Oleh: Dicky Kualan
FOLK merupakan satu di antara genre
musik. Genre musik ini sebenarnya sudah ada pada era 40- an, saat Woody Guthrie
pertama kali merekam satu karyanya yang diberi nama contemporary folk music di new York.
Folk berbeda dengan world music (music
etnik). Karena world music miliki aturan tertentu dalam memainkannya dan
bersifat sacral. Hal ini pernah saya baca pada sebuah artikel Loop yang ditulis
oleh Caesar Montri.
Music folk sering disebut musik kerakyatan. Sebab musik
ini penuh kesederhanaan dan keseharian dalam lagunya. Tidak terikat dan bebas
dalam mengekspresikan corak musik.
Makanya kita sering menemukan musisi menggabungkan antara
musik ethnic, berpadu dengan folk di beberapa lagunya. Lantas folk pun tercipta
dari corak musik ethnic yang dimainkan sehari-hari.
Menurut saya pribadi, apa yang sudah saya baca, dengan
apa yang sudah saya lakukan di dunia music, sangatlah sesuai. Mengapa?
Lebih Bebas
Di beberapa lagu saya yang notabene genrenya adalah folk
dan folk ethnic, terdapat unsur ethnic bahkan cenderung lebih bebas. Bisa
dikatakan belum pernah saya dengar kekhasan pada music saya dengan music-music
folk yang sudah ada.
Ya, walaupun ada yang sedikit sama, mungkin itu
kebetulan, bukan berarti kita meniru.
Sekadar informasi, musik folk ini sering dilambangkan
dengan gitar akustik, ukulele, akordion, harmonika dan beberapa alat lainnya.
Di Indonesia musik folk pertama di dokumentasikan sejak zaman Gordon Tobing di
era 1960-an. Sementara di era 1970-an ada Iwan Fals, Ebiet G. Ade. Kemudian era
90-an ada Slank.
Di era sekarang, music folk indentik dengan indie. Indie
adalah singkatan dari independent. Yah bisa diartikan: berdiri sendiri, atau
bebas alias merdeka. Music folk indie tidak terikat pada label.
Produksi Sendiri
Indie berarti kita memproduksi sendiri lalu memasarkannya
sendiri. Tidak terikat pada label untuk melakukan promosi.
Saya sendiri mengapa memilih folk indie?
Hari ini, dalam industri musik, sulit sekali kita
bergabung pada label yang telah banyak melahirkan musisi-musisi terkenal.
Berangkat dari hal itulah saya lebih memilih berjuang di jalur indie, dan tidak
mencoba berusaha menarik perhatian label.
Karena menurut saya, folk dan indie itu sejalan pada
prinsipnya. Folk adalah musik kerakyatan yang bebas, sementara indie adalah
kemerdekaan tanpa kekangan.
Alasanya cukup sederhana: jika kita berada di bawah label
music, maka semua peraturan harus kita ikuti, baik itu produksi, pemasaran,
target album bahkan hitung-hitungan budget manggung.
Di Indie bukan tanpa target, namun antara pikiran dan
kehendak dapat sejalan pada aksi yang kita tentukan sendiri, pada aturan yang
kita buat sendiri, dan jika formatnya band atau duo, semua aturan dibuat
berdasarkan kesepakatan bersama.
Saya mulai berkarya lewat musik folk mulai pertengahan
2015-an hingga sekarang, bersama dengan band kami bernama PORING' (bambu dalam
bahasa Dayak Kualan). Dalam perjalanan sebagai musisi folk yang belum banyak
dikenal orang, hehe.
Saya sudah menulis sebanyak 100-an lagu dalam bentuk
sample lagu. Dan sudah rekam di studio rekaman sekitar 7 lagu. Satu di antara karya itu berjudul Terima Kasih Semesta bisa dinikmati di channel Youtube POORING Mucik
Jadi, inilah sedikit cerita yang dapat saya bagi
berkenaan dengan profesi yang saya jalani dan genre musik serta jalur apa yang
saya tempuh.
* Penulis
adalah musisi, tinggal di Kalimantan Barat.