AKU mencintai Arina budak Tanjung Nipah. Cinta sesungguhnya, lahir dari lubuk hati paling dalam.
Cintaku untuk Arina telah lama bersemi sejak ia masih SMA kelas tiga, melanjutkan kuliah kebidanan
di Jakarta selama empat tahun. Usai kuliah Arina balik kampung, tinggal bersama Long Said bapaknya dan dua adik
lelaki di rumah paling besar dan mewah di Tanjung Nipah.
Arina tak lekas bekerja seperti
umumnya anak-anak yang baru lulus dari perguruan tinggi atau jadi sarjana.
Waktunya lebih banyak di rumah. Jadilah
kami sering bertemu. Mulanya sekadar
ngobrol biasa. Lama-lama, setiap kali ngobrol kurasakan ada getaran
halus dalam dada, terlebih sewaktu kami
saling beradu pandang. Aku deg-degan. Tak tenang. Hari-hariku kemudian ketika sedang apa, di mana saja pasti
teringat Arina, selalu ada bayang wajahnya.
Aku resah jika Arina tak ada di
rumahnya. Bertanya-tanya ia pergi ke mana. Kutelepon atau ku-WhatsApp. Ada
rindu yang datang menggoda. Aih, apakah aku sedang jatuh cinta? beginikah
rasanya...?!
Tak tahan dengan getaran rasa yang
selalu menggetarkan dada ketika kami bersama,
kuberanikan diri mengungkapkannya. Aku sungguh suka dengan Arina. Jatuh cinta! Aku ingin
hidup dan menua bersamanya.
Mulanya Arina diam. Tak lama,
ia menyatakan hal yang sama. Ingin
selalu bersamaku pula. Yess! Aku dan
Arina saling jatuh cinta. Aku girang bukan kepalang.
Arina tak ingin kami berpacaran.
Untuk apa menjalin hubungan pribadi antara lelaki dan perempuan jika hanya membuka pintu maksiat, biasa berduaan tanpa
mahram (semua orang yang haram dinikahi karena sebab keturunan, sepersusuan dan
perkawinan dalam syariat Islam). Janganlah. Tak usah! Arina ingin kami langsung
menikah. Langkah pertama, cepatlah aku datang menemui sang bapak. Melamarnya.
Mendengar keinginan Arina begitu, aku setuju.
Dua bulan lalu, malam setelah Isya
terang-benderang karena cahaya bulan purnama datanglah aku ke rumah Arina
menemui Long Said bapaknya. Aku datang
bersama Usu Min adik emak yang bungsu
dan seorang lelaki teman akrab Usu Min
namanya Pak Wijaya. Maksud kedatanganku disampaikan Usu Min hendak melamar
Arina sebagai istriku.
Tahu maksud kedatanganku, Pak Long
Said menolak tegas. Telunjuk kanannya bergerak lincah di depan batang hidungku. Sepasang matanya menatap
tajam penuh kebencian. Suaranya yang keras terdengar sampai jarak belasan meter.
“Kau lelaki tak tahu diri! Tak mau berkaca. Melarat! Lulusan sekolah
dasar, seorang pemanjat kelapa di perusahaanku lancang benar hendak melamar
Arina. Kau tahu Arina anakku, Faisal?! Dia perempuan lulusan perguruan tinggi di Jakarta, kelak punya
pekerjaan yang menjanjikan. Sampai kapanpun aku tak setuju, tak pernah mau menikahkan Arina anak
kesayanganku dengan kau!” teriak Pak
Long Said membuang ludah.
Lelaki botak berkumis tebal, perut buncit itu jelas-jelas menghinaku di
depan Usu Min dan Pak Wijaya, menggoreskan luka yang teramat dalam di hati.
Sakit! Tubuhku bergetar tersulut emosi.
“Aku memang melarat, tetapi masih
punya hati, punya harga diri! Aku terima semua penghinaan Pak Long. Kelak akan kubuktikan ...!” kataku ditukas Usu Min.
“Kita pulang, Faisal. Orang seperti
ini kita tak usah beladen. Sombong!” katanya menepuk pundakku, mengajak keluar
dari rumah Pak Long Said. Aku menurut.
