HAMPIR pukul enam sore. Perapian di samping rumah kayu itu seperti tarian di dalam gelap. Pepohonan yang menjulang mempercepat malam. Tak ada sesiapa di kawasan ini. Sebuah rumah kayu, sehamparan kebun, sungai kecil, dan kandang ternak.
Di pojok ruangan, salib kecil dan lilin terlihat
samar. Bertahta di meja kayu dengan taplak putih. Kitab Suci dan buku doa. Juga
sebotol Air Kudus, dengan setangkai palma yang sudah mengering tertancap di
atasnya.
Suara lonceng berdentang halus dari smartphone. Lelaki itu pun menyalakan
lilin. Lalu duduk bersimpuh. Membuat tanda salib. Samar berpadu suara desau
angin, dia berucap:
"Angelus
Domini nuntiavit ariae et concepit de Spiritu Sancto. Ave Maria, gratia
plena...."
***
Jauh dari hutan kecil itu, malam merangkak seperti
biasa. Beberapa orang muda masih bertahan di sebuah kantor kecil. Tenggelam
dalam kesibukan masing-masing. Ada yang membolak-balik berkas. Ada yang
berkutat dengan komputer. Uap kopi mengepul, bercampur dengan sejuknya AC.
Office boy masuk ke
ruangan, membawa makanan. Masing-masing dalam mangkuk dengan asap mengepul.
"Abang, Kakak, tadi Bapak ada nelpon saya,"
ucap office boy.
Perkataannya membuat tiga orang dalam ruangan itu
menghentikan kegiatan. Serempak menoleh. Pandangan mereka penuh tanya. Sang office boy pun paham.
"Silakan makan dulu mumpung masih hangat. Nanti
saya sampaikan pesan Bapak."
Baca Ini: Tamu Terakhir - Cerpen E. Widiantoro
Di simpang empat Tanjung Raya 2, kerumunan massa belum
menampakkan akan bubar. Teriakan bernada tinggi membahana penuh emosi. Beberapa
orang membakar ban mobil di tengah jalan. Akses ke arah jembatan tertutup
kerumunan orang. Polisi bersenjata laras panjang membuat blokade di seberang
sana.
"Kau ada di lokasi, Ebo?" suara lelaki itu
melalui sambungan telepon.
"Iya Om, suasana belum kondusif," Ebo
menjawab dengan suara agak gemetar.
Beberapa kali dia harus menyingkir, ketika teriakan
massa terdengar riuh.
"Kembali ke kantor sekarang. Ada pesanku yang
sudah kusampaikan lewat Evan."
Ebo bergerak perlahan. Menjauh dari keramaian.
Berjalan sambil matanya mengawasi orang-orang yang membawa kayu, bahkan senjata
tajam.
Suara tembakan di kejauhan mempercepat langkahnya.
Sayup-sayup terdengar sirene ambulans. Massa bereaksi. Bergerak mendekat ke
arah blokade aparat.
Ebo menemukan sepeda motornya terparkir di keremangan
pohon peneduh trotoar. Memacunya semakin menjauhi lokasi itu. Dia berpapasan
dengan serombongan orang muda tanpa helm, dari arah sebaliknya.
Mereka memacu sepeda motor. Sambil mengibarkan
bendera, entah bendera apa. Sebagian kecil terlihat mengacung-acungkan
kayu.
***
Yulia dan Bobi duduk di seberang meja. Mie tiaw rebus
masih mengepulkan asap di mangkuk.
"Jadi hilang selera aku," keluh Yulia
sembari memeriksa linimasa medsosnya.
"Kau kebanyakan baca kabar hoaks," gerutu
Yeri.
Bobi terlihat mengaduk-aduk mie tiaw-nya. Memencet
jeruk sambal, dan kembali mengadu-aduk.
"Cepat makan, Bobi. Kau paling lelet. Kerjaan
ndak pernah beres. Imbasnya ke aku. Habis kita di-repet Pak
Bos," sungut Yeri.
"Mengapa Pak Bos betah sekali di kebun, ya,"
Yulia bergumam.
