi serta restoran pizza masih ramai, dan penduduk setempat masih mengeluh
tentang sampah yang meluap dari tong sampah.
Namun sekarang situasinya jauh berbeda....
Situasi di Italia semakin memburuk, penyebaran virus corona
semakin meluas, mulai dari wilayah Italia bagian Utara sampai masuk ke kota
Roma. Tiap hari 700an orang meninggal karena serangan virus ini.
Sekarang barulah mereka sadar bahwa virus corona adalah persoalan
serius. Pemerintah mulai melakukan kebijakan “lock down” untuk kota Roma.
Sebagian dari mereka yang sebelumnya membully, membuat lelucon
atau guyonan di medsos tersadarkan oleh peristiwa yang menimpa seluruh Italia.
Sekarang mereka ramai-ramai menulis: “Siamo onde dello stesso
mare, foglie dello stesso albero, fiori dello stesso giardino. Grazie Cina”, yang
artinya: Kita adalah ombak dari laut yang sama, dedaunan dari pohon yang sama,
bunga dari taman yang sama. Terima kasih Cina!
Kian
Sunyi dan Sepi
Jalanan, sudut kota mulai sunyi dan sepi. Tidak ada lagi kerumunan
orang, para turis pun sepi.
Tak terdengar lagi suara keriuhan di pusat kota dan sudut kota.
Tak terdengar lagi nyanyian dan alunan musik dari para pemusik jalanan.
Tak terlihat lagi pelukis jalanan yang nongkrong di trotoar
menjajakan jasa mereka dari hasil karya tangan mereka.
Tidak ada lagi para “pedagang jalanan” - kebanyakan kaum imigran
illegal - yang menawarkan payung saat hujan, menawarkan minuman saat haus di
musim panas, menawarkan “tongkat narsis” atau “power bank” kepada para turis di
kota ini.
Sekarang, jalan-jalan di seluruh Italia hampir kosong, lalu lintas
hilang.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dan aturan bagi warganya yaitu
mengkarantina diri sampai batas waktu yang belum pasti. Pemerintah menghimbau
warganya untuk selalu menjaga kebersihan, memberlakukan aturan “social distancing”.
![]() |
Br. Efraim Diakon Ambon CP sedang melihat suasana
kota Roma dari kejauhan di taman biara Jendralat Pasionis Ss. Giovanni e Paolo. Foto: Paskalis Nores CP |
Lebih dari 60 juta penduduk Italia, termasuk 4,3 juta orang yang
berdiam di kota Roma telah diperintahkan untuk tetap di rumah. Pemerintah
melibatkan polisi dan militer yang stand
by dalam waktu 24 jam berjaga-jaga di setiap titik strategis dan sudut
kota.
Ini semua bertujuan untuk menertibkan warganya. Jika berpergian
atau berkeliaran di jalanan maka pasti akan ditangkap dan diinterogasi oleh
polisi. Denda 100-300 euro atau penjara selama 3 bulan berlaku bagi warga yang
kedapatan berkeliaran atau nongkrong di tempat umum atau berkeliaran tanpa
tujuan.
Adapun yang diperbolehkan keluar rumah ialah mereka yang memiliki
kepentingan tertentu dan mendesak (seperti belanja kebutuhan pokok rumah
tangga). Para pekerja yang berkerja di isntansi/perusahaan swasta harus membawa
surat keterangan dari pimpinan tempat mereka bekerja dan berlaku bagi mereka
yang tinggal dan bekerja di kota yang sama.
Hal ini diperketat untuk mencegah keluar masuknya warga dari kota
satu ke kota lainnya. Pokoknya kontrol dan pemeriksaan riwayat perjalanan
seseorang oleh pemerintah dan otoritas yang berwenang sangat diperketat.
Sekolah, universitas, kantor pemerintah dan akses publik ditutup,
kecuali transportasi publik masih berjalan normal.
Seluruh kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang dilarang
oleh pemerintah.
Basilika, gereja dan Vatikan sebagai pusat kegiatan keagamaan
untuk sementara waktu ditutup.
Sebagian besar tempat usaha ditutup, kecuali toko makanan (seperti
mini market) dan apotek tetap buka dengan limit waktu tertentu.
Ketatnya
Pemerintah
Seorang suster (biarawati) yang tinggal di komunitas kecil dengan
beranggotakan 3 orang menceritakan kepada saya tentang pengalamannya berbelanja
di mini market:
“Kami di
komunitas kecil mulai kekurangan bahan makanan, tetapi tidak berani keluar
pergi belanja. Sekalipun berani juga pasti antri panjang, selain mengikuti
beberapa aturan: seperti menggunakan masker, sarung tangan, jaga jarak dengan
yang lainnya, menjaga etika dan lain-lain.”
“Dua minggu yang lalu saya antri selama 4 jam. Pergi sendiri
karena aturannya tidak boleh ada orang lain yang menemani. Keluar dari rumah
jam 10 pagi, masuk rumah jam 4 sore hanya untuk belanja.”
“Dalam perjalanan dicegat oleh polisi, ditanya tentang identitas,
kelengkapan dokumen, tujuan berpergian dan jalur yang sudah dilewati ataupun
yang akan dilewati saat kembali ke tempat semula. Kemudian petugas menyodorkan
surat yang harus ditandatangani lengkap dengan nama sesuai identitas sebagai
bukti telah melakukan perjalanan dengan catatan untuk keperluan tertentu.”
“Bagi saya sangat menyiksa, tetapi saya tetap ikut aturan demi
kebaikan bersama.”
Demikian keaksian suster yang dia
kirim melalui pesan WA (WhatsApp)
kepada saya.
Saya bisa memaklumi mungkin bagi sebagian orang aturan yang
diberlakukan oleh pemerintah sangat membebani. Artinya tidak semua orang bisa
menerima kenyataan saat ini.
Kegelisahan
dan Kesedihan
Kegelisahan dan kesedihan saya ialah bahwa saat ini orang-orang,
keluarga-keluarga di Italia - tempat saya berpijak dan berdiam, di luar
jangkauan dan pengalaman saya – mereka menjerit dan menangis setiap saat, bukan
hanya ketakutan terjangkit virus corona.
Tetapi mungkin sebagian besar dari mereka sudah tidak mendapat
makanan, sebagian dari mereka sudah tidak dapat membeli obat-obatan. Mereka
mengalami keterbatasan dan kesulitan hidup yang luar biasa.
Sekarang…
Kota Roma sunyi, sepi dan sangat mencekam. Orang-orang mengalami
kecemasan dan ketakutan luar biasa.
Mereka takut bukan karena situasi perang-- sebagaimana sejarah
kelam kota ini sejak zaman kuno, abad pertengahan, zaman reformasi dan
penindasan kaum nazi sampai zaman modern (perang dunia II)---telah mengalami
kehancuran berkali-kali.
Orang-orang mengalami ketakutan bukan karena ancaman bom dan
pembunuhan oleh mafia ataupun teroris.
Tetapi, karena virus korona, virus yang sangat mematikan. Virus
yang melumpuhkan sendi sendi kehidupan manusia.
Di kota abadi, aktivitas mati, denyut jantung kota berhenti, dunia seakan berhenti. (HEP)
Roma,
27 Maret 2020.