Tradisi Dayak dan Teknologi di Tengah Pandemi

April 29, 2020
Last Updated

Oleh: Dominikus Dedy Sabemayono, OFMCap


Talinsikng papatn inge, tangilikng ka’ surambi
Nek Gasikng turutn pene, bakulilikng tangah sami’
Ansuit dalapm langko, nyingkubakng tongkoktn tanga’
Ne’ Ulit-ulit nyaru’ leko, Nek Baruakng maba pangka’
Nyingkubakng tongkotn tanga’, bakoro nangah sare
Nek Baruakng maba pangka’, baleko tangah pante
Bakoro nangah sare, tarad pulo bantatn
Baleko tangah pante, pangka’ tangah laman
Tarada pulo bantatn, barapi oncok limo
Pangka’ tangah laman, padi turutn ka talino
Barapi oncok limo, angkala’ pamumpunan
Padi turutn ka talino, pangka’ bakaturunan
Angkala’ pamumpunan, bajantok ka’ talidi
Pangka’ ba katurunan, Nek Tingkakok batimang padi
Bajantok ka talidi, satangkakng tama bubu
Nek Tingkakok batimang padi, padi atakng lalu baribu
Satangkakng tama’ bubu, baui raba pango’
Padi atakng lalu baribu, ia tama dalapm dango
Baui raba pongo, satangkakng batakng munukng
Padi tama’ dalapm dango, lalu atakng da’ Nek Untukng
Satangkakng batakng munukng, kandis bunga lada
Atakng da Nek Untukng, minta tulis ka Jubata
Kandis bunga lada, mampak kayunya raya
Minta’ tulis ka jubata, ia baranak menjadi raya
Karake’ ada sakojek, bajuntukng pucuk sangkuakng
Minta tele’ ka Nek Sijaek, minta unsur ka Nek Baruakng.

Syair di atas berjudul Amboyo. Banyak orang Dayak, terutama Kanayatn kenal dengan syair klasik ini, bahkan bisa menyanyikannya. Semestinya,  pada 27 April 2020, syair indah Amboyo yang sarat makna adat dan tradisi, dan bernuansa sakral ini berkumandang di Kecamatan Toho dalam kegiatan rutin tahunan Gawe Naik Dango ke-35. 

Bagi siapa saja yang pernah hadir dalam Gawe Naik Dango, bisa membayangkan bagaimana alunan musik ka Bagung, ka Bawakng, Totokng, dan ka Lengong yang mengiringi lantunan syair Amboyo, menyatu dengan gerak tari nan indah putra-putri Dayak. Harmoninya membangkitkan jiwa solidaritas dan religiusitas manusia Dayak yang berkumpul, bersatu sebagai Bangsa Dayak, untuk melambungkan syukur dan memohon berkat kepada Jubata. Teriakan, “Arus..arus..arus..” pun serempak menggelegar berulang kali, mengiyakan spirit salam khas, “Adil ka’ Talino, Bacuramin ka’ Saruga, Basengat ka’ Jubata”, yang menjiwai seluruh hidup Bangsa Dayak.

Bagi orang Kanayatn, Gawe Naik Dango adalah tradisi kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini. Tradisi leluhur ini merupakan sebuah perayaan besar. Jika boleh dibandingkan dengan perayaan iman dalam Gereja Katolik Roma yang diatur dalam Kalendarium Liturgi, Gawe Naik Dango termasuk pada tingkatan Hari Raya. Artinya, perayaan ini dilangsungkan secara agung dan meriah; lebih meriah dari pada pesta atau pun peringatan, apa lagi hari biasa.

Kemeriahan Gawe Naik Dango ditampakkan dengan ritual-ritual adat yang sakral, dan disemarakkan dengan aneka kegiatan yang mengangkat adat tradisi budaya Dayak, baik dalam bentuk tradisi lisan, kerajinan, permainan, perlombaan, dan pertunjukkan kreasi seni tradisi. Tiap tahun, perayaan ini berhasil mengumpulkan massa dalam jumlah besar.

Sayangnya, saat ini seluruh dunia sedang dilanda wabah pandemi virus corona. Demi keselamatan banyak orang, pemerintah melarang adanya kerumunan masa. Banyak agenda kegiatan yang sudah direncanakan, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional, terpaksa dibatalkan. Kegiatan keagamaan yang berpeluang mendatangkan kerumunan massa ditiadakan. Gawe Naik Dango XXXV di Kecamatan Toho pun demikian.

Dengan terpaksa perayaan besar masyarakat Kanayatn ini harus dibatalkan. Keputusan ini (lagi-lagi) menunjukan bentuk kesetiaan bangsa Dayak pada NKRI dan dukungan kepada pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona. Sebelumnya, dengan kearifan tradisi leluhur, Bangsa Dayak telah menggelar ritual balala’ tamakng sebagai bentuk penghayatan religiusitas terhadap Jubata yang selalu melindungi dan membebaskan talino dari segala marabahaya dan penyakit (virus corona).

