Tak Ada Orang Dayak, Karya Misi Cabut dari Long Iram

August 11, 2022
Last Updated

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

KARYA misi Katolik di Borneo bagian barat yang dipimpin Prefek Pasificus Bos sejak 1905, telah melayani umat di Singkawang dan Sejiram. Namun, Prefek Bos masih memikirkan karya misi di Borneo bagian timur – sekarang Kalimantan Timur – yang masih menjadi tanggungjawabnya sebagai Prefektur Borneo Hindia.

Prefek Bos belum menemukan cara untuk karya misi di bagian timur itu. Pemerintah sudah mendorong agar misi mulai di wiayah tersebut. Prefek Bos ditawarkan di kampung Long Iram yang terletak di hulu Sungai Mahakam. Karena bagian hilir Sungai Mahakam sudah menganut agama Islam. Long Iram itu pusat pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah menempatkan seorang Kontrolir dengan pangkat Letnan.

Apa yang mesti dilakukan Prefek Bos dengan kondisi seperti itu? Dalam keadaan sulit, seorang pemimpin harus mengambil keputusan. Mesti banyak pertimbangan karena kurang tenaga misi dan kesulitan financial, lalu jauhnya jarak antara tempat misi yang satu dengan yang lainnya membutuhkan biaya transportasi berbiaya tinggi.

Rute perjalanan menuju rencana tempat misi baru itu cukup panjang. Dari Singkawang menuju Batavia, kemudian Batavia menuju Surabaya, dan Surabaya menuju Samarinda. Prefek Bos belum pernah melihat daerah tersebut. Vikariat Batavia sudah memperjuangkan agar semua perjalanan dinas dibayar oleh Pemerintah untuk misionaris, tetapi aturan itu tidak berlaku bagi karya misi di Borneo.

Baca Ini: Prefek Bos Jalan Kaki 10 Jam dari Buduk ke Singkawang

Sebagai pemimpin, Prefek Bos mesti berani mengambil keputusan. Ia mengirim seorang misionaris kapusin yang lebih tua dan memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Bos mengusulkan Pastor Liberatus Cluts untuk dikirim ke Borneo. Untuk menemani Pastor Liberatus, Bos mengutus Pastor Camillus yang memiliki pengalaman hidup di Borneo. Camillus saat itu melaksanakan karya misi di Sejiram.

Ide Prefek Bos ditanggapi pimpinan kapusin di Belanda. Pada 28 November 1906, gelombang kedua misionaris kapusin tiba di Singkawang. Mereka terdiri atas Pastor Liberatus, Pastor Gonzalvus, Pastor Marcellus, Pastor Marius. Mereka ditemani  Bruder Leopold dan Buder Ivo. Prefek Bos memilih Liberatus sebagai pemimpin misi di Borneo bagian timur.

Posisi Pastor Camillus di Sejiram diganti oleh saudara kandungnya, Pastor Gonzalvus ditambah dengan Bruder Ivo. Bruder Ivo bukan ahli tukang tetapi dengan kecakapan dan tangan yang cekatan bisa membantu Gonzalvus. Prefek Bos menugaskan Pastor Liberatus mencari keterangan pada pegawai-pegawai pemerintah mengenai daerah Mahakam-Hulu, yang saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Kutai. Pastor Liberatus langsung mencari informasi tentang Borneo bagin timur. Ia menerima informasi dari Tuan Driest, Asisten Residen Samarinda dan Letnan Gramber yang bertugas sebagai Kontrolir di Long Iram.

Baca Ini: Prefek Bos Kepada Orang Dayak: Saya akan Mengunjungi Kalian!

Pada 22 Maret 1907, tiga misionaris untuk Long Iram berangkat dari Singkawang. Mereka berangkat menggunakan kapal menuju Batavia. Setelah berjumpa dengan komunitas SJ di Batavia, mereka masuk kapal coaster ke Surabaya. Pada 24 April 1907, mereka sampai ke Samarin­da, di bagian hilir sungai Mahakam. Sungai itu paling besar di bagian Borneo Timur dengan penduduk yang padat menempati pinggir sungai.

Ketika sampai di Samarinda, mereka masih berunding dengan pihak pemerintah untuk menentukan tempat misi. Para misionaris yang bersemangat itu, berpikir untuk menetapkan pangkalan misi di daerah Hulu Riam, hanya biaya transportasi sangat mahal. Akhirnya diputuskan untuk sementara menetap di Long Iram.

Dengan kapal milik pemerintah, mereka mudik Sungai Mahakam. Letnan Gramberg mengantarkan misionaris tersebut. Setelah tiga hari, mereka tiba di Long Iram. Pastor Camillus masih tinggal di Samar­inda untuk mengunjungi orang-orang Katolik. Ia akan berangkat ke Long Iram secepat mungkin.

Beberapa bulan kemudian, timbul keinginan untuk mening­galkan Long Iram. Tidak ada orang Dayak di Long Iram. Hanya ada orang Banjar, Bugis, beberapa keluarga Tionghoa, dan aparat militer dengan barak yang cukup besar. Mereka berpen­dapat, Long Iram bukanlah pangkalan kerja yang tepat. Orang Dayak hidup di hulu-hulu sungai dan riam.

Penulis: Br. Kris Tampajara MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Melirik Pemangkat, Pastor Camillus Naik Perahu Tujuh Jam dari Singkawang

Selengkapnya