Tamu Terakhir

August 06, 2022
Last Updated


Lebaran telah lewat sepekan. Masih ada saja yang bertamu ke rumah ayah. Mungkin karena beliau seorang tokoh di Tanjung Nipah.  Pengurus masjid. Ketua unit pengumpul zakat dan lain-lain lagi organisasi. Ayah benar-benar orang yang terpandang. 

Mungkin karena ketokohannya suara ayah yang badannya gemuk selalu berkopiah hitam sering didengar orang. Soal apapun. Termasuk soal pengumpulan dan penyaluran zakat dari setiap muslim di bulan Ramadan. Kapan waktu boleh menerima zakat, kapan pula menyalurkannya. Siapa saja mereka yang berhak menerima ayah telah memegang data. Dari delapan asnaf (golongan) penerima zakat (mustahik) hanya lima yang ada yaitu kaum fakir, miskin, amil, fi sabilillah (pejuang di jalan Allah), dan mualaf (orang yang baru memeluk Islam).


Tiga yang lain yaitu gharim (orang yang berutang dan tak sanggup melunasinya), riqab (hamba sahaya) dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan) tak ada.  Ayah bicara menyampaikan semuanya dalam rapat pengurus masjid di malam ketiga Ramadan usai salat tarawih. Semua mengangguk setuju. Tak ada seorang pun di masjid itu yang membantah. Omongan ayah benar. 

 

Selama bulan Ramadan waktu ayah banyak di masjid. Pun di malam lebaran. Ayah memimpin langsung penyaluran zakat ke siapa saja orang-orang yang berhak menerima. Ayah tahu benar berapa jumlah masing-masing asnaf, siapa mereka, rumahnya di mana. Soal itu, tak masalah. Selesai!

 

***

 


Lebaran telah lewat sepekan. Masih ada yang bertamu ke rumah ayah. Kemarin, tamu terakhir yang datang pukul tujuh malam adalah Bang Asnawi. Ia pengurus masjid juga. Kalau aku tak salah, posisinya di seksi dakwah biasa menyusun  jadwal petugas khutbah Jumat dan mengundang penceramah dari luar Tanjung Nipah bila tiba hari-hari besar Islam seperti maulid, isra miraj dan nuzulul quran.

 

Bang Asnawi lama bicara dengan ayah sambil ngemil kue lebaran dalam stoples-stoples yang disusun umak di atas meja tamu. Habis sudah sirup merek terkenal yang iklannya biasa muncul di televisi jelang Ramadan, emak suguhi saja Bang Asnawi dengan teh hangat biasa dan air putih dalam kemasan gelas kecil. Bang Asnawi benar-benar asyik ngobrol dengan ayah, hampir dua jam. Sebelum  pamit pulang ia mengangkut dua karung beras dari sepeda motornya dibawa masuk ke rumah. 

 

Bang Asnawi pulang, umak menghampiri ayah di bilik tamu, bertanya soal dua karung beras itu dari mana asalnya, untuk siapa? Ayah cepat mendekatkan jari telunjuk ke bibir: sstttt...! Katanya, beras seratus kilogram itu untuk kita sisa zakat fitrah yang tak disalurkan, sengaja tak diberikan kepada yang berhak menerima karena di malam lebaran mereka tak ada di Tanjung Nipah padahal malam lebaran sampai esok pagi sebelum khatib naik mimbar dalam salat Idulfitri adalah waktu terakhir panitia menerima zakat dari setiap muslim sebagai muzakki dan langsung  menyalurkannya kepada si penerima zakat atau mustahik

 

Jika zakat fitrah dibayarkan sesudah khatib naik mimbar namanya jadi sedekah biasa. Sudahlah! Mereka tak ada, kita saja yang memakannya. Lumayan untuk persediaan beras satu atau dua bulan. 

 

Umak geleng-geleng kepala, tak terima kata-kata ayah. Umak seketika menyuruhku mencari Bang Asnawi tamu terakhir tadi, panggil dia segera datang. Bawa kembali dua karung beras ini. Umak tak mau menyimpan, apa lagi  memakannya. Maaf, jika hanya seratus kilo beras umak masih mampu membeli, tak perlu dapat dengan cara begini.

 

Kubuka ponsel menghubungi nomor Bang Asnawi, tak aktif. Berkali-kali kuhubungi pun tak aktif. Aku tak tahu mungkin Bang Asnawi telah ganti nomor baru. Ayah mendekatiku dan mengancam jika aku berani menghubungi Bang Asnawi apa lagi sampai membawa dua karung beras itu keluar dari rumah; awas! Ah, ayah benar-benar marah! Umak mendesak aku cepat-cepat mencari Bang Asnawi tetapi ayah justeru melarangku begitu. Keduanya sempat beradu mulut lalu diam tak saling bicara.

 

Jelang tengah malam, aku pastikan tak bisa menghubungi Bang Asnawi. Kuputuskan sudahlah. Besok pagi  saja diam-diam aku ke rumahnya di Dusun Tengah Tanjung Nipah. Be-Honda tujuh menit, sampai dah. Ya, begitu sajalah!

 

Aku hendak menutup pintu rumah ketika tetangga sebelah, namanya Damsir lebih muda hampir lima tahun dari umurku jalan tiga puluh satu datang mendekat. O, ternyata bukan Bang Asnawi tamu terakhir di rumah ayah, melainkan Damsir yang bilang terus terang sedang kehabisan uang. 

 

Mau pinjam tiga ratus ribu. Duh, aku tak pegang uang sampai segitu. Damsir memohon, tolonglah. Berapa saja adanya. Kubuka dompet dari saku jeans. Kutunjukkan kepadanya uang seratus tujuh belas ribu rupiah. Damsir diam. Uang yang dibutuhkan tentu masih kurang.

 

Aku masuk rumah. Ayah dan umak tidur dah. Bilik senyap. Hhmm.. Dalam keadaan bertengkar ayah dan umak masih bisa tidur dalam satu bilik. Jika ayah atau umak belum tidur mungkin bisa bantu pinjamkan Damsir uang.

 

Aku ke bilik tamu. Terlihatlah di situ dua karung beras belum sempat berpindah tempat. Tanpa pikir panjang kusuruh Damsir membawa dua karung beras itu. Jual sajalah! Uangnya, silakan dipakai. Damsir bertanya, ini seriuskah? Ya, kataku. Damsir girang. Ia berucap syukur alhamdulillah. Ia bertanya gimana cara mengembalikan uangnya, berapa lama. Kujawab saja: jangan pikirkan! Itu tanggung jawabku. Damsir berucap terima kasih. Berkali-kali begitu. Ia memelukku. Katanya Bang Adhe baik sekali. Ya, ya. Alhamdulillah, kataku. Damsir pulang aku masuk rumah.

 

Kubayangkan gimana esok ayah marah beras dua karung itu tak ada lagi di tempatnya. Ah, janganlah. Aku tak mau membayangkan hal begitu.  Baiknya khusnudzon saja, berbaik sangka. Bukanlah Allah menuruti prasangka hamba-Nya? Ya, aku yakin ayah tak berkomentar apa-apa jika tahu dua karung beras itu telah lenyap tanpa sepengetahuannya. Tak marah. Ia pun pasti tak mau dibilang jadi seorang amil atau panitia pengumpul dan penyalur zakat yang curang. 

 

Penulis: E. Widiantoro

Selengkapnya