[Foto: Ilustrasi/Interne] |
DI pesta roh halus. Hari ke 15 Tahun Baru Cina. Di Singkawang yang memesona. Ya, kota kecil nan elok di pesisir Kalimantan Barat itu bernama Singkawang. Berasal dari bahasa Hakka; San Keu Jong, yang artinya dataran di antara teluk dan gunung. Kota berjuluk seribu kelenteng. Kota dengan penduduk 60 persen beretnis Tionghoa juga dikenal dengan nama Kota Amoi, karena kecantikan gadis-gadis Tionghoa di sini.
Aku menunaikan tugas dari pimpinan, meliput perayaan Cap Go Meh, yang katanya, paling meriah dan unik dibanding tempat-tempat lainnya. Di sini aku bertemu dengan gadis ajab itu, secara ajaib pula.
***
Hari Cap Go Meh di pelataran
Klenteng Tri Dharma, persimpangan jalan pusat Kota Singkawang. Klenteng
legendaris di tengah ruko-ruko tua yang kokoh dan terawat. Aku berdiri terpana,
diantara ribuan orang lainnya. Panas terik matahari bumi khatulistiwa sama
sekali tak menganggu kami. Semua memandang pertunjukan yang mengejutkan itu.
Pemandangan yang masih tidak masuk akal bagiku, walaupun video even yang sama
tahun lalu sudah ku saksikan di You Tube.
Pemandangan magis siang itu. Asap
tebal dan bebauan dari gaharu, kemenyan dan kertas mantera yang dibakar
menyebar kemana-mana. Sementara bunyi dari puluhan genderang memekakan telinga,
mengiringi gerakan orang-orang kebal itu.
Ada lima orang di sana. Mereka
adalah para Tatung; sebutan penduduk lokal untuk orang yang kesurupan roh baik.
Sebagian yang percaya menyebutnya roh dewa.
Tanpa sendal, sepatu dan pelindung
apapun, para Tatung itu menari-nari di atas tandu yang beralaskan parang-parang
mengkilat yang tampaknya baru diasah. Ada juga yang beralaskan paku-paku tajam.
Busana mereka mengingatkanku pada tokoh-tokoh panglima perang di film-film
kerajaan Tiongkok. Senjata di tangan mereka berbeda-beda. Ada yang membawa
pedang, golok, tombak hingga mandau.
Secara nyata, benda-benda berbahaya
itu ditusuk-tusukan dan disayat-sayatkan ke tubuh mereka sendiri. Namun
aksesoris yang terngeri, walaupun tidak semua memakai ini, adalah kawat-kawat
tajam yang ditusukan dipipi melewati rongga mulut lalu tembus ke pipi
sebelahnya.
Ritual Tatung ini sebenarnya
bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat. Oleh pemerintah setempat sekalian saja
dijadikan festival untuk menarik wisatawan. Seperti Cap Go Meh di kota lain,
lampion, barongsai dan liong memang ada, tapi tatunglah pertunjukan utamanya.
Di Tiongkok sana, tradisi ini sudah
hilang sama sekali. Lebih-lebih sejak program revolusi budaya di tahun 1950-an
oleh sang pemimpin besar Mao Tse Thung. Saat itu rakyat Tiongkok dipaksa
meninggalkan budaya lama seperti Konfusianisme dan Taoisme. Dia menganggap
budaya dan kepercayaan leluhur adalah bagian dari feodalisme, musuh klasik
komunisme. Maka tak heran tiap tahun ribuan turis Tiongkok datang ke
Singkawang, untuk melihat tontonan yang sudah punah di negara mereka tersebut.
Apalagi sekarang ekonomi negeri naga itu maju pesat, dan orang kaya baru tumbuh
setiap tahunnya.
Sementara lima tatung itu
beratraksi di halaman kelenteng itu, sepanjang ratusan meter, puluhan tatung
lainnya sedang mengantre untuk gantian menghibur penonton. Klenteng Tri Dharma
selalu masuk dalam daftar kunjungan para tatung. Selain beratraksi, mereka
melakukan penghormatan kepada dewa-dewa di klenteng tertua di Singkawang itu.
