Oleh Fransiskus Alkap Pasti
Di Tanah Jawa, bermula di awal abad 19, sejarah mencatat kontribusi besar Van Lith SJ dalam perkembangan agama Katolik. Salah satu yang istimewa adalah pendekatan di bidang pendidikan untuk mobilitas sosial masyarakat pribumi. Di Tanah Dayak, hampir 75 tahun kemudian, seorang imam Pasionis—Pastor Yerun Stoop CP, mengambil model pendekatan Van Lith untuk memajukan masyarakat Dayak (pedalaman Ketapang, Kalimantan Barat) yang tertinggal di segala bidang. Jalannya: Salah satu cara untuk membangun kehidupan yang lebih baik adalah melalui pendidikan.
Pesan tentang pentingnya pendidikan untuk kemajuan masyarakat ini merupakan pesan utama dari isi buku: Pater Yerun, PBS dan Tahun-Tahun di Tanah Misi (2020). Buku biografi ini mengisahkan perjalanan misi seorang imam Pasionis, Pastor Jacobus Cornelius Stoop di pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya Keuskupan Ketapang sekarang ini. Salah satu karya misinya yang di bahas adalah pemberian beasiswa di bidang pendidikan.
Di Jawa (tengah), Van
Lith memberikan sumbangsih besar di bidang pendidikan. Van Lith mengubah metode
penginjilannya, yakni dari penginjilan kepada individu menjadi penginjilan
kolektif dalam bentuk sekolah. Beriringan dicanangkannya politik etis di bidang
pendidikan, pada tahun1900 Kweekschool atau sekolah calon guru bagi pribumi
didirikan. Singkat kata, Van Lith mengembangkan pendidikan sekolah (guru)
dengan tujuan memperjuangkan agar bangsa pribumi dapat menjadi sejajar dengan
bangsa Eropa. Dalam surat terakhir Van Lith, menjelang tutup usia, dia dengan
tegas menyatakan seandainya bisa memilih, maka pilihannya akan jatuh ke Hindia
Belanda.
Dalam perkembangannya,
kita mengenal nama besar sebagai murid-murid dari Van Lith seperti IJ Kasimo
atau Uskup Albertus Soegijapranata. Mereka hanyalah tiga dari 600 lebih murid
di sepanjang 1898-1922 yang terdaftar sebagai murid di Kolese Xaverius,
Muntilan Jawa Tengah. Yang terpenting juga, bahwa dari Muntilan inilah para
alumni persekolahan mendapat visi dasar yang sama tentang pengembangan diri,
kemajuan masyarakat dan kehidupan berbangsa. Bahwa, kekatolikan dan
keindonesiaan merupakan satu entitas yang sama, dan tak terpisahkan satu dengan
lainnya.
Berbeda dengan Van
Lith yang mendirikan sekolah (guru), Pastor Yerun Stoop CP di pedalaman
Ketapang, tidak mendirikan sekolah. Di pedalaman Borneo Barat saat itu semua
serba terbatas. Sampai 1970-an, memang telah ada sekolah dasar dan sekolah
menengah di wilayahnya. Pastor Yerun menyadari, level pendidikan tersebut
tidaklah cukup. Perlu kehadiran anak-anak Dayak berpendidikan lebih tinggi
untuk berperan bagi kemajuan daerahnya. Karenanya, di tahun 1978 ia bersama
tokoh Dayak Petrus Yosef Denggol, setelah mendapat persetujuan Uskup Ketapang
(saat itu) Gabriel William Sillekens CP,
didriikanlah sebuah lembaga sedferhana, Panitia Beasiswa (PBS) Keuskupan
Ketapang.
Uskup Ketapang saat ini, Mgr Pius Riana Prapdi, sedang membaca buku tentang Pastor Yerun |
Kepada Uskup
Sillekens, PY Denggol berucap, mari kita cari dan kirim anak-anak Dayak (yang
non seminaris) untuk bersekolah tinggi ke sekolah-sekolah tinggi di Jawa. Dan,
jika Van Lith mendirikan sekolah guru, PBS Keuskupan Ketapang ini mengirim pada
awalnya anak-anak terpilih untuk mengikuti sekolah guru di Jawa, tepatnya di
IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Dari para lulusan IKIP inilah yang kelak akan
menjadi guru dan sebuah harapan akan kemajuan masyarakat Dayak digantungkan.
Para guru ini akan mampu mengurusi diri sendiri, mengajar banyak orang dan
anak-anak, terlibat dalam kegiatan menggereja daan bermasyarakat.
Keberadaan lembaga PBS
Keuskupan Ketapang kemudian dalam rentang 1979 – 2000 berhasil mengirim hampir
600-an anak pedalaman (Tionghoa, Jawa, Flores dan terutama anak-anak Dayak).
Mereka bersekolah di tingkat SLTA dan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan
swasta di Indonesia. Dan seperti Van Lith yang
menghasil buah seperti IJ Kasimo atau Albertus Soegijapranata, alumni
PBS yang dikirim Pater Yerun sekarang ini mengambil peran cukup banyak di
bidang pendidikan, swasta dan pemerintahan.
Dalam sebuah
kesempatan, Uskup Ketapang Mgr Pius Riana Prapdi menyampaikan bahwa kehadiran
PBS dan keterlibatan para alumninya dalam kehidupan bermasyarakat telah
memberikan warna tersendiri bagi perkembangan umat dan masyarakat di Keuskupan
Ketapang. Dan dalam buku ini, Uskup Pius menyebut bahwa kamu kaum muda adalah
penentu peradaban. Pendidikan akan berhasil bila muncul pribadi-pribadi yang
menjadi penentu peradaban bangsa, tulisnya.
Pastor Yerun (kiri) semasa hidupnya. |
Seperti Van Lith yang menghabiskan cintanya untuk masyarakat Jawa di Hindia, Pater Yerun mengungankap dalam salah satu suratnya: ..walaupun saya telah meninggalkan Ketapang 2 bulan lalu, tetapi bukan berarti bahwa saya sudah lupa. Hati saya masih di Ketapang. Dan dalam tulisan sebelumnya, ia berucap bahwa banyak hal telah dipetiknya dari perjalanan misinya di Bumi Borneo. Lanjutnya, setelah sekian puluh tahun hidup dan bekerja di tengah-tengah masyarakat Dayak, terus terang saya katakan bahwa saya mencintai orang Dayak.
Hari ini, 23 Desember
2017, tiga tahun lalu sang imam perintis jalan kemajuan Dayak itu, menghembuskan
nafas terakhirnya di Belanda. Ia dimakamkan di pemakaman Biara Pasionis,
Moulenhop.
Buku 178 halaman ini ditulis oleh para alumni PBS. Sebuah buku yang menarik yang menceritakan kondisi awal perkembangan iman Katolik di Ketapang, Kalimantan Barat, kisah panggilan dan karya misi Pastor Yerun selama 1953 -1978, juga bahasan tentang Panitia Beasiswa Keuskupan Ketapang, sebuah karya di bidang pendidikan. Menyambut 75 tahun kehadiran (dan karya) Pasionis di Indonesia Juni 2021 mendatang, buku ini menarik untuk dibaca.
* Penulis adalah satu di antara asuhan Panitia Beasiswa Keuskupan Ketapang (PBS KK)