"Yah, siapa betah tinggal di kota yang tiada hari
tanpa ribut begini. Bawa-bawa agama lagi."
"Kejadian di Jakarta, eh ributnya sampai ke
Pontianak sini."
"Nah, tuh, kau tahu."
Evan muncul kembali di ruangan itu. Ebo menyusul di
belakangnya. Masih terengah-engah. Wajahnya sedikit pucat.
"Ngeri, Bro. Massa mulai beringas," suara Ebo bersaing dengan napasnya.
"Saya mau menyampaikan pesan Bapak," Evan
mulai bersuara.
"Setelah selesai makan, kita segera ke kebun.
Malam ini juga. Mobil sudah saya siapkan. Pesan Bapak, bawa semua berkas. Saya
ke bawah dulu untuk siap-siap."
***
Linimasa Facebook
menginformasikan tensi di simpang jalan itu kian meninggi. Polisi sudah
memuntahkan tembakan peringatan. Tapi massa tak juga surut. Beberapa berani
menerobos barikade polisi. Suara tembakan dan raungan sirene ambulans
sahut-sahutan.
Video amatir yang merekam peristiwa ini berseliweran
di media sosial. Mengalahkan gerak cepat media mainstream. Tanpa sensor. Tanpa
narasi apapun. Membiarkan warganet menafsirkannya secara liar.
Lelaki itu duduk di kursi kayu. Tampak bagai siluet
dalam temaram. Menatap layar komputer tablet. Menyaksikan tayangan liar yang
setiap waktu semakin bertambah.
Hampir pukul sembilan malam. Suara mobil terdengar
mendekat. Lelaki itu tak segera menengok. Dia terus memantau perkembangan
melalui linimasa media sosial.
Lima orang muda turun dari mobil. Membawa tas
masing-masing. Bergerak perlahan menuju rumah kayu. Lelaki itu memantau mereka
dari jendela yang terbuka. Penerangan agak temaram. Sumber setrum di sini hanya
dari panel surya.
"Kalian sudah mandi tadi?"
"Sudah, Pak," hampir serempak mereka
menjawab.
"Masuklah dulu. Taruh tas di meja. Evan, saya
sudah siapkan daging untuk kita panggang."
Lelaki itu beranjak menuju suatu area di bawah pohon
rindang. Ada beberapa bangku dari kayu bulat di sana. Aroma racun nyamuk bakar
meruap.
"Tadi kami sudah makan, Pak. Mie Tiaw
rebus," ucap Yulia.
"Ndak apa. Kita panggang-panggang saja, sambil
ngobrol. Mana Ebo?"
"Iya, Om?"
"Nyalakan lampu untuk kita di sini."
Klik. Ebo menekan sebuah tombol yang terpasang di
batang pohon. Sinar menyilaukan berpendar di tempat yang semula temaram. Lelaki
itu tersenyum melihat reaksi mereka.
"Masih gemetaran kau, Ebo?"
"Udah ndak, Om. Tadi sih, saya sawan."
"Ambil gitar di samping rak. Kau mainkan How Great Thou Art. Versi klasik
ya."
Evan muncul membaca baskom berisi potongan daging.
Yulia beranjak dari duduknya, menyambut baskom itu.
"Bentar aku ambil bumbu di dapur," ucap
Evan.
Yeri mengeluarkan korek api, menyalakan arang di
tungku. Bobi mengipas-ngipas bara. Tak berapa lama, cahaya bertambah di area
itu. Hawa hangat mulai terasa.
"Malam ini jangan bahas kerjaan. Kalian ada di
sini, aku merasa tenang. Selama aku tak ada di kantor, apa kalian tetap
jalankan Doa Angelus?"
"Tetap, Pak. Di ruang rapat," Yeri menjawab.
"Siapa yang sering tidak ikut?"
"Ndak ada, Pak. Ikut semua."
"Sudah pada hafal doanya?"
"Baru Evan yang hafal, Pak. Kami masih baca teks."
"Susah ngapalinnya, Pak. Bahasa Latin,"
suara Yulia.
