Oleh Paskalis Nores, CP
dari Roma, Italia
TAK pernah terbayangkan olehku untuk
menjejakkan kaki di kota abadi ini. Ketika pertama kami menapak jejak di Negeri
Pizza pada Minggu 12 juni 2016 silam, kesan yang langsung melekat “adakah
betapa ramainya kota ini”. Seakan seluruh perhatian dunia tercurah di sini.
Kesan pertama ketika itu ialah
betapa kagumnya diriku karena kota ini sangat unik. Kota tua yang sudah ada
sejak zaman sebelum masehi. “Kota abadi” sebagai pusat dunia yang melegenda. Sangat
mengagumkan.
Baca juga: Di Kota Abadi, Dunia Seakan Berhenti.
Yang jelas sekarang aku telah berada
di kota ini sejak 3 tahun silam. Kenyataanya aku masih di sini. Di kota ini aku
hadir untuk merajut mimpiku.
Empat tahun berlalu, siapa sangka
wabah virus corona baru (Vovid-19) telah mengubah segalanya. Tidak ada lagi
jalan-jalan sementara waktu.
Jangankan jalan-jalan keliling kota,
atau bersepeda saat weekend, keluar
rumah saja tidak berani. Denda 100-300 euro atau tidur di jeruji besi selama 3 bulan menanti setiap orang yang
tidak patuh.
Sebagaimana warga lainnya, saya
sudah mematuhi locdown selama sebulan
penuh. Belum ada kepastian kapan selesai. Tetap saja wabah corona-19 masih
merajalela.
Terpaksa Gaul Online
Imbas dari lockdown salah satunya aktivitas belajar-mengajar yang semula
berjalan normal terhenti. Beberapa professor
(dosen) harus kreatif, mau bergaul dengan alat elektronik,
menggunakan metode baru menyampaikan kuliah secara online kepada mahasiswanya.
Beberapa di antara mereka kesulitan
dengan metode seperti ini.
“Kalian tahu bahwa saya tidak suka dan tidak terbiasa dengan metode mengajar seperti ini, berbicara sendiri seperti orang gila.”
“Saya lebih senang berbicara,
berinteraksi dan bertatap muka dengan kalian,” ujar seorang professor melalui email-nya.
Satu bulan ini, bahan-bahan kuliah
saya terima secara online. Begitu
juga tugas-tugas, semua online. Saya
harus betah di depan komputer untuk membaca, belajar, dan menulis (juga menulis
cerita untuk Anda!)
Tetapi untuk berada di rumah sepanjang
hari, sepanjang waktu bukanlah hal yang baru bagiku, bagi teman-teman yang
lainnya, para rohaniwan, biarawan dan biarawati.
Khususnya bagi para eremit, para
rahib dan suster-suster kontemplatif. Mereka berada di rumah untuk seumur
hidup. Sementara sebagian dari kita mengeluh dan cepat bosan berdiam sementara
di rumah saat wabah ini belum usai.
Keluhan Sebagian Orang Italia
Di tengah hiruk pikuknya wabah
covid-19, sebagian orang atau keluarga tidak mudah menerima kebijakan
pemerintah untuk “mengkarantina diri” di rumah.
Ketika diberlakukannya lockdown di kota ini, sebagian orang
menulis dalam status media dosial mereka:
Saya (kedua dari kiri) saat makan malam di biara Jeneralat. |
Sebagian lagi menulis: “… andrà
tutto bene,” artinya: “semuanya akan baik-baik saja.”
Tidak mudah memang untuk berdiam dan
tinggal di rumah. Sebagian orang di kota ini mengalami kesulitan untuk berdiam
di rumah.
Sebagian dari mereka lebih banyak
berada di perjalanan daripada di rumah kediaman. Sebagian dari warga kota ini
jarang pulang ke rumah, mereka menghabiskan waktu berkeliaran di jalan-jalan
kota, di pantai, di tempat hiburan, dan restoran.
Bandit Seperti Bunglon
Para bandit atau pencopet jalanan,
pun hadir menghiasai kota tua ini. Mereka selalu hidup di tengah keramaian
kota.
Mereka seolah-olah ber-evolusi
seperti seekor “bunglon”. Mereka ada di mana-mana, di bandara, di bus-bus, di
dalam kereta, di terminal MRT atau di sekitar halaman Basilika St. Petrus.
