Adrenalin Hujan

September 17, 2022
Last Updated


Setiap mulai lewat pukul tiga sore, langit senantiasa menggelap beberapa pekan ini. Aku yang biasanya masih sibuk dengan tanaman hias, sejenak menegadah.

Awan hitam berarak seperti burung gagak. Menyisihkan gumpalan putih yang kian tak tampak. Pohon-pohon bambuku mulai bergerak-gerak. Tenaga angin membuat mereka meliuk-liuk, sambil menggugurkan helai-helai daun yang telah mengering.

Pot-pot tanaman sudah kutata supaya aman di bawah paranet. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Jadi seperti biasa, aku duduk di dingklik kecil, menghadap jejeran pot, sambil meneguk sisa kopi yang tak hangat lagi.

Deru sepeda motor seketika terdengar susul menyusul. Biasa, ibu-ibu kompleks menggesa waktu, menjemput anak dari les. Atau mungkin khawatir jemuran di rumah telat diangkat. Titik-titik air memang mulai turun.

Aku menikmati percikannya. Sambil kembali menatap angkasa. Beberapa burung seperti kocar-kacir mencari dahan peneduh. Suara emak-emak sesekali terdengar berteriak dengan satu kata: “pulaaang!”. Teriakan yang disambut wajah kecewa si buah hati mungil yang sepertinya ingin bermain hujan.

“Woi, pulang ndak! Mau ini?” cempreng suara sesosok perempuan berdaster membawa lidi yang diacungkan ke bocah kecilnya yang tak kunjung kembali ke rumah.

“Emak kunci pintu ya biar kau ndak bisa masuk!” ancam perempuan lain dari teras. Tak tampak wajahnya, terhalang tembok yang dibingkai besi hollo silver.

Ritme harian yang seperti siaran ulang seperti ini mengisi hari-hariku beberapa pekan ini. Sebagai lelaki yang belum menikah, aku mulai bisa mencoba merasakan jika kelak aku punya anak. Jika kelak anakku degil seperti anak-anak tetangga ini.

Tapi, aku mungkin akan beda. Mungkin anak-anakku akan kuijinkan bermain sesuka hati di bawah guyuran hujan. Aku akan menantinya sampai puas. Kemudian memandikannya dengan air hangat.

Seketika hayalan itu buyar oleh teriakan seorang lagi tetangga. Kali ini lengkap dengan dentangan tiang listik yang dipukul dengan sapu.

“Sekali ini ibu ndak main-main. Kamu ibu pukul pakai sapu ini. Dengar ndak?”

Reflek senyumku tersungging melihat sang bocah lari terburu-buru dengan tubuh separuh basah. Teman-temannya terlihat agak gentar dan memilih kabur. Si bocah berlari agak takut-takut menuju pintu pagar yang masih terbuka seukuran tubuhnya. Sang ibu berpayung sudah menanti di sana, dengan tangkai sapu yang diayun-ayunkan.

Dari sela pagar, aku menyaksikan adegan itu. Horor, mungkin, dalam benak si bocah malang.

Aku berharap si ibu tidak benar-benar memukul bocah kecilnya yang seketika seperti kehilangan kebahagiaan. Bukankah bermain di bawah hujan menjadi hiburan tiada tanding? Bermain kejar-kejaran dengan teman, saling memercik air hujan, atau mendongakkan wajah ke langit sambil membuka mulut menadah air hujan?

Sekelebat sinar tertangkap sudut mata. Ugh, biasanya disusul suara petir menggelegar. Jika orang kebanyakan refleks menutup telinga, aku sebaliknya. Sangat menikmati dentuman itu. Dan benar. Tak lama berselang, dentuman itu menggegelar. Segera disusul terputusnya suplai listrik.

Airator di kolam mungilku seketika berhenti bekerja. Tapi curah hujan yang kian deras tak kalah indah menggantikan cipratan buatan di kolam.

Suara-suara yang begitu enak di telinga. Atap seng metal yang seperti derap kuda pacu. Ember terbalik yang memunculkan suara seperti gendang yang ditabuh teratur. Juga gesekan pohon bambu yang sesekali membuat gigi ngilu.

“Mengapa kamu tidak berteduh?” suara dari masa lalu menyelinap dalam ingatan.

Julia, berdiri mematung sekitar dua meter dari tempat aku menduduki batu sungai. Dia memegang payung hitam, mengenakan hoddie dengan warna senada.

Aku tidak menjawab. Hujan terus mengguyur, dan pakaianku sudah basah semua. Sambil duduk membelakangi Julia, aku menyusun beberapa batu sungai untuk kubawa pulang. Banyak bahan bonsai di rumah yang memerlukan batu itu untuk memperindah tampilannya.

