Setiap mulai lewat pukul tiga sore, langit senantiasa menggelap beberapa pekan ini. Aku yang biasanya masih sibuk dengan tanaman hias, sejenak menegadah.
Awan hitam berarak
seperti burung gagak. Menyisihkan gumpalan putih yang kian tak tampak.
Pohon-pohon bambuku mulai bergerak-gerak. Tenaga angin membuat mereka
meliuk-liuk, sambil menggugurkan helai-helai daun yang telah mengering.
Pot-pot tanaman
sudah kutata supaya aman di bawah paranet. Mungkin akan turun hujan sebentar
lagi. Jadi seperti biasa, aku duduk di dingklik kecil, menghadap jejeran pot,
sambil meneguk sisa kopi yang tak hangat lagi.
Deru sepeda motor
seketika terdengar susul menyusul. Biasa, ibu-ibu kompleks menggesa waktu,
menjemput anak dari les. Atau mungkin khawatir jemuran di rumah telat diangkat.
Titik-titik air memang mulai turun.
Aku menikmati
percikannya. Sambil kembali menatap angkasa. Beberapa burung seperti
kocar-kacir mencari dahan peneduh. Suara emak-emak sesekali terdengar berteriak
dengan satu kata: “pulaaang!”. Teriakan yang disambut wajah kecewa si buah hati
mungil yang sepertinya ingin bermain hujan.
“Woi, pulang ndak!
Mau ini?” cempreng suara sesosok perempuan berdaster membawa lidi yang
diacungkan ke bocah kecilnya yang tak kunjung kembali ke rumah.
“Emak kunci pintu
ya biar kau ndak bisa masuk!” ancam perempuan lain dari teras. Tak tampak
wajahnya, terhalang tembok yang dibingkai besi hollo silver.
Ritme harian yang
seperti siaran ulang seperti ini mengisi hari-hariku beberapa pekan ini.
Sebagai lelaki yang belum menikah, aku mulai bisa mencoba merasakan jika kelak
aku punya anak. Jika kelak anakku degil seperti anak-anak tetangga ini.
Tapi, aku mungkin
akan beda. Mungkin anak-anakku akan kuijinkan bermain sesuka hati di bawah
guyuran hujan. Aku akan menantinya sampai puas. Kemudian memandikannya dengan
air hangat.
Seketika hayalan
itu buyar oleh teriakan seorang lagi tetangga. Kali ini lengkap dengan
dentangan tiang listik yang dipukul dengan sapu.
“Sekali ini ibu
ndak main-main. Kamu ibu pukul pakai sapu ini. Dengar ndak?”
Reflek senyumku
tersungging melihat sang bocah lari terburu-buru dengan tubuh separuh basah.
Teman-temannya terlihat agak gentar dan memilih kabur. Si bocah berlari agak
takut-takut menuju pintu pagar yang masih terbuka seukuran tubuhnya. Sang ibu
berpayung sudah menanti di sana, dengan tangkai sapu yang diayun-ayunkan.
Dari sela pagar,
aku menyaksikan adegan itu. Horor, mungkin, dalam benak si bocah malang.
Aku berharap si
ibu tidak benar-benar memukul bocah kecilnya yang seketika seperti kehilangan
kebahagiaan. Bukankah bermain di bawah hujan menjadi hiburan tiada tanding?
Bermain kejar-kejaran dengan teman, saling memercik air hujan, atau
mendongakkan wajah ke langit sambil membuka mulut menadah air hujan?
Sekelebat sinar
tertangkap sudut mata. Ugh, biasanya disusul suara petir menggelegar. Jika
orang kebanyakan refleks menutup telinga, aku sebaliknya. Sangat menikmati
dentuman itu. Dan benar. Tak lama berselang, dentuman itu menggegelar. Segera
disusul terputusnya suplai listrik.
Airator di kolam
mungilku seketika berhenti bekerja. Tapi curah hujan yang kian deras tak kalah
indah menggantikan cipratan buatan di kolam.
Suara-suara yang
begitu enak di telinga. Atap seng metal yang seperti derap kuda pacu. Ember
terbalik yang memunculkan suara seperti gendang yang ditabuh teratur. Juga
gesekan pohon bambu yang sesekali membuat gigi ngilu.
“Mengapa kamu
tidak berteduh?” suara dari masa lalu menyelinap dalam ingatan.
Julia, berdiri
mematung sekitar dua meter dari tempat aku menduduki batu sungai. Dia memegang
payung hitam, mengenakan hoddie dengan warna senada.
Aku tidak
menjawab. Hujan terus mengguyur, dan pakaianku sudah basah semua. Sambil duduk
membelakangi Julia, aku menyusun beberapa batu sungai untuk kubawa pulang.
Banyak bahan bonsai di rumah yang memerlukan batu itu untuk memperindah
tampilannya.
