Lama tak Ada Pastor, Gedung Pastoran di Sejiram Hampir Roboh

August 04, 2022
Last Updated

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

PARA pastor dan bruder misionaris awal Kapusin ini tiba di Singkawang pada 30 November 1905. Saat itu, tidak ada seorang pun imam yang melayani daerah Borneo. Hanya sekali atau dua kali setahun, beberapa tempat dikunjungi oleh seorang pastor dari Vikariat Apostolik Batavia.

 

Hal serupa juga terjadi dengan di Sejiram. Rumah misi yang dibangun oleh Pater Looymans, saat bekerja di Sejiram, kosong. Ketika pertama kali berkunjung ke Sejiram, para misionaris Kapusin menemukan kondisi gedung pastoran yang hampir roboh.

 

Setelah lima tahun berkarya di tanah Borneo, misionaris Kapusin ini bertambah. Ada 16 imam, 10 bruder, dan 15 suster. Di Singkawang secara bertahap didirikan gedung pastoran, gedung sekolah untuk anak laki-laki, gedung susteran dengan sekolah untuk anak perempuan, memperbesar gereja karena sudah tidak dapat lagi menampung umat yang terus bertambah.

 

Pada 9 November 1906, Pastor Eugenius bersama Pastor Camillus dan Bruder Theodoricus berangkat ke pedalaman untuk memulai tugas misi, terutama bagi orang Dayak di Sejiram yang selama ini yang ditinggalkan. Pastoran yang hampir roboh, kemudian direhap. Mereka juga membangun satu rumah untuk suster dan satu sekolah untuk anak-anak perempuan.

 

Baca Ini: Stasi Tetap Berdiri di Kota Amoi, Pastor Staal Diangkat jadi Pastor Pertama

 

Sementara di pantai timur Borneo – Kalimantan Timur - pada tahun 1907 para misionaris juga memulai karya misi. Pastor Liberatus, Pastor Camillus, dan Bruder Ivo tiba di Samarinda. Beberapa hari kemudian melakukan perjalanan ke pedalaman. Untuk sementara, mereka menempati barak militer di Long Iram. Tak lama kemudian, para misionaris Kapusin itu berangkat ke pedalaman. Mereka menetap di Laham. Hidup di antara orang-orang Dayak yang belum pernah dengar suara seorang imam.

 

Pada 3 Juni 1910 berdiri Gereja baru di Pemangkat. Gereja itu dibangun dari kayu, diberkati, dan diresmikan dengan nama pelindung Maria Tanpa Noda. Untuk melayani misi di Pemangkat, maka diutus Pastor Marcellus. Pastor Marcel tinggal seorang diri di rumah miliki orang Tionghoa. Beberapa tahun kemudian, Pastor Marcel dibantu oleh Pastor Justinianus dan Bruder Leopoldus untuk melayani umat Katolik di Pemangkat.

 

Kapusin Belanda juga telah membuat beberapa tempat misi yang baru. Di bagian tengah Borneo – sekarang wilayah Kapuas Hulu – di antara orang-orang Batang Lupar, yang saat itu masih kental dengan tradisi mengayau. Pastor Gonzalvus dan Bruder Donulus diutus untuk untuk menyiapkan tempat tinggal di Lanjak.



Selain Lanjak, ada beberapa tempat misi lainnya, seperti Sempadang, lokasi paling pelosok dekat Sungai Selakau. Di tempat itu, sudah dibangun satu gereja kecil dari kayu. Sebelum gereja di Sempadang dibangun, terdapat rumah seorang Tionghoa untuk ibadat bagi 40 umat Katolik. Rumah itu lebih mirip kandang daripada tempat untuk ibadat.

 

Selain di Sempadang, dibuka juga misi di Bodok, Selakau, Sungai Duri, Teluk Suak, dan Mempawah. Ditambah lagi satu tempat misi baru yakni Pontianak, yang merupakan ibu kota Borneo Bagian Barat. Itulah lima tahun awal misi mulai menabur benih kabar gembira pada tanah Borneo.

 

Kala itu jumlah penduduk di Borneo yang tercatat oleh pemerintah Belanda di Bagian Barat Borneo terdiri atas orang Eropa berjumlah 320 orang, Tionghoa ada 37.700 orang, Arab sekitar 1.540 orang, dan sebanyak 330.760 penduduk asli.

 

Sedangkan di Bagian Selatan dan Timur Borneo terdiri dari kurang lebih 696 orang Eropa, 6.426 orang Tionghoa, 1.878 orang Arab, dan 707.400 penduduk asli. Dengan demikian Pulau Borneo yang cukup luas dan pulau terbesar ketiga di dunia ini masih sedikit penduduknya.

 

Artikel Selanjutnya: Jin Kon Siapkan Lima Warga Tionghoa Mohon Dibaptis Secara Katolik

 

Penulis: Br. Kris Tampajara MTB

Editor: Budi Atemba

Selengkapnya