Bagaimanapun juga, sebagai orang beriman dan berkepercayaan, setiap kita pantas bersyukur. Tak ada satu peristiwa pun yang tidak bisa dijadikan alasan untuk bersyukur. Termasuk dalam situasi pandemi ini. Sekurang-kurangnya kita boleh bersyukur, karena pandemi corona ini terjadi di era perkembangan teknologi informasi. Kecanggihan teknologi informasi memungkinkan kita mengakses dan berbagi sebanyak-banyaknya informasi. Kebijaksanaan dituntut dari pihak kita untuk menyaring setiap informasi yang diperoleh.

Kita boleh bersyukur, karena kecanggihan teknologi informasi memberikan solusi alternative untuk tetap dapat melaksanakan sejumlah kegiatan penting meski harus #dirumahaja. Social distancing bukan jadi halangan untuk tetap berkegiatan. Rapat-rapat dan  koordinasi bisa dilakukan dari rumah secara daring (work from home). Kegiatan belajar-mengajar tetap bisa dilakukan dari rumah, juga secara daring (study from home). Bahkan perayaan iman keagamaan seperti Perayaan Ekaristi (Misa), yang seyogianya menuntut kehadiran dan partisipasi aktif umat, tetap dapat dilakukan secara daring, live streaming.

Kita juga boleh bersyukur karena wabah pandemi corona ini tidak membuat kita mati kreasi. Aneka kreativitas justru bisa kita saksikan membanjiri akun-akun media sosial seperti instagram, facebook, twiter, tiktok, youtube, dll. Kecanggihan teknologi memungkinkan semuanya lahir dari rumah masing-masing. Imbauan “#dirumahaja” ternyata bisa juga berbuah manis, indah dan menghibur, berkualitas dan bernilai. Saat #dirumahaja, konser amal tetap dapat dilakukan dan berjalan sukses, banyak donasi terkumpul. Saat #dirumahaja paduan suara lagu-lagu rohani masih dapat berkumandang, menyentuh hati dan menghantar kepada Yang Ilahi.

Saat #dirumahaja, banyak pegiat dan pencinta maupun penikmat seni dapat saling berbagi dan berkolaborasi, dalam nyanyian, musik dll; mulai dari yang amatiran, sekedar hobi, ikut-ikutan tren, hingga yang profesional. Saat #dirumahaja, masih banyak lagi kreasi lain yang muncul dan bisa disaksikan berkat  kecanggihan teknologi. Bahkan, saat #dirumahaja, kata “dirumahaja” bisa menjadi sebuah karya yang indah dan benilai; diterjemahkan ke dalam aneka bahasa daerah dan dijadikan sebuah lagu, dan viral di media sosial. Saat-saat #dirumahaja selama pandemi menjadi tidak membosankan.

Bagaimana dengan Gawe Naik Dango dan kegiatan tradisi lainnya? Jika melihat peran teknologi informasi dan aktivitas di akun-akun media sosial di masa pandemi ini, sepertinya  masih ada celah bagi perayaan akbar bernuansa tradisi, seperti Gawe Naik Dango atau yang lainnya, untuk tetap bisa dilangsungkan. Nyangahatn masih dapat dilakukan dengan memerhatikan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku selama pandemi. Sementara itu, kegiatan-kegiatan seni tradisi Dayak masih dapat dilakukan dari rumah. Kecanggihan teknologi memungkinkan itu. Untuk kali ini, panggungnya bukan Rumah Radakng,  melainkan akun-akun media sosial (instagram, facebook, youtube atau yang lainnya).

Tidak ada yang tahu pasti, kapan pandemi ini akan berakhir. Sementara itu, 27 April 2020, pembukaan Gawe Naik Dango telah lewat. Biasanyanya berlangsung beberapa hari. Jika diintip-intip di akun media sosial, memang tidak ada suasana Gawe. Hanya ada status-status ucapan selamat Naik Dango, dengan sejumlah foto kegiatan Naik Dango tahun lalu. Tidak ada cover lagu Amboyo yang membanjiri akun-akun media sosial layaknya lagu Rumah Kita atau pun lagu Heal The World dan We Are The World. 

Namun, masih ada event besar tahunan di Bulan Mei mendatang yakni Pekan Gawai Dayak.  Alangkah indahnya jika pada waktu itu, media digital dibanjiri oleh postingan-postingan bernuansa tradisi Dayak; postingan yang lahir dengan persiapan yang baik saat #ka’rumahmaan; dan dikoordinir dengan baik oleh pihak panitia Gawe yang sudah sempat terbentuk. Dengan demikian, semarak dan kemeriahan perayaan adat tradisi Dayak di tengah pandemi ini masih dapat dirasakan dan dinikmati oleh banyak orang yang #ka’rumahmaan.

Semarang, 28 April 2020

Selengkapnya