Kami pulang tanpa pamit. Tak sempat lagi
kusampaikan kepadanya bahwa aku memang melarat. Kelak akan kubuktikan,
penghinaan yang telah kuterima jadi cambuk untuk hidup lebih baik.
Sebelum benar-benar pergi dari
rumah Pak Long Said langkahku terhenti. Kutoleh ke belakang. Arina berteriak
memanggil namaku, menangis di ambang
pintu lalu berlari mengejarku.
“Bang..! Aku ikut Bang Faisal,”
katanya berurai air mata.
“Jangan! Tetaplah kau di sini,
Arina.” cegahku.
“Aku ingin bersama Abang,” katanya
lagi. Pak Long Said tak tinggal diam. Teriaknya menggelegar.
“Hei, Arina! Silakan kalau kau mau
bersama lelaki melarat itu. Pergilah! Jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!”
Arina membalik tubuhnya, berlari
menuju pintu yang langsung dihempas dari dalam, seketika tertutup rapat. Arina
menggedornya berkali-kali. Pintu tak
terbuka lagi. Arina berurai air mata, tubuhnya lemas, berlutut menatap pintu
rumah.
“Bapak telah mengusirku, Bang. Aku
tak punya siapa-siapa lagi,” suara perempuan berparas ayu itu menangis.
Aku menatap Usu Min yang menggeleng
pelan tanda tak tahu harus bicara apa. Pak Wijaya pun terdiam.
“Tunggulah. Bapakmu pasti membuka
pintu,” kataku. Arina menggeleng.
“Bapak telah jelas mengusirku,”
katanya lirih. “Malam ini aku tidur di mana, Bang?”
“Ke rumahku jak.” ujar Pak Wijaya.
“Benar begitu, Bapak?” sambung
Arina cepat, menengadah ke wajah Pak Wijaya.
“Ya, untuk malam ini jak sambil
menunggu gimane sikap bapakmu. Kau bisa tidur dengan anak perempuanku yang
bungsu,” kata Pak Wijaya lagi.
“Baiknya gitu’ jak dulu, nanti kita cari solusi terbaik dari persoalan
ini,” timpal Usu Min.
“Ya, Allah...! Terima kasih, Bapak,” ucap Arina girang, bangkit dari posisi berlutut, bergantian menyalami Pak Wijaya dan Usu Min.
Baca Ini: Dentang Lonceng Angelus – Hanz E. Pramana
Malam itu Arina tidur di rumah Pak
Wijaya, aku menginap di rumah Usu Min.
Pagi pukul enam hawa di Tanjung
Nipah masih sejuk benar sewaktu aku pergi ke rumah Arina. Niatku semula hendak
bekerja seperti biasa, menjadi pemanjat kelapa di kebun milik Pak Long Said tetapi aku ragu karena peristiwa
semalam. Apakah Pak Long Said mau menerima kedatanganku?
Lelaki tua itu sedang di beranda
ketika aku datang. Berdiri sarungan sambil berkacak pinggang.
“Pergi! Aku tak mau melihat mukamu,
apa lagi bekerja di sini!” usirnya
keras.
“Baiklah. Terima kasih,” kataku tak
bicara apa-apa, melangkah pulang. Aku
kesal. Merasa bodoh. Kenapa setelah menerima hinaan dari lelaki pengusaha kopra
itu aku masih juga mau datang ke rumahnya, ingin kembali bekerja memanjat
kelapa seperti biasa selama tujuh tahun.
Aku ke rumah Usu Min, Arina duduk
santai di bilik tamu. Geleng-geleng kepala setelah mendengar ceritaku bertemu
bapaknya.
“Aku jak diusir bapak, apa lagi
kau, Bang.” katanya kesal.
“Aku nak bekerja seperti biasa Aku kan butuh uang, Arina.” kilahku.
“Sudahlah. Lupakan! Sekarang
bersiaplah. Kita berangkat ke Singkawang,”
“Ke Singkawang nak ngape?” tanyaku
heran sambil menunjuk jaket jeans, kaca mata hitam dan sepatu sneaker putih
yang dipakainya. “Ini ...?!”
