Azan Subuh Telah Lewat Satu Setengah Jam

September 10, 2022
Last Updated


Farida tuh pembantu. Bahasa kerennya, asisten rumah tangga. Kerjanya ya, gitu. Bantu-bantu kerja. Memasak. Bersih-bersih. Tempatnya, di rumah Pak Karib, juragan sapi terkenal di Tanjung Nipah yang tinggal bersama Bu Sumi sang istri, Arbi dan adiknya Adri kelas dua SMA.

Farida punya jadwal kerja sendiri. Senin sampe Jumat masuk pukul enam pagi, pulang pukul enam sore. Minggu dan tanggal merah, libur. Sejak lulus SMA Farida tak melanjutkan kuliah, memilih bekerja di rumah Pak Karib. Malam, ia pulang ke rumah sendiri, jaraknya dari rumah Pak Karib kira-kira  sebelas menit jalan kaki.

Dua tahun bekerja, Farida tak menduga akan mengalami nasib buruk. Bermula dari keadaan rumah Pak Karib yang sepi tempo hari. Farida sedang mengiris bawang di dapur hendak menggoreng telur dadar untuk sarapan ketika tiba-tiba  dirangkul Arbi dari belakang. Entah dari mana sulung si tuan rumah itu datang. Farida tak bisa apa-apa. Sebilah pisau tajam di tangan Arbi siap menembus jantungnya  jika  berteriak dan meronta. Arbi lalu menyeret Farida ke kamarnya. Farida ketakutan.  Menolak. Memohon. Jangan! Arbi tak peduli. Lalu, dalam kamar itu sepuas hati ia melampiaskan hasrat, merenggut paksa sesuatu yang berharga milik Farida. Habis! Pagi itu Farida hanya bisa menangis.

Peristiwa itu sungguh keji! Membayangkannya pun  Farida tak sudi. Peristiwa yang telah menumbuhkan benih di rahimnya, kelak menjadi jabang bayi. Farida hamil.

Diam-diam, ketika rumah Pak Karib sepi, Farida menyampaikan perihal kehamilannya kepada Arbi,  berharap lelaki pengangguran itu mau bertanggungjawab menikahinya meski sebentar, sekadar si bayi  punya bapak. Jika kemudian Arbi ingin secepatnya bercerai pun tak apa-apa. Maklum, nikah tanpa dasar. Tak ada cinta. Tak dijodohkan pula. Ternyata tidak. Lelaki umur dua puluh tiga itu berlagak tak mengenali Farida, apalagi mendengar ucapannya. Seakan di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa.

Sikap Arbi begitu, hati Farida sungguh pilu. Sakit hati. Kecewa. Ingin benar ia menaburi racun tikus pada jus buah yang biasa diminum Arbi pagi-pagi sampai lelaki itu mengerang kesakitan lalu mati pelan-pelan. Farida akan leluasa merobek dada Arbi, mengiris hatinya begitu rupa melampiaskan dendam. Namun Farida tak mau gegabah. Ia masih berpikir panjang. Ingat emak yang telah tua dan sakit-sakitan. Jika ia dipenjara karena dituduh membunuh dan terbukti di Pengadilan, emak bagaimana, siapa yang mengurusnya, menutupi kebutuhan sehari-hari. Bukankah selama ini Farida bekerja di rumah Pak Karib memang untuk membantu meringankan beban emak. Jadi  soal lelaki itu, biarlah! Hanya, ia tak mau memiliki bayi dari Arbi. Bayi di luar nikah.

Kelahirannya sungguh tak ia kehendaki. Memalukan. Aib!  Bayi itu harus segera dibuang. Ya, dibuang saja. Tidak dibunuh, padahal itu perkara mudah. Tindakan pembunuhan hanya menambah dosa, apa lagi terhadap makhluk mungil yang sama sekali tak tahu apa-apa.

Memasuki usia kehamilan tujuh bulan Farida yang memakai pakaian besar agar perut buncitnya tak terlalu kelihatan, meminta izin tak bekerja dengan Pak Karib. Sementara saja. Alasannya masuk akal, hendak merawat emak yang sakit. Pak Karib mengizinkannya.

Jelang subuh Farida merasakan sakit di perut, tiba waktunya hendak  melahirkan. Hatinya gelisah. Takut. Sendiri. Tak ada  bidan. Emak tidur di kamar sebelah.   Sunyi! Farida melahirkan bayi lelaki. Ia tak bahagia dengan kelahiran bayi itu. Tekadnya kuat sudah. Sang bayi harus selekasnya dibuang. Sekali lagi, dibuang!

Belum lepas ari-ari si bayi, berpindahlah tempatnya dari ranjang Farida ke dalam kardus berlapis kain selimut yang memang telah disiapkan sejak sore. Dipandanginya bayi merah itu berulangkali. Nalurinya sebagai ibu muncul seketika. Enggan berpisah dengan anak sendiri, sebenarnya. Farida menangis. Sedih! Hanya orang tua yang tak punya hati mau berbuat begini, membuang sang bayi. Farida terpaksa melakukannya. Sungguh terpaksa! Farida mengusap air mata yang basah di wajah. Susah payah ia berdiri. Tubuhnya ngilu! Tak boleh ia berdiam lama. Harus cepat melangkah keluar rumah.

