[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja untuk Kalimantan] |
KEPUTUSAN Prefek Bos sudah bulat untuk membuka stasi di Pontianak. Pada suatu pagi, 12 Juni 1908, Bos mengajak Bruder Wilhelmus menuju Pontianak. Keduanya mengayuh sepeda dengan rute dari Singkawang lewat Teluk Suak, Sungai Duri ke Mempawah. Pada hari ketiga, mereka tiba di Mempawah. Hari berikutnya, mereka naik kapal kecil dan lewat laut menuju Pontianak.
Pada muara Sungai Kapuas, sekitar 18 kilometer dari Pontianak, yang dikenal dengan kampung Jungkat, sudah ada jalan dengan barau dan dermaga tempat untuk berlabuh. Para pembesar atau tuan-tuan besar, biasanya turun di tempat itu, kemudian menggunakan sepeda atau kereta melalui jalan darat menuju ke Pontianak.
Prefek dan bruder tidak turun di dermaga itu. Mereka menggunakan kapal langsung ke Pontianak. Sesampai di Pontianak, Prefek Bos dan Bruder Wilhelmus bermalam di rumah keluarga Katolik yang terkenal, Leysen-Vis pemilik pabrik kelapa.
Selama beberapa malam, Prefek berjumpa dengan mereka yang akan dipermandikan. Bos sangat terhibur melihat betapa hangatnya cara mereka berdoa dan tetap hadir untuk mempersiapkan diri.
Baca Ini: Observasi Pastor Beatus tak Surutkan Asa Prefek Bos Buka Stasi Pontianak
Dalam sebuah catatan Prefek Bos menulis:
“Pada pagi hari waktu saya akan membaptis calon katekumen, yang menelan
waktu selama 2 jam. Waktu upacara permandian saya melihat beberapa orang dewasa
yang menangis dengan diam-diam. Sesudah itu saya berkhotbah lagi dalam bahasa
Cina dan kegembiraan besar keluar dari hati mereka, sehingga mereka saling
merangkul dan mereka menyebut dirinya 'saudara-saudari dalam Yesus Kristus'. Mereka
yang dibaptis saat itu berjumlah 22 orang dewasa dan 3 anak dipermandikan; sedangkan
ke-80 orang katekumen menyatakan kerinduan akan permandian juga. Kalian tentu mengerti bahwa perayaan seperti
itu sangat menghiburkan hati seorang misionaris. Kami bersama-sama bersyukur
kepada Allah.”
Betapa segala kekecewaan dan pesimistis, kini berubah menjadi sebuah harapan besar bagi Prefektur. Harapan itulah yang menguburkan segala pesimistisnya akan Pontianak. Hal itu mendorong Prefek Bos untuk pastoran dan gereja. Bos kemudian menghitung biaya pembangunan gereja, yang diperkirakan menelan dana antara Fl 8.000 sampai Fl 9.000. Namun, Bos belum tahu cara memperoleh dana tersebut. Stasi di berbagai daerah juga membutuhkan anggaran untuk membangun.
Sementara waktu, Prefek Bos menyewa rumah dengan biaya sewa sebesar Fl.12 perbulan. Rumah tersebut memiliki loteng dan beberapa ruangan. Satu kamar difungsikan sebagai ruang sembahyang, satu kamar lagi menjadi ruang pertemuan bagi umat Katolik dan katekumen, kemudian satu kamar di peruntukkan bagi imam yang bertugas. Bagian atas akan dipakai sebagai kamar tidur. Rumah ini mesti ditambah lagi dengan dapur dan tempat mandi.
Pada hari Minggu umat Katolik Eropa dan Cina ikut misa dalam ruang besar Gedung Landraad (kehakiman). Bangku untuk terdakwa pada perayaan Ekaristi digunakan sebagai bangku komuni.
Baca Ini: Bruder Pendidik dari Huijbergen Membantu di Sekolah Nyarumkop
Terkait rencana pembangunan gereja, Tuan Leyzer-Vis mau berunding dengan arsitek militer, tetapi orang itu jatuh sakit dan akan pergi ke Batavia. Arsitek militer ini baru bertugas di Pontianak. Arsitek militer diminta membuat gambar atau bestek dan memimpin pembangunan gereja itu.
Ukuran gereja yang akan dibangun 20 x 11 meter dengan dasar fondasi yang kuat. Sedangkan dinding gereja akan dibuat dari anyaman besi yang diplester semen. Gereja akan menjadi gedung yang kuat dan sederhana tetapi cocok untuk kota. Biayanya pasti tidak lebih dari Fl. 10.000. Arsitek, Van de Noord, berpendapat bahwa pekerjaan itu paling baik dan paling murah.
Selama setengah tahun, Prefek masih bolak-balik Singkawang-Pontianak. Pembangunan gereja akan dimulai pada 9 Maret 1909. Maka pada 21 Januari 1909, Prefek Bos, Pastor Remigius dan Br. Wilhelmus menetap di Pontianak. Mereka masih menyewa rumah di pasar. Bangunan gereja yang sudah selesai dibangun menelan biaya Fl.10.000. Pada 5 Desember 1909, gereja diberkati. Hadir semua orang Katolik, katekumin, instansi-instansi sipil, dan militer.
Sementara pembangunan misi di Kalimantan dilakukan dengan susah payah dan memerlukan dukungan keuangan yang besar. Datang berita yang membuat Prefek Bos pusing. Prefek diberitahu oleh Mgr. Lyupen, Vikaris Apostolik Batavia, bahwa vikaris mau membagi-bagi daerahnya lagi.
Ia ingin berunding dengan prefek mengenai Sumatera. Vikaris mau menyerahkan Sumatera kepada para Kapusin. Berita ini mengejutkan Prefek Bos, yang masih berkutat dengan pembangunan di Pontianak. Prefek Bos juga mesti membangun gedung susteran dan pastoran yang sudah digambar dan dibangun.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Villa Suster Veghel Berubah Menjadi Sekolah bagi Perempuan Dayak