"Kalau lagu Korea, lebih mudah ya?"
Mereka tertawa. Ebo
menghentikan petikan gitarnya. Aroma daging panggang memecah malam.
Baca Ini: Cinta dalam Bercarik Kertas, Catatan Khairul Fuad
Pukul 23.00.
Orang-orang sudah berada di ruang tengah rumah kayu. Duduk bersimpuh beralas
kain tebal yang empuk. Menghadap altar kayu bertaplak kain putih. Lilin telah
menyala. Lidah api meliuk-liuk memantulkan bias lewat cermin kecil di atas rak.
Lelaki berambut gondrong yang mereka sapa Pak Bos,
duduk paling belakang. Yeri dan Yulia di bagian depan kanan. Bobi, Evan, dan
Ebo di sisi kiri. Mereka bersimpuh berjejer berdua-dua.
Lelaki itu mengangkat suara dalam notasi datar yang
sedikit menaik di bagian ujung: "Ya Allah, bersegeralah menolong
aku..."
"Tuhan, perhatikanlah hambaMu..." anak-anak
muda menimpali dengan nada datar dan sedikit menurun di bagian akhir.
"Kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh
Kudus..."
"Seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang
segala abad, amin."
Rangkaian Ibadat Completorium itu berselang-seling
dengan rapalan doa dan senandung mazmur. Sahut-sahutan antarmereka, sesuai
barisan bersimpuh. Juga bacaan singkat dari Kitab Suci.
Di luar, cahaya bulan begitu pucat. Sinar lemah menerobos dedaunan. Suara kendaraan berat sayup dari
arah jalan Trans Kalimantan. Sesekali berpadu suara rem angin ketika melewati
jalan menurun.
"Berkatilah kami Ya Tuhan, bila kami berjaga.
Lindungilah bila kami tidur..."
***
Pukul 05.55. Ruang tengah rumah kayu itu hening. Samar
suara instrumen piano klasik memainkan How
Great Thou Art dari speaker kecil. Nada dalam ketukan pasti, merayapi pagi.
Orang-orang duduk bersimpuh menghadap altar kayu
bertaplak kain putih. Lilin sudah menyala. Cahaya pagi masih agak redup. Bias
matahari menyerupai tali-temali, menjuntai dari sela-sela kanopi pohon matoa.
Sebagian menembus jendela, mendarat di lantai kayu.
Lelaki berambut gondrong duduk paling belakang. Lima
anak muda berjejer dua-dua. Gemericik air mancur di samping kolam pelan
menyusupi ruang pendengaran.
Pukul 06.00. Teng, teng, teng! Lonceng Angelus
berdentang dari smartphone. Lelaki itu membuka suara dalam nada tenor: "In nomine Patris et Filii et Spiritús
Sancti, Amen. Angelus Domini nuntiavit Mariae..."
"Et concepit
de Spiritu Sancto..." anak-anak muda menimpali terbata-bata.
"Ave Maria,
gratia plena, Dominus tecum, benedicta tu in mulieribus, et benedictus fructus
ventris tui, Iesus..."
"Sancta
Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus, nunc, et in hora mortis
nostrae."
Di jalan setapak mengarah ke rumah kayu itu, Bu Mayang
bersama putri kecilnya, Sarah, melangkah perlahan. Kediaman mereka berada di
dekat persimpangan jalan Trans Kalimantan.
Jika lelaki itu ada di kebun, Bu Mayang bekerja menyiapkan
makanan. Hari-hari biasa, Bu Mayang dan suaminya mengurus ternak dan tanaman.
Pagi ini, Bu Mayang dan Sarah membawa baskom dan keranjang berisi sayuran dan
buah.
Melintasi pohon-pohon karet dengan tetesan lateks
tertadah di tempurung kelapa. Menapak titian kayu di sungai kecil. Menyeruak
kerimbunan markisa dengan buah matang bergelantungan.
"Mak?" langkah Sarah terhenti. Dia
menajamkan pendengaran. "Mereka lagi apa?"
"Oh, lagi Doa Angelus."