Orang-orang kerasukan itu berasal
dari berbagai kalangan, termasuk bocah dan perempuan. Banyak yang roh-roh unik
yang aku lihat. Ada yang kerasukan roh Cu Pat Kai dan Sun Go Khong, tokoh dalam
legenda “Perjalanan ke Barat”. Adapula yang kemasukan roh-roh lokal. Sedangkan
ratusan tatung lainnya diarak di jalan-jalan kota. Masyarakat tumpah ruah
berjejer di pinggir jalan menyaksikan pawai setahun sekali itu. Inilah pesta
hantu yang sesungguhnya. Bukan seperti Halloween di Amerika Serikat.
Baca Ini: Sepucuk Surat untuk Mama di Hari Natal
Sadar akan tugasku sebagai wartawan, kuarahkan lensa kameraku ke sosok-sosok ajaib itu. Jepretan demi jepretan kulakukan berulang kali untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sampailah bidikan itu kepada obyek terindahku. Seorang tatung wanita, masih remaja ku kira.
Dalam kondisi trance si amoi duduk
di atas tandu beralas paku yang sedang diarak. Kondisi liarnya tidak
menghilangkan goresan-goresan ayu di wajahnya. Sepintas dia mirip Sandra Dewi,
artis favoritku yang berwajah oriental. Mengenakan gaun putri kasiar, bertubuh
langsing, dengan rambut panjang terikat rapi, dialah tatung teranggun hari itu.
Malahan bagiku dialah orang tercantik di antara
ribuan penonton di lokasi itu.
Sampailah saat giliran dia yang
beratraksi di halaman kelenteng. Aku menunggu momen ini, karena jarak kami
hanya tinggal lima meter saja. Aku akan sangat leluasa mengambil setiap gerakan
dan ekspresi wajahnya. Namun selain kecantikannya, tidak ada hal lain yang bisa
dieksplor dari gadis ini.
Tidak seperti tatung lainnya yang
memamerkan kesaktiannya secara ekstrem, dia hanya menari-nari kecil dengan
membawa pedang yang sesekali digoreskan
di tangannya. Secara teori fotografi jurnalistik, fotonya kalah nilai dibanding
tatung lainnya. Tak akan dimuat di majalahku. Aku hanya mengambil gambarnya
untuk koleksi pribadi saja.
Aku terkejut. Matanya seperti
menatap tajam ke arahku. Sepertinya hanya kepadaku. Tiba-tiba saja bulu kudukku
merinding. Masih sambil dengan sorot mata itu, sambil menari-nari dia mendekat
ke arahku. Aku tetap tidak beranjak, karena kerumunan orang di
samping-sampingku tidak merespon hal yang sama. Walaupun tidak pernah tersiar
ada tatung menyerang penonton, nyaliku ciut juga. Cantik-cantik begitu, dia itu
lagi kerasukan dengan sebilah pedang tajam di tangan kanannya.
Jarak kami hanya tinggal satu
meter. “Matilah aku.” Secepat kilat kumasukan kemera ke dalam tas ranselku.
Saat itu ku putuskan untuk lari saja. Tapi seketika pandangan matanya yang
tadinya seram berubah menjadi sendu. Tubuhnya melunglai, hingga pedangnya
terlepas dari genggaman.
Dia akan ambruk. Reflekku
mengalahkan rasa takutku. Saat dia hendak jatuh, ku tangkap pundaknya hingga
aku sedikit terjongkok. “Tolong. Panas aku tak tahan,” gumam gadis itu di
telingaku. Matanya yang indah itu tertutup lalu tak sadarkan diri.
“Huuuuuu...” cibir sebagian
penonton di sana atas pingsannya tatung perempuan itu. “Bang tolong bawa ke
sana ya,” ujar seorang panitia kepadaku sambil menunjuk tenda besar di belakang
kelenteng. Sementara orang itu membantu membukakan jalan diantara kerumunan
massa, aku membopong gadis ini ke sana. Kubaringkan dia di tempat tidur yang
sudah disiapkan oleh panitia.
Kuambil sebuah majalah dari dalam
tas ranselku, lalu ku kipas-kipaskan ke wajahnya. Rasa kagum bercampur ngeri
melihat aksi gadis ini tadi lenyap sudah. Berganti rasa kasihan melihat
tubuhnya yang lemas dan wajahnya yang merah padam. Tidak lama kemudian beberapa
pria datang.
