Ritual Dayak, Memohon Perlindungan Petara

March 25, 2020
Last Updated

SEJUMLAH komunitas masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, menggelar ritual “tolak bala” sebagai respon atas wabah virus corona baru (Covid-19). Komunitas adat memandang ritual tradisional ini sebagai bentuk pemohonan kepada para leluhur dan Sang Penguasa Alam, agar membantu menghindarkan bumi dari mara-bahaya.

Mempersiapkan sesaji. Foto: Sutomo

Secara sporadis, mereka menggelar ritual di kampung masing-masing, dengan sebutan yang berbeda tergantung bahasa dan sub etnik-nya. Satu di antaranya terjadi pada komunitas Dayak Iban Menua di Rumah Panjang Sungai Utik di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu.

Mereka telah menutup diri dari berbagai kunjungan sejak 18 Maret. Kemudian pada Minggu 22 Maret 2020 sore, digelarlah ritual “Ngampun” yang diyakini sebagai usaha penyeimbangan kosmis di komunitas itu dengan memohon perlindunban Petara (Sang Pencipta dan Penguasa Alam, menurut istilah setempat) dengan roh para leluhur.

Ritual Ngampun

Ketua Badan Pengurus Harian (PBH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Kapuas Hulu, Herkulanus Sutomo Manna, dihubungi KoSaKata melalui sambungan telepon, Rabu (25/3/20) mengatakan, ritual yang disebut “Ngampun” dilakukan murni sebagai inisiatif warga setempat, sebagai respon atas merebaknya sebaran Covid-19.

“Ritual ‘Ngampun’ bertujuan meminta roh para leluhur yang menjaga kampung dari gangguan roh jahat, berupa segala hama penyakit agat tidak menganggu kehidupan komunitas ini,” kata Sutomo, yang merupakan bagian komunitas Iban di Sungai Utik.

Dia menjelaskan, ada 28 bilik di Rumah Panjang Sungai Utik, ada 16 rumah tunggal, dengan keseluruhan 81 kepala keluarga serta 278 jiwa. Para tetua adat memimpin upacara.

Ritual dimulai dengan “Nganjung Pedara” yang dilakukan sambil membacakan sampi (doa dan permohonan). Tiga sesaji dipersiapkan dalam tampi atau nyiru, diperuntukkan bagi roh jahat yang menganggu.

Tampi ini diletakkan di “langkau ampun”, suatu rumah kecil yang dipersiapkan untuk menempatkannya, yang di posisikan di tiga penjuru kampung.

Sementara sesaji yang diwadahi “rancak” atau keranjang bambu, diperuntukkan bagi roh baik yang menjaga kampung.

Sebagai bentuk isolasi, tetua adat memasang palang dan pengumuman di gerbang kampung, agar warga tidak boleh keluar dan orang lain tidak boleh bertamu dalam rentang pukul enam sore hingga pukul enam pagi keesokan harinya.

Ba’angko Baniat

Di pedalaman Kabupaten Ketapang, komunitas Dayak Kualan menggelar ritual “Ba’angko Baniat” di tempat keramat “Botuh Bosi.” Frans Lakon, seorang vloger setempat yang menghadiri ritual itu, mengatakan, empat orang tetua adat menjadi pemimpin ritual dengan sejumlah sesajen seperti empat ekor ayam kampung, nasi ketan, tepung tawar, dan beras.


Keramat Botuh Bosi. Foto: Frans Lakon

”Masyarakat adat menganggap wabah Covid-19 sebagai sampar, sumber penyakit, yang juga harus diusir dengan ritual adat,” kata Lakon.

Ritual yang digelar di tempat keramat di bibir Sungai Kualan di Dusun Pendaun, Kecamatan Simpang Hulu itu dilaksanakan Sabtu (21/2/10), dengan sejumlah rangkaian. Melalui vlog-nya, Lakon membagikan visual bagaimana prosesi itu berlangsung.

Dimulai dari empat pemimpin ritual melakukan “beibu””, yakni mengusir sampar penyakit dengan mengibas-kibaskan sesaji, disusul “ngorak banyawai puaka penungu keramat” atau membangunkan roh penunggu keramat dengan satu kali tembakan senapan lantak ke udara, kemudian “nudok angko” berupa meminta pertolongan leluhur agar Covid-19 tidak menimpa warga.

Ritual ditutup dengan pembacaan pantang yang harus dipatuhi semua penduduk kampung, yakni selama satu hari setelah ritual, tidak boleh keluar masuk kampung.

Sejumlah daerah lain di Kalimantan Barat juga menggelar ritual serupa, dengan sebutan berbeda-beda. Di Komunitas Dayak Kanayatn, misalnya, disebut ritual “Balala’ Tamakng”, dengan esensi yang kurang lebih sama.

Umumnya, sebelum ritual digelar, para tetua adat melakukan musyawarah (bahaum-bakomo), untuk menentukan waktu pelaksanaan dan lokasinya. Biasanya digelar di tempat-tempat keramat, yang dalam istilah Dayak Kanayatn disebut “panyugu” atau “pantak”.

Angka Sementara

Penyebaran Covid-19 terus bertambah dari hari ke hari, menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Seorang perempuan berusia 69 tahun dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) meninggal pada Sabtu (21/3/20).

Sementara hingga Senin pagi dinyatakan sebanyak 1.421 orang dalam pemantauan (ODP) di provinsi itu yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Untuk jumlah PDP sebanyak 21 orang yang dirawat di beberapa rumah sakit rujukan. Ada dua orang terkonfirmasi posifit Covid-19, namun otoritas setempat menyatakan keduanya menunjukkan perkembangan yang semakin membaik.

Pemerintah Kalimantan Barat telah memberlakukan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Corona sejak 18 Maret, menyusul bertambahnya jumlah pasien positif Covid-19 menjadi dua orang. Dari otoritas keagamaan, di antaranya Keuskupan Agung Pontianak mengeluarkan surat pada 20 Maret untuk menunda kegiatan kerohanian Katolik bersifat massal, termasuk Misa Kudus, dalam rentang 23 Maret hingga 4 April.


Status media sosial Gubernur Sutarmidji. 

Melalui laman media sosialnya @Bang Midji, Gubernur Sutarmidji pada Senin siang telah melontarkan ancaman: “Warga yang nekad masih kumpul disemprot saja.”

Sebelumnya bahkan dia menyatakan: “Karena masih ada yang bandel, tetap kumpul di keramaian, maka kita akan ambil tindakan bersama TNI, Polri, dan Satpol PP kalau perlu yang ngumpul kita jadikan ODP.”

Relawan bersama pemerintah telah melakukan penyemprotan disinfektan di rumah-rumah ibadah dan jalan protocol di Kota Pontianak. Meski demikian, sebagian warga Kota Pontianak tidak mengindahkan anjuran untuk berada di rumah, justru masih beramai-ramai nongkrong di café-café dan warung kopi.  (Hanz E. Pramana)

Selengkapnya