Atau di tengah keramaian pasar, di
keramaian pasar “kaget” yang hanya buka pada hari minggu (salah satunya di
Porta Portese). Konon katanya, percaya atau tidak, beberapa di antara mereka
sudah dilatih dan ada sekolah khusus untuk itu.
Lain lagi dengan para gelandangan–di
setiap kota, di belahan kota di dunia pasti selalu ada yang namanya kaum
gelandangan--sebagai imbas kesenjangan sosial di dalam masyarakat. Mereka
adalah bagian dari sejarah “kota abadi”.
Mereka tidak punya rumah, tinggal di
jalanan di sudut kota, di bawah jendela toko, di lorong dan jembatan. Polisi
dan petugas tidak bisa menerapkan aturan ketat bagi orang-orang seperti ini.
Apalagi memberlakukan denda,
paling-paling mereka memilih dengan sukarela untuk dijebloskan ke dalam penjara
tanpa harus diinterogasi terlebih dahulu, karena tidak memiliki uang. Jangankan
uang, makan saja mereka tergantung dari orang lain, tergantung dari para kaum
berjubah, para suster yang hingga saat ini masih melayani mereka dalam hal
memberi makan.
Di beberapa sudut kota di mana
terdapat biara, para gelandangan ini harus antre, berbaris dengan rapi saat jam
makan siang tiba demi mendapatkan roti dan makanan seadanya.
Curhat Video Call
Ketika awal diberlakukannya locdown di kota ini akhir Februari 2020,
seorang ibu dari salah satu anggota keluarga yang tinggal di Roma bercerita
kepada saya, jika mereka sekarang tidak bisa bebas seperti biasanya untuk
berpergian, jalan-jalan di pusat kota, berkumpul dengan teman-teman sekedar
makan di restoran.
Pokoknya suasana berubah sejak wabah
covid-19 melanda kota ini:
“Tinggal di rumah sangat menyiksa
diri, membosankan.”
“Tinggal di rumah serasa hidup bagai
pertapa.”
“Sekarang kami sekeluarga hidup
seperti eremit.” demikian kisahnya melalui video
call.
Bagaimana dengan kami? Di dalam
rumah, kami menyebutnya biara, karena kami hidup dalam keluarga besar dengan
menjalankan aturan yang ketat, aktivitas yang selalu dijalankan bersama-sama.
Namun sebagai manusia, kami merasa
was-was, takut dan cemas, “jangan-jangan beberapa di antara kami sudah positif
virus corona”.
Hidup Membiara
Virus abad ini sangat mematikan. Bisa
menyerang siapa saja, di mana dan kapan pun. Maka tidak menutup kemungkinan, risiko
penyebaran virus corona dalam biara sangat rentan. Jika salah satu anggotanya
positif virus tersebut, maka sangat mudah menjangkit ke anggota lainnya.
Suster Rubiah Pasionis mengikuti misa live streaming di Biara Campagnano, Roma. Foto: Sr Margaretha CP |
Beberapa biara di beberapa kota di Italia diberitakan sudah ada yang positif virus corona, di antaranya ada yang sudah meninggal. Pada 20 Maret 2020 salah satu media online Italia (https://www.ilfattoquotidiano.it) menyebutkan, di kota Roma terdapat dua biara yang beranggotakan sekitar 80 suster.
Sebanyak 59 anggotanya positif
covid-19. Pemerintah langsung mengisolasi setiap anggota biara tersebut dengan
menetapkan semua anggotanya dalam status orang dalam pemantauan (ODP).
Masih ada banyak biara yang mungkin
juga saat ini belum terdeteksi dan tercatat kondisinya. Berharap semoga
kejadian ini tidak merembet luas di setiap biara!
Para imam (rohaniwan Katolik) pun
tak luput dari korban keganasan covid-19. Sudah lebih 50 imam (termasuk juga
beberapa uskup) di negara ini yang memilih untuk mendampingi umatnya sampai
akhir.
Karantina Diri
Situasi di seluruh Italia semakin
memburuk. Berita yang terbit 29 Maret 2020, kasus covid-19 tercatat 92.472,
kematian sudah di atas 10.000 orang. Sangat sedih!
Semua orang sadar virus ini sangat
mematikan. Sekarang orang-orang semakin menyadari betapa pentingnya
“mengkarantina diri” di rumah. Inilah salah satu cara terbaik untuk memutus
rantai penyebaran virus tersebut.
Tetapi tetap saja keadaan terus
memburuk. Kami hanya berpasrah dan terus berdoa kepada Tuhan, memohon agar
wabah ini cepat berlalu!
