[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan] |
PARA pastor dan bruder misionaris awal Kapusin ini tiba di Singkawang pada 30 November 1905. Saat itu, tidak ada seorang pun imam yang melayani daerah Borneo. Hanya sekali atau dua kali setahun, beberapa tempat dikunjungi oleh seorang pastor dari Vikariat Apostolik Batavia.
Hal serupa juga terjadi dengan di Sejiram. Rumah misi yang dibangun oleh
Pater Looymans, saat bekerja di Sejiram, kosong. Ketika pertama kali berkunjung
ke Sejiram, para misionaris Kapusin menemukan kondisi gedung pastoran yang hampir
roboh.
Setelah lima tahun berkarya di tanah Borneo, misionaris Kapusin ini
bertambah. Ada 16 imam, 10 bruder, dan 15 suster. Di Singkawang secara bertahap
didirikan gedung pastoran, gedung sekolah untuk anak laki-laki, gedung susteran
dengan sekolah untuk anak perempuan, memperbesar gereja karena sudah tidak
dapat lagi menampung umat yang terus bertambah.
Pada 9 November 1906, Pastor Eugenius bersama Pastor Camillus dan Bruder
Theodoricus berangkat ke pedalaman untuk memulai tugas misi, terutama bagi orang
Dayak di Sejiram yang selama ini yang ditinggalkan. Pastoran yang hampir roboh,
kemudian direhap. Mereka juga membangun satu rumah untuk suster dan satu
sekolah untuk anak-anak perempuan.
Baca Ini: Stasi Tetap Berdiri di Kota Amoi, Pastor Staal Diangkat jadi Pastor Pertama
Sementara di pantai timur Borneo – Kalimantan Timur - pada tahun 1907
para misionaris juga memulai karya misi. Pastor Liberatus, Pastor Camillus, dan
Bruder Ivo tiba di Samarinda. Beberapa hari kemudian melakukan perjalanan ke
pedalaman. Untuk sementara, mereka menempati barak militer di Long Iram. Tak
lama kemudian, para misionaris Kapusin itu berangkat ke pedalaman. Mereka
menetap di Laham. Hidup di antara orang-orang Dayak yang belum pernah dengar
suara seorang imam.
Pada 3 Juni 1910 berdiri Gereja baru di Pemangkat. Gereja itu dibangun dari
kayu, diberkati, dan diresmikan dengan nama pelindung Maria Tanpa Noda. Untuk
melayani misi di Pemangkat, maka diutus Pastor Marcellus. Pastor Marcel tinggal
seorang diri di rumah miliki orang Tionghoa. Beberapa tahun kemudian, Pastor
Marcel dibantu oleh Pastor Justinianus dan Bruder Leopoldus
untuk melayani umat Katolik di Pemangkat.
Kapusin Belanda juga telah membuat beberapa tempat misi yang baru. Di bagian
tengah Borneo – sekarang wilayah Kapuas Hulu – di antara orang-orang Batang
Lupar, yang saat itu masih kental dengan tradisi mengayau. Pastor Gonzalvus dan
Bruder Donulus diutus untuk untuk menyiapkan tempat tinggal di Lanjak.
Selain Lanjak, ada beberapa tempat misi lainnya, seperti Sempadang, lokasi paling pelosok dekat Sungai Selakau. Di tempat itu, sudah dibangun satu gereja kecil dari kayu. Sebelum gereja di Sempadang dibangun, terdapat rumah seorang Tionghoa untuk ibadat bagi 40 umat Katolik. Rumah itu lebih mirip kandang daripada tempat untuk ibadat.
Selain di Sempadang, dibuka juga misi di Bodok, Selakau, Sungai Duri, Teluk
Suak, dan Mempawah. Ditambah lagi satu tempat misi baru yakni Pontianak, yang
merupakan ibu kota Borneo Bagian Barat. Itulah lima tahun awal misi mulai
menabur benih kabar gembira pada tanah Borneo.
Kala itu jumlah penduduk di Borneo yang tercatat oleh pemerintah Belanda
di Bagian Barat Borneo terdiri atas orang Eropa berjumlah 320 orang, Tionghoa ada
37.700 orang, Arab sekitar 1.540 orang, dan sebanyak 330.760 penduduk asli.
Sedangkan di Bagian Selatan dan Timur Borneo terdiri dari kurang lebih
696 orang Eropa, 6.426 orang Tionghoa, 1.878 orang Arab, dan 707.400 penduduk
asli. Dengan demikian Pulau Borneo yang cukup luas dan pulau terbesar ketiga di
dunia ini masih sedikit penduduknya.
Artikel Selanjutnya: Jin Kon Siapkan Lima Warga Tionghoa Mohon Dibaptis Secara Katolik
Penulis: Br. Kris
Tampajara MTB
Editor: Budi Atemba