“Kita nikah di sana,” katanya. “Ini
semua punya anak Pak Wijaya kupinjam lok. Ayo cepat, kita berangkat,”
Tanpa pikir panjang aku menuruti keinginan Arina. Setelah pamit dengan Pak Wijaya dan Usu Min kami benar-benar berangkat ke Singkawang dengan sebuah mobil sewa.
Baca Ini: Tamu Terakhir – E. Widiantoro
Singkawang sedang diguyur hujan deras ketika kami datang. Di sebuah rumah kawasan pusat kota aku dan Arina menemui seorang lelaki paruh baya. Kata Arina ia sahabat Pak Wijaya sejak masih muda sama-sama kuliah di Pontianak. Berkemeja batik biru corak bunga-bunga kecil lengan panjang dipadu celana panjang kain hitam. Rambutnya sebagian telah memutih disisir rapi.
“Aku berharap Bapak mau menikahkan
kami,” kata Arina tanpa sungkan.
“Maaf aku bukan penghulu. Aku tak
bisa menikahkan seseorang apa lagi tanpa berkas
persyaratan yang lengkap,” tolaknya.
“Jadi kami harus gimana, Pak?”
tanyaku meminta sarannya. “Kami ingin bisa menikah secepatnya,”
“Kalo mendengar cerita dari Pak
Wijaya sebaiknya kalian segera ke Pengadilan Agama mengajukan izin untuk
menikah dengan status wali hakim karena bapak kandung sebagai wali nasab telah
menjadi wali adhal, wali yang berkeberatan, tak mau menikahkan anak
perempuannya dengan seorang lelaki,” katanya memberi saran. Aku mengangguk
tanda mengerti. Pun Arina. Kami lantas pamit kembali ke Tanjung Nipah.
Berbekal persyaratan administrasi
yang diperlukan kami datang ke
Pengadilan Agama menyampaikan berkas permohonan untuk menikah dengan status wali hakim karena
alasan wali adhal.
Setelah dua pekan mengikuti semua proses administrasi dan
persidangan, terbitlah surat penetapan
dari hakim Pengadilan Agama yang
mengizinkan kami menikah dengan status wali hakim. Dalam hal ini yang
menikahkan kami adalah petugas pencatat nikah di Kantor Urusan Agama.
Kami tak bisa langsung menikah.
Pagi-pagi Pak Long Said beserta beberapa lelaki anggota keluarganya datang ke
Kantor Urusan Agama hendak membatalkan rencana pernikahanku dengan Arina.
Alasannya, surat penetapan dari Pengadilan Agama belum memilik kekuatan hukum
tetap. Masih ada waktu empat belas hari bagi pihak terkait untuk menolak atau
menerima penetapan itu.
Pak Long Said sebagai bapak
kandung dari Arina menolak penetapan hakim Pengadilan Agama dan
mengajukan keberatan. Sikap Pak Long Said begitu, petugas di Kantor Urusan
Agama pun setuju.
Pak Long Said datang ke Pengadilan
Agama mengurus perihal keberatannya atas penetapan hakim dan langsung diproses.
Tak sampai dua pekan,
putusan hakim pun terbit. Isinya, menolak keberatan dari Pak Long Said.
Alasannya tak mau menerima aku sebagai menantu karena berasal dari keluarga
miskin dan tak berpendidikan bukanlah pertimbangan hukum syar’i melainkan
karena subyektifitas pendapat pribadi.
Pak Long Said pun harus membayar biaya
perkara sebesar dua ratus tujuh puluh ribu rupiah.
Aku dan Arina berucap syukur, kami
tetap bisa menikah. Jelang acara pernikahan, emakku dari Pontianak datang ke rumah Usu Min bersama
perempuan sebaya Arina, namanya Galuh.
Belum lama tiba, emak mengajak Usu Min
dan istrinya, Galuh, aku dan Arina duduk berkumpul di bilik tamu.
“Faisal, menikahlah dengan Galuh.