Hampir setiap hari, keluarga,
sahabat, dan teman-teman di Indonesia menanyakan kabar tentang kami di Italia. Masih
banyak orang yang bingung dan prihatin tentang situasi ini,
“Saya bingung dan prihatin, di
Italia udah lockdown tapi kok kasus
baru orang terinfeksi covid-19 tetap makin banyak.”
“Kami hanya pasrah dan berdoa agar
semuanya cepat berlalu.”
“Kami di Indonesia sekarang sedang
was-was dan ketakutan.”
“Pemerintah sudah memberlakukan lockdown, tetapi masih banyak yang
‘ngeyel’, masih banyak yang tidak menghiraukan peraturan.” Demikian pesan
singkat dari Indonesia melalui WhatsApp.
Ibadat via Crucis di kapel Biara Jeneralat Pasionis Ss. Giovannie e Paolo, Roma. |
Kami hidup berkomunitas, menjalankan
aturan sesuai regula. Itu kami jalankan secara sukarela, dengan ketaatan dan
gembira!
Kami tetap melaksanakan misa dan doa
harian, karena itu wajib. Tapi prosedurnya sangat ketat.
Kami harus menerapkan anjuran dan
aturan pemerintah untuk memberlakukan “physical
distancing”. Misalnya saat berdoa di kapel, harus ada jarak minimal 1-2
meter dari tempat duduk masing-masing (bangku koor).
Di beberapa komunitas religius,
khususnya para suster (biarawati), sesuai surat edaran Vikarius Keuskupan Roma salah
satu poinnya menyebutkan, selama merayakan Ekaristi, imam wajib menggunakan
masker. Bagi saya hal ini agak aneh dan tidak biasa!
Pakai Masker Saat Persembahkan Misa
Pada Minggu Prapaskah IV saya
ditugaskan pimpinan rumah mempersembahkan Ekaristi di salah satu komunitas
suster di Roma. Selama ini komunitas tersebut mendapat pelayanan dari para
pastor Pasionis.
Sebelum mulai perayaan Ekaristi, madre superiora (pimpinan biara)
mengingatkan saya, misa wajib menggunakan masker. Masalahnya di komunitas
tersebut tak satu pun para susternya menggunakan masker.
Ketika saya tanyakan mengapa, madre-nya
menjawab, mereka tidak punya masker. Beberapa hari sebelumnya salah satu dari
mereka (suster bagian ekonom rumah) pergi ke apotek untuk belanja obat-obatan
keperluan infermeria (ruang perawatan/P3K). Sangat disesalkan karena masker di
apotek sudah habis.
Untunglah pada waktu itu saya
membawa masker. Jujur saja seumur hidupku tidak pernah menggunakan masker saat
merayakan Ekaristi. Tidak biasa dan merasa tidak nyaman!
Setelah selesai misa, salah satu
suster menghampiriku dengan raut muka sedih.
“Selama mengikuti perayaan Ekaristi,
saya sedih dan menangis.”
Saya tanya balik ke suster tersebut:
“Lha, mengapa suster bersedih dan menangis?”
“Saya tidak tega melihat pastor
pakai masker selama Ekaristi,” jawab suster tadi sambil mengusap air mata
kesedihannya.
“Saya merasa sedih mengapa kita
memperlakukan Yesus seperti ini. Seharusnya kita merayakan iman dengan gembira
dan sukacita, ini kita seolah-olah berada di rumah sakit,” demikian sambungnya.
“Karena kita beriman dan berakal
budi (fides et ratio), maka kita
memperlakukan Yesus demikian.”
“Karena Gereja cinta kehidupan (pro vitam) dan kehidupan itu harus
dilanjutkan agar tetap bisa memuji dan memuliakan nama-Nya,” itulah sekedar
jawaban spontan sekaligus menguatkan suster yang bersedih tadi.
Masih soal pembicaraan seputar
aktivitas misa dan ibadat. Virus corona juga berdampak dalam kehidupan dan
peribadatan umat Katolik di seluruh dunia.
Semua aktivitas keagamaan
dihentikan. Basilika dan Gereja untuk sementara ditutup.
Belum lagi ada yang mempermasalahkan
soal ibadat atau misa yang disiarkan secara online.
Sah atau tidak umat yang berdoa di depan televisi secara live streaming, dan
lain-lain!
Banyak yang menuduh para uskup dan
pastor sedang “krisis iman”, lebih takut dengan virus daripada takut dengan
Tuhan.