“Sudah bang tinggalkan saja. Kami
temannya,” ujar seorang pria yang kilihat tadi bermain genderang. “Dia hanya
kecapekan. Baru kali ini dia turun ke jalan.”
Aku pun memang ingin segera pergi.
Satu jam lagi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama para pejabat
daerah akan segera hadir di panggung kehormatan tak jauh dari kelenteng. Aku
harus segera mencari tempat terbaik untuk mendengar sambutan dan mengambil
fotonya.
Tiba-tiba; “Jangan pergi dulu. Kamu
harus tanggung jawab. Tunggu di sini, kamu yang buat anak saya pingsan,” seru
seorang pria paruh baya sambil melotot kepadaku.
Mendapat tuduhan begitu, tentu saja
darahku naik. Aku pikir kalaupun harus beradu jotos satu lawan satu aku akan
menang melawan pria renta itu. Tapi sebagai wartawan, aku masih memiliki akal
sehat. Siapa yang mau bermasalah dengan hukum, apalagi aku cuma pendatang. Lagi
pula si bapak membawa pedang gadis itu yang tadi terlepas. Kalaupun balas
menghardik bisa-bisa si bapak menebaskan pedang itu.
“Maaf, Saya hanya menolong saja
pak,” kataku sopan, sambil menahan emosi. “Sekarang saya mau pergi, sedang ada
acara yang tidak bisa ditinggal.” “Tidak bisa. Kamu harus tanggung jawab,”
balasnya dengan kasar. Mendengar ribut-ribut panitia yang bersama kami kami
tadi datang. Dibantu si pemain genderang, dia tampak berusaha menenangkan bapak
itu, menjelaskan duduk persoalannya.
Sekarang si bapak sudah agak
tenang. Dia lalu menuju ke arah gadis itu. “Mei, Papa kan sudah bilang tidak
usah ikut. Kamu kenapa tidak mau dengar. Sekarang begini kan jadinya,” ujarnya
kepada gadis yang belum siuman itu. Matanya memerah dan suaranya bergetar. Ada
rasa iba dalam hatiku, tapi aku harus segera bergegas.
Ketimbang menunggu bapak pemarah itu meminta maaf, aku pilih untuk menyambangi dia dan berpamitan. Namun tiba-tiba gadis tadi terbangun, melotot tajam lalu mengarahkan telunjuknya ke mukaku. “Kamu...!!!” katanya setengah berteriak. Dia lalu pingsan lagi. Semua mata di tenda itu memandang ke arahku. Aku tertunduk lesu.
***
Jam tujuh malam bulan purnama terang benderang. Suasana Kota Singkawang masih sangat ramai, ketika aku dijemput di hotel oleh Acun dengan sepeda motor bututnya.
Tadi siang, akhirnya aku bisa lepas
dari ayah si gadis itu. Untungnya dia sedikit maklum setelah aku jelaskan bahwa
aku seorang jurnalis yang akan segera meliput kedatangan menteri. Hanya saja
harus meninggalkan jaminan. Dia tidak mau uang atau pun handphone. Dia hanya
mengambil KTP-ku saja. Aku tidak berusaha bernegosiasi karena dikerjar waktu.
Malam hari aku berjanji akan ke rumahnya. Si pemain genderang yang bernama Acun
berjanji akan membantuku menjelaskan semuanya.
Rumah gadis itu cukup jauh dari
hotel, sehingga aku bisa menikmati suasana sudut-sudut kota dari atas kuda besi
ini. Beberapa klenteng yang kami lewati masih menggelar ritual tatung, meski
tak seramai tadi siang. Warung-warung kopi dadakan di pelataran ruko dan
pedagang kaki lima lainnya membuat kota ini hidup, meski tak segemerlap
Jakarta, kota asalku.
“Pak Wijaya sudah tidak marah lagi.
Dia katanya mau minta maaf sama abang,” tandas Acun sambil tetap fokus
mengemudikan sepeda motornya. Acun banyak mengoceh selama perjalanan. Dari dia,
aku tahu kalau nama gadis itu adalah Bong Meiling. Dia berusia 18 tahun dan
baru tamat SMA. Ayahnya bernama Bong Wijaya. Bong adalah marga yang umum
dipakai suku Hakka, serupa dengan Ong untuk orang Hokkian atau Ng pada orang
Teochiu.