"Bahasanya aneh, Mak."
"Ya, bahasa Latin. Nanti kamu belajar sama Pak
Gondrong ya."
Bu Mayang dan putrinya melangkah diam-diam. Mengitari
sisi rumah kayu, menuju dapur. Dari ruang tengah, tinggal terdengar suara
instrumen. Sayup.
"Hai Dek Sarah, Hai Bu Mayang," tiba-tiba
Yulia menyapa di dapur.
"Eh, ada Kak Yulia. Ibu buatkan sarapan dulu,
ya," sahut Bu Mayang.
Lelaki berambut gondrong sudah berada di halaman.
Menyusun beberapa berkas di meja kayu di bawah pohon. Tempat mereka
panggang-panggang tadi malam.
Yulia muncul membawa baki berisi teh hangat dalam
cangkir keramik. Sarah menyusul dengan sepiring ketela rebus.
Lelaki itu duduk di kursi kayu di bawah pohon matoa.
Lima anak muda duduk mengelilingi. Map-map sedang dia periksa dan tandatangani.
"Sebelum ini, aku pernah punya kantor di sekitar
simpang itu. Ada aksi massa siangnya, sampai sore. Kantorku kena imbasnya.
Dibakar. Seorang office boy sampai
opname kena senjata tajam. Ya, si Evan."
Anak-anak muda menoleh ke arah Evan. Lelaki gondrong
itu meneguk teh. Mengunyah ketela rebus.
"Aku nyaris bangkrut. Kantorku dulu bukan sasaran
utama. Kebetulan saja letaknya berada di sekitar aksi massa.”
Mereka mendengarkan sambil mengarahkan pandangan ke
berkas-berkas di meja kayu. Edo mengelap keringat di kening. Evan mengelus-elus
lengannya. Ada jejak jahitan yang sudah pulih di sana.
“Waktu itu saya baru saja mulai Doa Angelus sore jam
enam. Orang-orang lain dah ndak ada, kan udah pulang kantor. Demo sudah sejak
siang, ndak nyangka mereka ngerusak,” Evan bersuara.
“Lonceng Angelus berdentang tiga kali sehari. Jam enam
pagi, jam 12 siang, dan jam enam sore. Kalian bayangkan saja, sepanjang itu
pula traumatis yang dialami Evan,” lelaki gondrong itu berkata sambil
membolak-balik berkas. Memberi tanda di suatu kolom, menandatangani kolom lain.
Yulia menghela napas. Yeri dan Bobi duduk mematung.
Sesekali mereka saling pandang. Lelaki gondrong itu mengangkat wajah. Menatap
anak buahnya satu per satu.
“Kau sudah punya pacar, Yulia?”
Yulia tersentak. Teman-temannya tersenyum. Yulia
semakin salah tingkah.
“Atau ada di antara teman-temanmu ini…”
“Belum Pak. Saya masih pengen jomblo.”
“Dulu saya punya staf kayak kamu ini juga. Cantik,
enerjik, pintar. Ada cowok naksir dia. Tapi ya, kayak preman gitu. Jelas, dia
tolak. Saya sampai turun tangan, mengusir dia dari kantor karena sering
mengganggu. Evan, kau masih ingat orang itu?”
“Ya, Pak. Pernah ada di koran. Kabarnya dia masuk
penjara.”
“Ndak tau kasus apa. Narkoba mungkin. Nah, cowok itu,
belakangan baru aku tahu, termasuk yang malam itu mengarahkan massa menyerang
kantor. Dia dendam.”
“Hayo, Yulia…” goda Yeri.
“Heh, enak saja!” Yulia sewot.
“Evan trauma ndak, liat Yulia?” canda Ebo.
Evan tersenyum. Pak Bos melirik arlojinya.
“Baru jam delapan. Kalian keliling dulu. Petik buah.
Atau mancing di kolam. Saya mau selesaikan berkas ini. Sebelum jam 12 semua
kumpul di ruang tengah.”[]
Artikel Lain: Tamu Terakhir dalam Gawai Sastra Minggu Sore