Mungkin karena ketokohannya suara ayah yang badannya gemuk selalu berkopiah hitam sering didengar orang. Soal apapun. Termasuk soal pengumpulan dan penyaluran zakat dari setiap muslim di bulan Ramadan. Kapan waktu boleh menerima zakat, kapan pula menyalurkannya. Siapa saja mereka yang berhak menerima ayah telah memegang data. Dari delapan asnaf (golongan) penerima zakat (mustahik) hanya lima yang ada yaitu kaum fakir, miskin, amil, fi sabilillah (pejuang di jalan Allah), dan mualaf (orang yang baru memeluk Islam).
Tiga yang lain yaitu gharim (orang yang berutang dan tak sanggup melunasinya), riqab (hamba sahaya) dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan) tak ada. Ayah bicara menyampaikan semuanya dalam rapat pengurus masjid di malam ketiga Ramadan usai salat tarawih. Semua mengangguk setuju. Tak ada seorang pun di masjid itu yang membantah. Omongan ayah benar.
Selama
bulan Ramadan waktu ayah banyak di masjid. Pun di malam lebaran. Ayah memimpin
langsung penyaluran zakat ke siapa saja orang-orang yang berhak menerima. Ayah
tahu benar berapa jumlah masing-masing asnaf, siapa mereka, rumahnya di
mana. Soal itu, tak masalah. Selesai!
***
Lebaran
telah lewat sepekan. Masih ada yang bertamu ke rumah ayah. Kemarin, tamu
terakhir yang datang pukul tujuh malam adalah Bang Asnawi. Ia pengurus masjid
juga. Kalau aku tak salah, posisinya di seksi dakwah biasa menyusun
jadwal petugas khutbah Jumat dan mengundang penceramah dari luar Tanjung Nipah
bila tiba hari-hari besar Islam seperti maulid, isra miraj dan nuzulul quran.
Bang
Asnawi lama bicara dengan ayah sambil ngemil kue lebaran dalam stoples-stoples
yang disusun umak di atas meja tamu. Habis sudah sirup merek terkenal yang
iklannya biasa muncul di televisi jelang Ramadan, emak suguhi saja Bang Asnawi
dengan teh hangat biasa dan air putih dalam kemasan gelas kecil. Bang Asnawi
benar-benar asyik ngobrol dengan ayah, hampir dua jam. Sebelum pamit
pulang ia mengangkut dua karung beras dari sepeda motornya dibawa masuk ke
rumah.
Bang
Asnawi pulang, umak menghampiri ayah di bilik tamu, bertanya soal dua karung
beras itu dari mana asalnya, untuk siapa? Ayah cepat mendekatkan jari telunjuk
ke bibir: sstttt...! Katanya, beras seratus kilogram itu untuk kita sisa
zakat fitrah yang tak disalurkan, sengaja tak diberikan kepada yang berhak
menerima karena di malam lebaran mereka tak ada di Tanjung Nipah padahal malam
lebaran sampai esok pagi sebelum khatib naik mimbar dalam salat Idulfitri
adalah waktu terakhir panitia menerima zakat dari setiap muslim sebagai muzakki
dan langsung menyalurkannya kepada si
penerima zakat atau mustahik.
Jika
zakat fitrah dibayarkan sesudah khatib naik mimbar namanya jadi sedekah biasa.
Sudahlah! Mereka tak ada, kita saja yang memakannya. Lumayan untuk persediaan
beras satu atau dua bulan.
Umak
geleng-geleng kepala, tak terima kata-kata ayah. Umak seketika menyuruhku
mencari Bang Asnawi tamu terakhir tadi, panggil dia segera datang. Bawa kembali
dua karung beras ini. Umak tak mau menyimpan, apa lagi memakannya. Maaf,
jika hanya seratus kilo beras umak masih mampu membeli, tak perlu dapat dengan
cara begini.
Kubuka
ponsel menghubungi nomor Bang Asnawi, tak aktif. Berkali-kali kuhubungi pun tak
aktif. Aku tak tahu mungkin Bang Asnawi telah ganti nomor baru. Ayah
mendekatiku dan mengancam jika aku berani menghubungi Bang Asnawi apa lagi
sampai membawa dua karung beras itu keluar dari rumah; awas! Ah, ayah
benar-benar marah! Umak mendesak aku cepat-cepat mencari Bang Asnawi tetapi
ayah justeru melarangku begitu. Keduanya sempat beradu mulut lalu diam tak
saling bicara.
Jelang
tengah malam, aku pastikan tak bisa menghubungi Bang Asnawi. Kuputuskan
sudahlah. Besok pagi saja diam-diam aku ke rumahnya di Dusun Tengah
Tanjung Nipah. Be-Honda tujuh menit, sampai dah. Ya, begitu sajalah!
Aku
hendak menutup pintu rumah ketika tetangga sebelah, namanya Damsir lebih muda
hampir lima tahun dari umurku jalan tiga puluh satu datang mendekat. O, ternyata
bukan Bang Asnawi tamu terakhir di rumah ayah, melainkan Damsir yang bilang
terus terang sedang kehabisan uang.
Mau
pinjam tiga ratus ribu. Duh, aku tak pegang uang sampai segitu. Damsir memohon,
tolonglah. Berapa saja adanya. Kubuka dompet dari saku jeans. Kutunjukkan
kepadanya uang seratus tujuh belas ribu rupiah. Damsir diam. Uang yang
dibutuhkan tentu masih kurang.
Aku masuk
rumah. Ayah dan umak tidur dah. Bilik senyap. Hhmm.. Dalam keadaan bertengkar
ayah dan umak masih bisa tidur dalam satu bilik. Jika ayah atau umak belum
tidur mungkin bisa bantu pinjamkan Damsir uang.
Aku ke
bilik tamu. Terlihatlah di situ dua karung beras belum sempat berpindah tempat.
Tanpa pikir panjang kusuruh Damsir membawa dua karung beras itu. Jual sajalah!
Uangnya, silakan dipakai. Damsir bertanya, ini seriuskah? Ya, kataku. Damsir
girang. Ia berucap syukur alhamdulillah. Ia bertanya gimana cara mengembalikan
uangnya, berapa lama. Kujawab saja: jangan pikirkan! Itu tanggung jawabku.
Damsir berucap terima kasih. Berkali-kali begitu. Ia memelukku. Katanya Bang
Adhe baik sekali. Ya, ya. Alhamdulillah, kataku. Damsir pulang aku masuk rumah.
Kubayangkan gimana
esok ayah marah beras dua karung itu tak ada lagi di tempatnya. Ah, janganlah.
Aku tak mau membayangkan hal begitu.
Baiknya khusnudzon saja, berbaik sangka. Bukanlah Allah menuruti
prasangka hamba-Nya? Ya, aku yakin ayah tak berkomentar apa-apa jika tahu dua
karung beras itu telah lenyap tanpa sepengetahuannya. Tak marah. Ia pun pasti
tak mau dibilang jadi seorang amil atau panitia pengumpul dan penyalur zakat
yang curang.
Penulis:
E. Widiantoro