Meiling adalah anak semata wayang
dan ibunya meninggal karena sakit keras, saat dia masih kanak-kanak. “Itulah
bang, kenapa Pak Wijaya sangat sayang sama Meiling. Dia tinggal punya Meiling
saja.” Sebenarnya aku juga ingin mengetahui kisah bagaimana Meiling bisa terjun
ke dunia pertatungan. Namun ku urungkan niat untuk bertanya pada Acun. Lebih
baik kutanyakan langsung ke orangnya.
Rumah Pak Wijaya kecil saja. Diapit
oleh rumah-rumah lain di sebuah gang sempit di pinggiran Singkawang. Wijaya Dia
menyambutku di depan pintu. Lega rasanya melihat dia tersenyum. “Silahkan masuk
dek Panji Bimantara,” katanya. “Sudah 24 tahun, tapi kayak anak remaja ya,” imbuhnya
mencoba basa-basi. Sepertinya dia tahu nama lengkap dan usiaku dari KTPku yang
dia sita.
“Meiling ini orangnya sudah
datang,” teriak Pak Wijaya sambil mengadah ke dapur yang memang tampak dari
pintu depan. Tak terdengar suara balasan. Bersama Pak Wijaya, aku lalu masuk
dan duduk di sebuah kursi dari kayu dengan ukiran bermotif oriental. Tak lama
kemudian datang gadis itu, membawa air dan camilan.
Penampilannya sekarang tidak
mencolok. Tanpa dandanan, mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans,
dia masih tampak cantik. Dia menjongkok. Diletakannya barang-barang yang
dibawanya dengan nampan tersebut, persis di meja depan aku duduk.
Baca Ini: Ada Puisi di Sarang Kata
Aku menatapnya, dia balik menatap. Jantungku berdetak kencang. Selama beberapa detik, kami saling pandang tanpa bicara. Dia lalu menundukan kepalanya, mukanya memerah. Sudah lama rasanya aku tak mengalami perasaan seperti ini. Jatuh cinta kah aku? Cepat-cepat ku buang pikiran itu.
“Maaf Bang, saya tadi siang
benar-benar tidak sadar. Jadi menyusahkan Abang,” kata Meiling, tanpa
memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Tidak apa-apa saya maklum. Namanya juga
orang kemasukan,” balasku.
Lama kami mengobrol di ruang tamu
itu. Aku menanyakan cerita bagaimana dirinya bisa menjadi seorang tatung.
Lumayan buat bahan berita feature, pikirku. Sementara mewawancarai putri semata
wayangnya, Pak Wijaya pamit masuk ke dalam untuk menonton televisi.
Meiling menjadi tatung setahun
setengah tahun yang lalu. Saat itu dia masih duduk di bangku SMA. Pada suatu
malam dia mengalami mimpi bertemu dengan seorang putri raja. Orang dalam
mimpinya itu meminta Meiling menggantikan dirinya di kerajaan itu. Setelah
mimpi itu, dia sering kerasukan. “Sejak itu saya seperti orang gila. Hampir
kemasukan setiap malam,” ucapnya.
Dia melanjutkan, ayahnya lalu
membawanya kepada pendeta Taoisme yang cukup terkenal. Oleh sang pendeta,
Meiling disarankan untuk tidak melawan roh yang dimasukinya. Kabar baiknya,
yang sering mampir ke tubuhnya itu roh baik. Kabar buruknya?
“Saya dibilang sudah ditakdirkan
untuk menjadi tatung yang mengobati orang sakit. Harus menuruti semua keinginan
roh itu,” lirih Meiling.
Kulihat matanya yang indah itu
berkaca-kaca. Sepertinya dia tidak menginginkan sepanjang hidup penuh
ketidaknormalan itu. “Bagaimana kalau benar-benar tidak mau?” tanyaku. “Kata
pendeta harus ada upacara besar-besaran. Banyak sesajian yang harus disiapkan.
Saya dan Papa belum punya uang. Sudah cari utangan tapi belum dapat,” jawab
dia.