Emak ingin kalian menjadi pasangan suami-istri yang tinggal bersama emak di
Pontianak. Setelah menikah kalian bisa mengurus tujuh rumah bakso punya emak;
dua di Siantan, dua di Sungai Jawi, satu di Jeruju, Parit Tokaya dan Kota Baru.
Biarlah emak istirahat sambil mengumpulkan bekal untuk kelak hidup di alam
akhirat,” kata emak menatap aku dan Galuh bergantian.
“Aku hendak menikahi Arina, Mak.
Bukan Galuh,” kataku sekilas memandang Galuh yang duduk dekat emak.
“Arina anak Long Said?” tanya emak
menatap Arina. “Kau anak Long Said?”
“Ya, Mak.” Arina mengangguk pelan.
“Kapan kalian menikah?” suara emak
lagi.
“Besok,” ujarku. Emak diam.
Batuk-batuk. Telapak tangan kanannya memegang dada kiri.
“Batalkan!” kata emak tegas.
“Mak...!” kataku tercekat. Arina
menatap emak dan menangis. Sebentar kemudian ia keluar dari rumah Usu Min. Aku
berdiri hendak mengejar Arina.
“Faisal, duduk!” perintah emak. Aku
menurut. “Kau tak boleh menikah dengan Arina.”
“Ngape, Mak? Ngapee...?! Aku
mencintai Arina, Mak. Aku tak mau berpisah dengan dia.” kataku menahan emosi
yang seketika meluap.
Emak menangis. Lama-lama tangisnya
makin keras. Kedua bahunya yang tertutup jilbab biru terguncang-guncang. O,
kenapa emak gitu’?
Tangis emak mereda. Diusapnya wajah
dengan kertas tissu dari tangan Galuh yang mengambilnya di atas meja tamu.
“Astagfirullah...! Ya, Allah! Semua
ini karena salah emak yang selalu diam menyimpan dendam, kebencian dan sakit
hati.” ujar emak, suaranya bergetar.
“Ngape ngomong gitu’, Mak? Maksud
Emak apa?” desakku penasaran, seketika
disergap firasat buruk. Jangan-jangan aku dan Arina ...! Ah, jika benar begitu,
sama saja dengan alur drama televisi Indonesia. Akhir ceritanya mudah ditebak!
“Pak Long Said tu sebenarnya bapakmu, Nak,” ujar emak. Nah, naahh ya, Rabb
firasatku ternyata benar! Emak hendak bilang aku dan Arina sebenarnya
bersaudara.
“Gimane bisa gitu’, Mak?” tanyaku
meminta penjelasan emak. “Bukankah dari kecil aku di sini bersama Usu Min?
Ngape aku ndak tinggal dengan Long Said bapakku sorang?”
Emak membuka lipatan kertas putih
dari dalam tas kecil yang dibawanya, foto kopi kartu keluarga yang kumiliki
juga hanya mencantumkan nama emak
sebagai kepala keluarga. Emak membuka cerita;
“Dua puluh tujuh tahun lalu emak dan
Long Said menjalin hubungan dan menikah, Faisal. Belum lama jadi suami
emak, diam-diam Long Said menikahi
perempuan lain yang menjadi emaknya Arina. Emak tak mau dimadu. Emak yang baru hamil satu bulan marah, sakit
hati dan benci dengan Long Said lantas memilih pergi ke Pontianak. Setelah kau
berumur dua tahun emak datang ke sini
menitipkan kau same Usu Min yang baru datang setelah bertahun-tahun jadi
pelaut. Dia tak pernah tahu apa-apa soal emak dan Long Said. Mungkin Long Said
lupa atau sengaja lupa dan tak mau mengakui jika kau anaknya,”
“Jadi Mak, aku dan Arina ...?!” tanyaku hendak mendengar
langsung dari mulut emak jika aku dan Arina benar-benar bersaudara. Emak diam.
Wajahnya muram.
E. Widiantoro – dari Buku Dentang Lonceng Angelus
Artikel Lain: Tamu Terakhir dalam Gawai Sastra Minggu Sore