Kala itu, mungkin setahun sudah lewat, kami bertengkar. Ya, datang ke tempat itu hanya untuk bertengkar. Sungai yang biasa menjadi lokasi pemancingan, dan sesekali aku berburu anakan pohon beringin untuk bahan bonsai.

“Jadi, kamu sudah tak mau mendengarkanku. Oke,” Julia menyerah.

Aku pura-pura menoleh ke samping, agar sudut mataku bisa melihat sosoknya yang perlahan mulai menjauh. Sejak sebelum berangkat tadi, aku sudah mempersiapkan hati untuk kejadian ini. Apapun yang terjadi!

Suara pintu mobil yang ditutup agak keras, menyeruak di sela suara hujan. Biarkan saja, bathinku. Pasti Julia menutup pintu mobilnya dengan emosi. Barangkali, berharap aku sejenak menoleh. Tapi itu tak kulakukan.

Meski telapak tanganku mulai kehilangan rasa karena dingin, tetap saja batu-batu yang sudah kupilih, kutata di dalam tas kain. Deru mobil terdengar menjauh. Ya, Julia benar-benar telah meninggalkanku di sini.

Gelegar petir membuyarkan kenangan itu. Suara seperti gendang dari ember terbalik kembali setelah hilang karena kenangan tadi. Tubuhku terasa sejuk. Daun-daun bonsai kelapa seperti melambai-lambai tertimpa air hujan.

Julia, apakah di rumahnya juga sedang turun hujan seperti ini? Ingatkah dia akan perjumpaan terakhir kami di sungai yang juga dengan hujan sederas ini? Atau mungkin dia masih berada di kantornya? Dan suaminya menjemput, kemudian mereka makan malam di resto Korea kesukaannya?

Enam bulan lalu, mereka menikah. Enam bulan setelah perjumpaan terakhir denganku. Pertengkaran di pinggir sungai itu hanya puncak dari semakin renggangnya hubungan kami.

Orang kebanyakan pasti menudingku salah. Aku memacari Julia, ketika dia juga sudah punya pacar. Di awal, dia sudah berterus-terang, aku menjadi orang kedua.

“Suatu saat kamu akan kecewa dengan hubungan ini,” ucapnya kala itu.

“Kekecewaan sudah menjadi ritme hidupku. Aku sangat menikmati kekecewaan,” jawabku.

Kami bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah resto kecil di sudut kota. Resto ala Korea, kesukaan Julia.

“Jadi, kalaupun kamu akan menikah dengan lelaki itu, menikahlah. Kalian sudah mapan. Tunggu apa lagi?”

Julia terlihat kurang senang dengan perkataanku. Dia menatapku tajam. Mengunyah perlahan dengan ogah-ogahan.

“Kenapa kamu seperti tak punya daya juang?”

“Daya juang apa? Berjuang merebut kamu?”

Whatever! Dengan menerima kamu di hatiku, bukankan kamu tahu, aku sedang mempertimbangkan keputusan besar yang pada saatnya harus aku buat?”

“Kamu senang memperumit masalah.”

“O, menurutmu gitu?”

“Kan aku sudah katakan, menikahlah dengan dia jika kamu merasa sudah waktunya.”

“Belum tentu juga dia pilihanku.”

“Kok?”

“Karena aku masih mempertimbangkan kamu.”

“Mengapa?”

“Aku tidak tahu. Aku merasa lebih senang berada di dekatmu.”

“Itu hanya perasaanmu saja.”

“So?”

Selalu dan selalu itu yang menjadi bahan obrolan kami, jika pertemuan sembunyi-sembunyi yang memacu adrenalin terjadi. Sesekali, jika kantorku libur, dan Julia bisa mengatur jadwal, kami bertemu di kota lain. Sedikit lebih leluasa di sana. Bisa seperti layaknya orang pacaran. Berjalan berdua, bercanda lepas, meski tetap waswas.

Setahun telah berlalu. Tanpa kontak sekalipun. Juga terputus koneksi di media sosial. Sebenarnya aku hanya ingin menyapa. Sekali ini saja. Menanyakan, apakah di tempatnya sedang hujan. Dan jika sedang hujan, apa yang terlintas dalam kenangannya?

Hujan seperti ini selalu mengingatkan aku akan Julia. Apakah dia juga selalu mengingatku jika percikan air jatuh ke bumi memecah di aspal jalanan? Atau nada serupa tetabuhan riuh di atap? Membayangkan mati rasa telapak tangan atau kaki karena terendam air hujan di pinggiran sungai?

Hari mulai gelap. Listrik sudah menyala kembali. Aku beranjak mencari gadgetku. Memilih fitur hijau bulat. Hawa hujan meniupkan kembali adrenalin yang sempat mati suri setahun.

 

Hanz E. PramanaBuku Antologi Cerpen Dentang Lonceng Angelus, 2022

Selengkapnya