“Padahal saya mau hidup seperti
teman-teman lain.” Pak Wijaya hanya bekerja sebagai sopir truk. Sedangkan
Meiling sehari-hari menjadi pelayan toko. Timbul perasaan simpati dari dalam
hatiku. Aku merasa kasihan dan seperti ingin menemani kesedihan Meiling.
“Apakah Meiling mau menjadi guide
saya. Kebetulan saya cukup lama di Singkawang. Saya membutuhkan orang untuk
mengantarkan saya ke tempat-tempat yang mau saya liput.”
Tawaran tersebut keluar begitu saja
dari mulutku. Aku tak tahu apakah ini hanya karena simpatiku saja, atau mungkin
aku hanya cari-cari alasan saja utuk lebih dekat dengannya. Padahal aku sudah
meminta bantuan teman lamaku, seorang wartawan lokal, untuk mengantarkan aku ke
obyek-obyek menarik di Singkawang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. “Boleh
bang. Kebetulan saya baru saja diminta istirahat sama bos saya. Nanti saya
minta izin sama Papa,” katanya setengah berharap.
Senyumannya yang manis semakin menambah semangatku. Ditambah lagi ternyata Pak Wijaya ternyata mengizinkan. Mungkin untuk menebus rasa bersalahnya padaku, atawa barangkali memang wajahku yang seperti orang baik-baik.
***
Selama beberapa hari ku habiskan waktu bersama Meiling. Berbekal motor yang ku sewa, kami menjelajahi berbagai obyek wisata di Singkawang. Kami semakin akrab. Tak jarang di atas kuda besi itu kami saling bercanda. Di balik keanehannya, Meiling ternyaa adalah tipe cewek yang humoris. Aku paling senang saat dia tertawa renyah, sangat manis.
Meskipun kota kecil, Singkawang
memiliki tujuan wisata yang lengkap. Untuk wisata budaya, Singkawang memiliki
tiga etnis utama; Dayak, Melayu dan Tionghoa dengan segala macam kekhasannya.
Kami mengunjungi kampung-kampung ketiga suku itu. Wisata alam? Singkawang punya
pantai, pulau-pulau kecil, danau dan perbukitan.
Kami berdua juga pergi ke Pasar
Hongkong, pusat kuliner di sana. Pasar kuliner yang semarak ini hanya buka pada
malam hari dan tutup menjelang subuh. Kami menikmati kwetiau yang rasanya
sangat khas dengan air tahu sebagai minumannya. Air tahu di tempatku disebut
dengan susu kedelai atau soya. Namun di sini rasanya lebih kuat dan segar.
Namun momen yang tak terlupakan
bersama Meiling adalah suatu senja di Pulau Simping. Pulau di selatan
Singkawang ini adalah pulau terkecil di dunia dan telah diakui
oleh PBB. Seraya menunggu sunset, kami duduk berdampingan di batu
besar di pinggir pulau seukuran lapangan basket itu. Kami saling bercerita
tentang masa lalu.
Meiling pernah punya pacar, namun
putus lantaran sang pacar malu dengan statusnya sebagai tatung. “Kalau Meiling
pacaran lagi mau nggak?” tanyaku. “Memang ada yang mau Bang. Saya kan orang
aneh,” sebutnya sambil memain-mainkan kakinya di laut. “Kalau sama abang?”
tanyaku.
Dia diam, tak menjawab. “Mau…”
lirihnya. Ku lihat mukanya memerah. “Ihhhh malu nih ye. Kamu cantik kalau lagi
malu,” ucapku mencoba menggombal.
“Bang Panji jahat ah,” kata Meiling
dengan wajah cemberut. Muka lucunya itu semakin membuatku gemas. Aku cubit
pipinya dengan kedua tanganku. Dia tak melawan. Tapi saat aku lengah itu dia
mendorong tubuhku ke laut. Aku basah kuyup. Tak mau kalah, aku tarik tubuhnya
yang memang cuma sedalam satu meter itu. Jadilah sore itu kami basah-basahan.
Puas menghabiskan waktu bersama,
baru kami kebingungan. “Bang kita tidak bawa baju ganti. Bagaimana ini? Nanti
pulang dimarahin papa,” tukasnya cemas. Aku lalu mencari ide.