Kala itu, mungkin
setahun sudah lewat, kami bertengkar. Ya, datang ke tempat itu hanya untuk
bertengkar. Sungai yang biasa menjadi lokasi pemancingan, dan sesekali aku
berburu anakan pohon beringin untuk bahan bonsai.
“Jadi, kamu sudah
tak mau mendengarkanku. Oke,” Julia menyerah.
Aku pura-pura
menoleh ke samping, agar sudut mataku bisa melihat sosoknya yang perlahan mulai
menjauh. Sejak sebelum berangkat tadi, aku sudah mempersiapkan hati untuk kejadian
ini. Apapun yang terjadi!
Suara pintu mobil
yang ditutup agak keras, menyeruak di sela suara hujan. Biarkan saja, bathinku.
Pasti Julia menutup pintu mobilnya dengan emosi. Barangkali, berharap aku
sejenak menoleh. Tapi itu tak kulakukan.
Meski telapak
tanganku mulai kehilangan rasa karena dingin, tetap saja batu-batu yang sudah
kupilih, kutata di dalam tas kain. Deru mobil terdengar menjauh. Ya, Julia
benar-benar telah meninggalkanku di sini.
Gelegar petir membuyarkan
kenangan itu. Suara seperti gendang dari ember terbalik kembali setelah hilang
karena kenangan tadi. Tubuhku terasa sejuk. Daun-daun bonsai kelapa seperti
melambai-lambai tertimpa air hujan.
Julia, apakah di
rumahnya juga sedang turun hujan seperti ini? Ingatkah dia akan perjumpaan
terakhir kami di sungai yang juga dengan hujan sederas ini? Atau mungkin dia
masih berada di kantornya? Dan suaminya menjemput, kemudian mereka makan malam
di resto Korea kesukaannya?
Enam bulan lalu,
mereka menikah. Enam bulan setelah perjumpaan terakhir denganku. Pertengkaran
di pinggir sungai itu hanya puncak dari semakin renggangnya hubungan kami.
Orang kebanyakan
pasti menudingku salah. Aku memacari Julia, ketika dia juga sudah punya pacar.
Di awal, dia sudah berterus-terang, aku menjadi orang kedua.
“Suatu saat kamu
akan kecewa dengan hubungan ini,” ucapnya kala itu.
“Kekecewaan sudah
menjadi ritme hidupku. Aku sangat menikmati kekecewaan,” jawabku.
Kami bertemu
sembunyi-sembunyi di sebuah resto kecil di sudut kota. Resto ala Korea,
kesukaan Julia.
“Jadi, kalaupun
kamu akan menikah dengan lelaki itu, menikahlah. Kalian sudah mapan. Tunggu apa
lagi?”
Julia terlihat
kurang senang dengan perkataanku. Dia menatapku tajam. Mengunyah perlahan
dengan ogah-ogahan.
“Kenapa kamu
seperti tak punya daya juang?”
“Daya juang apa?
Berjuang merebut kamu?”
“Whatever! Dengan menerima kamu di
hatiku, bukankan kamu tahu, aku sedang mempertimbangkan keputusan besar yang
pada saatnya harus aku buat?”
“Kamu senang
memperumit masalah.”
“O, menurutmu
gitu?”
“Kan aku sudah
katakan, menikahlah dengan dia jika kamu merasa sudah waktunya.”
“Belum tentu juga
dia pilihanku.”
“Kok?”
“Karena aku masih
mempertimbangkan kamu.”
“Mengapa?”
“Aku tidak tahu.
Aku merasa lebih senang berada di dekatmu.”
“Itu hanya
perasaanmu saja.”
“So?”
Selalu dan selalu
itu yang menjadi bahan obrolan kami, jika pertemuan sembunyi-sembunyi yang
memacu adrenalin terjadi. Sesekali, jika kantorku libur, dan Julia bisa
mengatur jadwal, kami bertemu di kota lain. Sedikit lebih leluasa di sana. Bisa
seperti layaknya orang pacaran. Berjalan berdua, bercanda lepas, meski tetap
waswas.
Setahun telah
berlalu. Tanpa kontak sekalipun. Juga terputus koneksi di media sosial.
Sebenarnya aku hanya ingin menyapa. Sekali ini saja. Menanyakan, apakah di
tempatnya sedang hujan. Dan jika sedang hujan, apa yang terlintas dalam
kenangannya?
Hujan seperti ini
selalu mengingatkan aku akan Julia. Apakah dia juga selalu mengingatku jika
percikan air jatuh ke bumi memecah di aspal jalanan? Atau nada serupa tetabuhan
riuh di atap? Membayangkan mati rasa telapak tangan atau kaki karena terendam
air hujan di pinggiran sungai?
Hari mulai gelap.
Listrik sudah menyala kembali. Aku beranjak mencari gadgetku. Memilih fitur hijau
bulat. Hawa hujan meniupkan kembali adrenalin yang sempat mati suri setahun.
Hanz E. Pramana – Buku Antologi Cerpen Dentang Lonceng Angelus, 2022