Yang jelas, prinsip yang harus
diterapkan bagi setiap orang Katolik, yaitu “Credo ut intelligam” (saya beriman untuk mengerti) dan “intelligo ut credam” (saya berpikir
untuk percaya).
Setiap orang Kristiani, dia beriman
(fides) harus dengan akal, pikiran (ratio) untuk mengerti dan memahami
ajaran iman dan kearifan hidup - “fides
et ratio pro vitam”!
Minum
Racikan Jahe, Hal Baru di Biara
Bagaimana kami makan? Jika di masa
normal, kami makan roti keju dengan daging. Sekarang lebih banyak sayuran dan
buah-buahan terutama buah jeruk dan lemon.
Karena jeruk atau lemon mengandung Vitamin
C, sangat baik untuk dikonsumsi selain menambah imunitas tubuh. Minum air jahe hangat rutin kami lakukan
setiap malam.
“Jahe salah satu minuman penangkal
virus corona. Dengan minum air jahe rasanya beda, tenggorokan dan pernafasan
terasa nyaman,” ucap seorang satu pastor orang Italia.
Setiap malam selepas makan malam,
saat jam rekreasi, kami minum air jahe hangat sebagai usaha untuk menambah daya
tahan tubuh. Setiap harinya hampir setengah kilogram jahe diperlukan untuk
anggota komunitas.
Inilah hal yang baru di komunitas
kami yang sebelumnya orang-orang sini tidak pernah minum racikan air jahe
(dicampur kayu manis, cengkeh, kunyit dan lemon). Sekarang pada doyan.
Meminum air racikan jahe setelah
makan malam merupakan hal baru sebagai pengganti minuman alkohol semacam
anggur, wisky atau tequila. Maklum sudah menjadi tradisi jika selama musim
dingin menjelang musim semi, wajib minum sedikit alkohol untuk menghangatkan
tubuh.
Pentingnya menjaga kebersihan juga
bagian dari usaha untuk mencegah virus ini. Di ruang makan dan beberapa ruang
lainya disediakan sabun cair antiseptic atau antibakteri. Sebelum dan sesudah
makan setiap anggota komunitas wajib cuci tangan dan menjaga kebersihan.
Para suster yang mengurus makanan
untuk kami pun demikian adanya, selalu menjaga kebersihan. Kami sangat percaya
kepada mereka!
Di ruang makan pemberlakuan “physical distancing” sangat ketat. Jarak
saat makan juga diatur sesuai dengan ketentuan. Walaupun demikian, selama waktu
makan kami tetap berbicara, bercanda ria.
Begitu pula dengan aktivitas lainnya
selalu dijalankan dengan rileks dan gembira. Mengisi waktu luang setelah makan
siang dan makan malam paling kurang sekitar 30 menit dengan cara rileks dan
santai, misalnya rekreasi bersama, jalan-jalan santai di sekeliling biara atau
di taman biara atau mengerjakan pekerjaan lainnya secara pribadi.
Saat waktunya rekreasi bersama,
walaupun rileks dan bebas (misalnya bermain kartu, menonton televisi atau
sekedar membaca buku dan koran), penerapan “physical
distancing” tetap berlaku.
Bagi kebanyakan orang,
keluarga-keluarga, beraktivitas di rumah sangatlah membosankan. Melakukan
rutinitas di tempat yang sama tanpa suasana seperti biasanya tidaklah nyaman.
Tetapi bagi para rohaniwan,
biarawan-biarawati beraktivitas di rumah merupakan rutinitas harian yang wajib
dijalani, seumur hidup.
Beraktivitas di dalam rumah adalah
bagian dari semangat, merajut relasi yang intim dengan sesama, kreatif dan
bergembira.
Suasana kekeluargaan dan semangat
keheningan membantu kita intim dengan yang Kuasa dan jangan lupa untuk selalu
bahagia! Apa pun situasinya.
Tetaplah tinggal di rumah, karena
rumah adalah bagian dari hidup kita. Rumah adalah identitas keluarga kita.
Rumahku adalah keluargaku! Aku bahagia bersama keluarga di rumah.
“Io resto a casa! Andrà tutto bene.”
Saya tinggal di rumah! Semuanya akan baik-baik saja. (HEP)
Roma, 29 Maret 2020
* Penulis adalah anggota Kongregrasi Pasionis Indonesia,
sedang menjalankan study di Roma, Italia.