Benua Banyu jadi Benua Martinus; Penghargaan bagi Martinus van Tiel atas Derma untuk Stasi

August 29, 2022
Last Updated

Nama Benua Martinus disematkan pada kampung Benua Banyu karena seorang dermawan bernama Martinus van Tiel di Hel-Mond telah memberi derma untuk stasi ini. Stasi Benua Martinus dibuka karena melihat minat orang tua di Batang Lupar mengirim anak-anak untuk sekolah berkurang. Sembari bertahan di Lanjak, pada Februari 1913, Pastor Gonzalvus menjajaki tempat misi baru di Benua Ujung.

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

Pada September 1913, Bruder Donulus mulai mem­bangun kapel di kampung Kram. Gereja kecil ini kemudian dianggap sebagai tahun berdirinya stasi Embaloh, yang sekarang dikenal dengan Benua Martinus, yang berdekatan dengan Stasi Lanjak.


Sebelum penutupan secara defenitif, pasang surutnya Stasi Lanjak pada waktu itu membuat misionaris meninggalkannya untuk sementara waktu pada 1 Januari 1915. Pada akhirnya, Stasi Lanjak benar-benar ditutup pada 23 April 1921. Penutupan ini karena tidak menunjukkan hasil yang baik. Bersyukurlah Benua Martinus berbeda dengan situasi di Lanjak. Masyarakat di Benua Martinus terbuka terhadap misi Katolik.


Di Benua Martinus, para misionaris membuka sekolah untuk anak laki-laki. Mereka melihat bahwa di Benua Martinus ada harapan tumbuh dengan baik, maka pada 9 November 1914, perlahan-lahan membuka membangun gedung sekolah dengan memulai mengajar 13 anak laki-laki.


Bruder Alexius yang datang ke Benua Martinus pada tahun 1918 diminta untuk membangun satu pastoran yang cukup besar. Bruder Alexius yang dikenal sebagai tukang kayu yang mahir itu juga mendirikan satu gedung sekolah. Pada 1920, Pastor Prosper datang sebagai pastor rekan membantu Pastor Flavianus.


Baca Ini: Stasi Lanjak; Dibuka 1908, Ditutup Secara Definitif pada 1921


[Foto: Dok Paroki St. Martinus, Benua Martinus]

Pastor Flavianus cukup senang mengenai kemajuan anak perempuan yang sekolah, tetapi prihatin dengan anak-anak laki-laki yang setelah tamat sekolah lalu menikah. Untuk itu, mereka mengundang para suster untuk terlibat membantu pendidikan dan pembinaan bagi anak-anak perempuan. Maka dibangun rumah susteran. Pada 5 Juli 1921, tiga suster diutus ke Benua Martinus, yakni Muder Fidelia dengan dua suster lainnya.


Di samping mewartakan kabar gembira melalui sekolah dan asrama serta kesehatan, karya misi juga ambil bagian dalam upaya kreatif memanfaatkan potensi lokal yang ada di lingkungan sekitar. Pastor Flavianus, pastor kepala di stasi Benua Martinus, kurang senang dengan orang-orang kampung yang terlalu banyak minum tuak aren. Ia pernah mencoba membuat gula dari aren tetapi tidak berhasil. Begitu juga dengan Bruder Donulus yang membuat kincir air sebagai penumbuk padi untuk membantu orang kampung menumbuk padinya. Jadi, karya mereka bukan hanya mewartakan injil, tetapi membuat karya-karya lain untuk kehidupan sehari-hari.


Benua Martinus juga dikenal dengan sebutan Kampung Benua Ujung. Nama Martinus disemat pada kampong itu karena untuk mengenang seorang penderma yang bernama Martinus Van Tiel Hel-Mond. Misi juga memikirkan pendidikan bagi kaum perempuan Dayak, Pastor Flavianus Huijbers meminta suster-suster Veghel membantu di Benua Martinus. Pada 30 Juni 1921, para suster diutus untuk ke Benua Martinus.

[Foto: Dok Paroki St. Martinus, Benua Martinus]


Tidak mudah suster ke stasi-stasi baru. Tantangan medan dan kondisi ril yang dialami pada tempat sebelumnya, anggota Suster Veghel juga terbatas. Apalagi pada 19 Maret 1920, suster juga diminta ke Laham. Kesulitan bahasa untuk berkomunikasi, adat istiadat masyarakat, budaya, dan financial yang minus juga menjadi faktor tantangan lainnya.


Suster gelombang pertama yang diutus ke Benua Martinus yakni Sr. Fidelia, Sr. Casparine, dan Sr. Frederica. Pada 5 Juli 1921, mereka tiba di Benua Martius, tempat paling ujung bagi dalam karya mereka. (Arsip Sejarah Suster Veghel).


Selama berkarya di Benua Martinus, sejak Februari 1913, dengan segala tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh para misionaris, dengan memulai karya sekolah dan asrama serta menyebarkan iman pada masyarakat Dayak, akhirnya pada 1947, stasi yang dirintis saudara Kapusin ini diserahkan pada Serikat Maria Monfortant (SMM).


Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

 

Artikel Lain: Survei Pastor Eugenius, Lanjak Cocok Jadi Stasi Baru

Selengkapnya