“Bilang saja kita tadi sewa sampan,
lalu sampanya terbalik kena ombak,” lontarku. “Nggak apa-apa bang?” imbuhnya
masih cemas. “Sudah, nanti biar abang yang laporan.”
Selama perjalanan pulang, aku juga
takut kalau-kalau Pak Wijaya mengamuk lagi. Kali ini bukan karena ngeri dengan
teriakannya, tapi lebih kepada takut bila dia melarang Meiling dekat denganku.
Dengan pakai basah kuyup, kami sampai di rumah Meiling. Pak Wijaya tampak heran
melihat kami yang basah total, padahal tak satu tetes pun hujan turun hari itu.
“Waduh cepat masuk. Meiling ganti
baju cepat. Ambilkan juga baju dan celana Papa di lemari untuk Panji,” serunya.
Setelah berganti baju, aku lalu menemui Pak Wijaya di ruang tamu. Setelah aku
timbang-timbang, sebaiknya aku jujur saja kalau kami basah karena bercandaan.
Namun, Pak Wijaya tak menanyakan
soal kenapa kami sampai bisa basah kuyup. “Dek Panji, setelah beberapa hari ini
saya lihat Meiling tidak lagi sedih. Biasanya kalau malam dia itu suka bengong dan
nagis sendiri. Dia juga tidak pernah kemasukan lagi,” ungkapnya. “Iya pak
syukurlah kalau begitu,” kata aku.
Dia lalu meneruskan; “Sepertinya
dia seperti gembira akhir-akhir ini. Mau tidak kamu menikahi dia?” Pertanyaan
itu seperti menohok aku. Aku seperti baru saja mendapat uppercut dari Chris
John, ditambah bantingan Ade Rai.
Memang aku jatuh cinta pada
Meiling. Tapi untuk menikah rasanya terlalu cepat, apalagi kalau
dihitung-hitung baru dua minggu kami berkenalan. Dari hati kecilku sebenarnya
melontarkan kata iya, tapi otakku mengompori dengan berkata; “Memangnya nikah
itu gampang!!!”
“Maaf pak saya belum bisa memutuskan sekarang,” sebutku mencoba. Aku bilang kepada Pak Wijaya bahwa aku harus memikirkan hal itu masak-masak. Aku minta waktu satu bulan untuk menjawabnya. Sepertinya Pak Wijaya mengerti dengan sikapku. Dan perbincangan serius itu diakhiri dengan jawabanku dari pertanyaan Pak Wijaya. “Ngomong-ngomong tadi kalian kok basah kuyup ya? Kehujanan di mana?”
***
Aku terbaring di kasur empukku. Mataku menerawang ke langit-langit, pikiranku melayang. Sebulan lebih aku di Jakarta sejak berpamitan dengan Pak Wijaya dan Meiling. Dari Meiling aku tahu; seorang pendeta Taoisme berkata bahwa roh yang merasukinya selama ini tidak ingin lagi tinggal di tubuhnya. Tapi entah kenapa, aku merasa kalau roh itu menghendaki aku yang menggantikannya untuk menjaga Meiling.
Berbagai pertimbangan membayangi
pikiranku. Bagaimana dengan pekerjaanku? Aku merasa jurnalistik adalah duniaku
dan perusahaanku telah memberikan aku segalanya. Apakah aku harus resign saja?
Kalaupun ku iyakan permintaan itu dan Meiling ku boyong ke Jakarta, apakah Pak
Wijaya mau, mengingat Meiling adalah anak satu-satunya.
Tiba-tiba ponselku berdering
kencang. Ku lihat nama Pak Suhendra, pemimpin redaksiku di situ. Panggilan yang
membuatku melompat sejadi-jadinya di atas kasur. “Panji, majalah kita mau buka
kantor biro di Singkawang. Rencananya kamu yang akan dipromosikan sebagai
kepala biro di sana. Besok jam 10 pagi kamu ketemu saya di kantor, kita bahas
lebih lanjut,” jelas atasanku.
“Siap Boss!!!” ucapku dengan tegas.
Penulis: Arist Gardabumi – Buku Dentang Lonceng Angelus
Artikel Lain: Arina – Cerpen E. Widiantoro