Bangun Seminari di Pontianak, Belajar Dibekas Rumah Suster Veghel

September 22, 2022
Last Updated


Uskup Bos mendirikan seminari di Pontianak. Sejumlah anak-anak Dayak dididik di seminari tersebut. Mereka belajar dibekas rumah Suster Veghel di Jalan Stuerweg. Angkatan pertama berjumlah tiga orang. Aloysius Ding menjadi salah satu imam dari didikan seminari tersebut.

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

Pada 1935, Mgr. Van Valenberg ditahbiskan sebagai uskup mengganti Mgr. Pasificus Bos. Ketika suatu waktu, diminta untuk sharing pengalaman tentang daerah misi yang dipimpinnya, Bos mengambil satu peta dunia, kemudian menunjukkan salah satu pulau yang dinamakan Borneo. Pada Borneo ini, ia menunjuk satu titik kecil bertulisan Pontianak. Pada peta tersebut tinggal sekelompok kecil orang China yang sudah Katolik. Kemudian bangsa-bangsa asing yang menetap di situ untuk berbagai kepentingan. Ada satu kelompok kecil lagi, yang dikenal dengan orang Dayak, yang berdiam di hutan pedalaman.

Umat Katolik kala itu baru mencapai 8.000 jiwa. Dengan iman yang belum terlalu mengakar dan kuat sangat sulit untuk mendirikan sebuah seminari bagi umat. Bagaimana mungkin membuka seminari bagi anak-anak yang belum lama menerima baptisan? Kemudian harus belajar mengenai berbagai ilmu pengetahuan dan iman yang mensyaratkan seseorang untuk menjadi imam, yang bertugas menuntun umat agar selamat jiwa dan raganya?

Mgr. Bos bukan orang yang tidak mengerti arti sebuah strategi. Ia orang yang berani mengambil risiko dengan perhitungan yang sudah matang. Demikian catatan Pastor Nazar yang dua tahun mengajar di seminari Pontianak. Bukan hal yang mustahil atau khayalan belaka dari sang pionir, Mgr. Pasificus Bos, yang dalam masa akhir purnatugas. Namun cita-cita itu, mesti segera diwujudkan demi berakarnya iman Katolik dalam konteks sosial, budaya, dan tradisi lokal.

Pada April 1933, seminari didirikan di Pontianak dengan menempati bekas rumah suster Veghel di Jalan Stuerweg. Seminari ini dimulai dengan angkatan pertama berjumlah tiga orang. Pada 1935, bertambah 12 siswa. Mereka dibimbing dan dididik oleh Pastor Justinianus, sebagai Direktur Seminari. Justianus dibantu dan didukung oleh Bruder Cornelius MTB. Pada 11 Februari 1937, tiba Pastor Nazaarius di Pontianak. Dia mendapat tugas sebagai guru di seminari.

Keprihatin para misionaris terhadap masyarakat Kalimantan bukan cerita yang dibuat-buat. Terutama, orang-orang Dayak yang mengalami penindasan dan penghisapan martabat sebagai manusia oleh manusia lainnya. Ketika para misionaris tiba, mereka membuka sekolah dan asrama. Dalam didikan para misionaris, mereka sudah mulai dapat membaca dan menulis serta berhitung. Hal ini tentu memungkinkan mereka dapat berpikiran mandiri dan mulai mengenal sistem organisasi dan sebagainya.

Pada dua dekade awal, seluruh sekolah misi, para pastor sangat lazim berdiri di depan kelas untuk mengajar anak-anak. Namun situasi itu semakin sedikit terjadi pada dekade tahun 1930. Anak-anak yang dulu dididik di sekolah dan asrama bahkan mereka dikirim ke sekolah lanjut ke Nyarumkop bahkan Tomohon atau di Jawa.

Baca Ini: Misionaris Ditahan di Kamp Lintang, Kuching

Ketika selesai studi dan kembali ke Borneo, mereka menjadi guru dan merintis sekolah-sekolah di tempat lain bersama para misionaris. Selain itu kesadaran anak-anak dan orang tua makin baik akan pentingnya sekolah, tidak perlu lagi mereka harus dicari di kampung-kampung ketika mereka libur tak kembali ke sekolah sebagaimana awal misi tiba.

Pada kala itu para misionaris di manapun berada dan bekerja, berusaha mencari anak-anak yang pandai dan berminat untuk meneruskan sekolahnya di Nyarumkop setiap tahun. Baik meneruskan ke tingkat sekolah menengah maupun tingkat kursus guru yang kala itu ada di Nyarumkop. Biasanya siswa kursus guru tidak lebih banyak jumlahnya. Mereka ini sekaligus mendapat pelajaran agama untuk menjadi katekis. Bahkan seorang siswa yang baik setelah mengikuti sekolah dengan lama tujuh tahun. Ia boleh mengajar pada sekolah rakyat tiga tahun. Begitu juga dengan siswa-siswa seminaris, mereka dipilih dari antara tamatan kursus guru.

Ketika diangkat sebagai direktur seminari, Pastor Justinianus sudah berusia 54 tahun. Ia juga mengajar bahasa Latin. Ia kadang terlihat sangat kolot, mungkin karena lama tinggal di tempat-tempat misi di pedalaman. Ia pernah merintis stasi di Laham, Kaltim. Pembauran dengan masyarakat sangat erat. Bahkan, dia pandai berbicara dan menulis dalam bahasa Laham.

Walau terkesan kurang menghargai buku, Justinianus pandai mengajar bahasa Latin. Karena bahasa Latin merupakan syarat minimal yang diperlukan untuk pendidikan imam. Walaupun tidak ditebak nanti di mana mereka (para seminaris) akan meneruskan seminari tingginya.

Hal ini dilakukan agar mereka yang menjadi imam tidak kalah kualitas dengan imam-imam dari Eropa. Seringkali Mgr. van Valenberg mengingatkan para formatur seminari agar tidak berkecil hati akan berhasil atau tidaknya para siswa seminari akan menjadi imam kelaknya. Karena seringkali terjadi bahwa seminari-seminari yang didirikan baru dapat melihat hasilnya dengan ditahbiskan imam pertama setelah dua puluh tahun kemudian.

Pada kurikulum seminari ini juga diberikan tambahan bahasa Yunani dan bahasa Belanda. Kemudian untuk lamanya seseorang di seminari sama seperti sekolah MULO. Untuk persiapan masuk seminari tinggi, maka pendidikan selama 6 tahun. Setelah tahun 1950, tidak lagi diberikan bahasa Belanda. Pengajar di seminari tidak banyak. Hanya empat orang: dua pastor dan dua bruder. Hampir sepanjang hari mereka menemani seminaris tersebut.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Opas Panembahan Sanggau Melarang Membangun Sekolah di Lintang

Selengkapnya