Oleh: Amon Stefanus
KEPEPET dapat
menimbulkan kreativitas. Semboyan ini berlaku bagiku. Karena mengalami
kesulitan dalam studi dan keuangan,
maka aku coba-coba menulis di media massa.
Ini juga didorong oleh
pengalaman beberapa rekan mahasiswa senior seperti Markus Mardius yang sudah
lebih dulu memiliki pengalaman menulis di media massa. Dia bahkan sudah mampu
menelorkan sebuah buku diterbitkan Gramedia, kala itu.
Tulisanku yang
pertama kali dimuat berjudul “Kiat
Menjadi Idola Remaja”. Tulisan tersebut dimuat di Ruang Tunas Muda (RTM), Mingguan Hidup yang terbit di Jakarta edisi
No. 21 Mei 1990.
Ketika aku
mendapatkan kiriman honor lewat wesel pos pada 18 Juni 1990 bukan main
senangnya. Aku langsung traktir teman-teman anggota Legio Maria makan bakso
sebagai ungkapan rasa senangku.
Untuk selanjutnya
aku menjadi pengisi setia kolom RTM pada Mingguan Hidup. Hingga tahun-tahun
terakhir di Jogja, aku masih sering menulis di Mingguan Hidup.
Namun tulisan yang
dimuat bukan lagi dalam bentuk opini tapi dalam bentuk resensi buku. Setelah
pulang ke Kalimantanpun ada beberapa resensiku yang dimuat di Majalah Hidup. Setelah dimuat di Mingguan Hidup, aku juga mencoba
mengirimkan tulisanku di media massa lain.
Beberapa artikelku
dimuat pada Mingguan Simponi, Swadesi, Sentana, dan Harian Berita Yudha.
Semuanya terbitan Jakarta. Selain itu juga pernah dimuat di Harian Akcaya
(sekarang Pontianak Post), Majalah Sinus dan Harian Bernas (keduanya terbitan
Jogjakarta).
Setelah tulisanku
dimuat di Harian Bernas, aku menjadi semakin semangat dan lebih percaya diri.
Aku mencoba mengirimkan tulisanku ke Harian Kompas (Jakarta). Tiga kali
berturut-turut tulisanku dikembalikan.
Artikel yang
keempat yang berjudul “Melihat
Satu Sisi Kurikulum 1994”,
merupakan tulisan pertama berbentuk artikel opini yang
dimuat di koran nasional bergengsi itu.
Dr. St.
Suwarsono, dosen mata kuliah Seminar Pendidikan langsung memberiku nilai A
untuk mata kuliah yang diampunya.
Klipping tulisan saya di sebuah surat kabar puluhan tahun lalu. |
Rasanya aku tak
percaya. Kok bisa artikelku dimuat, padahal
menurut dosenku, menulis di Kompas itu
banyak saingan. Termasuk harus bersaing
dengan para penulis yang sudah punya nama.
Namun rupanya,
kalau kita memiliki kemauan keras, tekun dan ulet, tidak ada yang mustahil.
Kita bisa bila berpikir bisa, begitu kata Norman Vincent Peale.
Ada satu pengalaman yang sangat berkesan bagiku, sebagai pengirim tulisan ke
Kompas. Itu terjadi ketika
pengumuman kelulusan kuliahku pada 1995.
Kala itu, 4 Februari 1995, aku mendapatkan kebahagiaan ganda. Pertama,
aku lulus dan berhak menyandang gelar sarjana pendidikan. Kedua, resensiku
dimuat pada harian Kompas.
Honornya lumayan
untuk ongkos pulang ke Kalimantan. Kalau dibelikan tiket pesawat Semarang-Ketapang ada
lebihnya.
Selain pernah
dimuat di Kompas, beberapa tulisanku juga pernah dipublikasikan di Harian The
Jakarta Post.
Apakah ada kiat
tertentu dalam menulis? Bagiku tidak ada kiat khusus. Aku tidak pernah kursus
jurnalistik.
Mungkin modal yang
kumiliki adalah karena aku memang suka membaca. Selebihnya karena mengandalakan
kekerasan hati: mencoba dan mencoba, pantang putus asa, tambah rajin membaca. (HEP)
* Penulis adalah seorang
pendidik, lulusan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tinggal di Ketapang,
Kalimantan Barat.