Azan subuh dari Masjid Tanjung Nipah baru saja terdengar di telinga. Farida bersiap pergi. Tujuannya, kontainer tempat sampah nun di ujung kampung.

Farida tenang membawa kardus bekas kemasan mi instan dengan sebelah tangan mengendarai skuter matic. Di depan kontainer sampah warna kuning Farida berhenti tanpa mematikan mesin. Cepat ia bergerak meletakkan kardus di dalam mulut kontainer terbuka yang tak penuh sampah. Sejenak lihat kiri kanan. Segera pergi menjauh.

Di sebuah bangunan bekas kedai berdinding papan atapnya dari  daun nipah,  kira-kira lima puluh meter dari kontainer sampah, Farida berhenti lantas turun dari sepeda motor. Berdiri memandangi kontainer sampah yang sepi di bawah terang lampu jalan. Ia berdiri lama.

Baca Ini: Arina - Cerpen E. Widiantoro

Azan subuh telah lewat satu setengah jam. Hari yang gelap remang mulai benderang. Cahaya merah tembaga merona indah di langit timur. Farida tak menikmati benar pemandangan itu. Sepasang matanya tertuju pada lelaki tua bertopi lebar membawa karung dan besi pengait panjang yang ujungnya melengkung, langkahnya mendekat ke kontainer sampah. Ia melihat-lihat mulut kontainer seperti  sedang mencari sesuatu.

Beberapa detik berlalu, tangan lelaki tua itu mengangkat kardus. Sejenak membetulkan letak topi lebar yang sedikit miring, ia menoleh kiri-kanan suasana sekitar, memandangi  isi kardus di tangan. 

“Ini bayi! Ada bayi...!” teriaknya tiba-tiba. Dalam suasana sunyi teriakan itu mengejutkan orang-orang. Beberapa lelaki datang. Pun, pelan-pelan Farida yang mengenakan masker, jaket hitam, daster pendek dengan kerudung sekadar  menutup rambut mendekati mereka, berdiri di belakang. Ia berharap tak ada yang mengenalnya, ingin mendengar apa yang dibicarakan orang-orang ketika melihat bayi dibuang di tempat sampah.

“Bayinya masih hidup!” kata lelaki tua bertopi lebar  masih memegang kardus.

“Astagfirullah. Ya, Allah! Anak siapa ini. Ari-arinya masih ada,” kata lelaki di sampingnya barusan datang melihat isi kardus.

Koq bisa ya, teganya bayi  dibuang gitu aja,” kata lelaki yang lain, badannya gemuk. “Orang tuanya udah gila!”

“Bejat!” suara lelaki yang tak asing di kuping Farida. Dalam hatinya berkata, itu suara...

“Orang yang membuang bayi ini benar-benar tak punya hati, Arbi.” kata si lelaki gemuk.

“Yaaa, mereka mau enak saja tak mau anaknya. Ketika banyak pasangan suami istri ingin punya anak, mereka malah membuang anak. Mereka tak tahu bersyukur. Sungguh perbuatan terkutuk!” suara itu lagi, akrab banget di telinga Farida. “Mereka menjadi  pendosa yang dilaknat oleh Allah!”

Farida seketika merasa sesak dalam dada. Ingin ia menikam lelaki yang bicara itu, mengiris-iris hatinya  seperti ia biasa mengiris daging sapi untuk dimasak rendang. Lelaki itu sok bermoral padahal...

Hasrat Farida hendak menikam Arbi tak lagi bisa ditahan. Ada wajah emak yang kurus dan sakit tergambar jelas di benaknya lantas berganti wajah Arbi telah menyeretnya kasar masuk ke kamar. Dan ...

Entah mendapat bisikan dari mana, Farida menggelengkan kepala berteriak sekuatnya. Melepas masker dan kerudung. Bergerak cepat meraih tongkat pak tua bertopi lebar sedang menggendong bayi. Dengan tongkat itu ia memukul tengkuk Arbi berkali-kali hingga perlahan jatuh terhempas ke tanah. Farida menghunjamkan gagang tongkat yang runcing ke dada Arbi sebelah kiri. Pun berkali-kali. Tangan kanannya mengoyak dalam dada Arbi, merogoh sesuatu yang menggumpal berlumur darah merah. Sesuatu yang sekepal itu, dimasukkan dalam mulut. Dikunyah-kunyah. Dibuangnya berludah. Mulut Farida dan tangannya berlumuran darah segar, jatuh menetes mengenai wajah Arbi di atas tanah.

Farida tak henti mengunyah sesuatu yang merah itu,  membuangnya  berludah. Ia berteriak makin keras, meraung-raung seperti ada yang merasuki jiwanya. Orang-orang tak ada yang berani mendekat dan mencegah. Pandangan mata Farida berkunang-kunang. Dunia berputar hebat seratus derajat. Farida jatuh terkulai di tanah, tepat di sebelah Arbi yang telah jadi mayat, dada kirinya berlubang menganga. Di betis kanan Farida mengalir cairan membentuk garis merah. Darah![]

Penulis: E. WidiantoroBuku Dentang Lonceng Angelus


Artikel Lain: Hari Kelima Belas - Cerpen Arist Gardabumi

Selengkapnya