Lahan untuk misi sudah ada. Pelayanan kesehatan kepada warga juga sudah dilakukan. Walaupun masih bersifat kunjungan saja dan permintaan orang-orang kampung. Dukungan dari Kontrolir Landak dan Panembahan Landak juga sudah diberikan agar misi bisa membuka stasi di daerah tersebut. Bagaimana perjalanan berikutnya sehingga terbentuk Stasi Temiang
[Foto Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan] |
DALAM sebuah catatan, Pastor Beatus mengungkapkan keprihatinan.
“Belum pernah dalam hidupku, saya
melihat begitu banyak kesusahan dan penderitaan dalam masyarakat yang dialami
orang-orang dalam jumlah yang banyak, kecuali pada hari itu, aku lihat terjadi di
Landak. Puluhan orang sakit yang tidak mampu jalan kaki, yang penuh luka
bernanah, yang lengan dan kakinya sudah bengkak, lalu dipikul dengan
kursi-kursi seadanya. Aneh, ada orang-orang sakit yang dipikul, sama dengan
memikul babi-babi dengan jarak 20,30,40 km.”
Masih dalam catatannya.
“Saya hampir tidak mampu
melihatnya dan saya menyadari diri: betapa kami masih beruntung daripada
orang-orang itu yang menanggung segala kekurangan akan segala-galanya. Dan,
saya sering berpikir: bahwa Belanda hanya memenuhi kewajibannya sebagai
penguasa kolonial, apabila pada waktunya menarik pajak, dan menyuruh rakyat menjalankan
Heerendiensten (pekerjaan wajib untuk tujuan umum) dan terkadang mengirim satu
patroli untuk menjaga keamanan.”
Sekurang-kurangnya di Landak satu lapangan pekerjaan tersedia bagi misi. Pemerintah juga harus mulai membuat sesuatu bagi anak-anak terkait kebersihan. Ketika pulang, Pastor Beatus membawa berita bahwa Yang Mulia Panembahan Landak dari Ngabang akan berkunjung ke Singkawang untuk melihat pekerjaan misi. Karena pastoran belum memiliki kamar tamu, maka Panembahan menginap di rumah para Bruder MTB. Untuk menghindari segala kesulitan dengan makanan, pastor menyewa satu tukang masak Muslim. Dia makan bersama dengan pastor di rumah suster.
Baca Ini: Orang Dayak Berjalan Kaki 20 Km untuk Terima Layanan Medis
Selama di Singkawang, Panembahan ikut ambil bagian dalam rekreasi para pastor. Dia seorang muda, sangat sopan, yang dididik di sekolah pegawai di Batavia. Dia menceriterakan pada para pastor tentang ‘onderafdeeling’nya. Di bagian utara wilayahnya, masih ada suku-suku Dayak, yang hidup di gua-gua. Saat malam hari begitu dingin sampai harus pasang api untuk menghangatkan tubuh. Anak-anak biasanya pagi hari penuh dengan abu di mana mereka berguling-guling saat tidur. Mereka memiliki satu rumah di kampung, tetapi hanya dipakai sebagai tempat berkumpul waktu perundingan-perundingan dan pesta-pesta.
Panembahan merasa betah di rumah misi. Dia melihat semua karya misi: sekolah-sekolah, rumah sakit, rumah sakit kusta, stasi di Nyarumkop yang dekat. Dia ingin melihat semuanya dan memerhatikan dengan baik. Setelah empat hari di Singkawang, ketika hendak berangkat kembali ke Ngabang, Pastor bertanya pada dia di kamarnya:
“Panembahan, kamu sekarang sudah melihat pekerjaan misi dengan mata kepala sendiri dari dekat, bukan saja apa yang dibuat, tetapi juga bagaimana kami kerja. Sekarang saya ingin tanya Yang Mulia, secara langsung: masih ingin kedatangan misi di tanahmu?’
Panembahan tanpa ragu-ragu menjawab dengan singkat dan sarat permohonan: ‘Ya, Pater, lebih cepat lebih baik.”
Setelah berkemas-kemas, Panembahan Landak meninggalkan Singkawang dengan diiringi oleh musik dari drumband sekolah. Misi percaya bahwa kunjungan Panembahan Landak merupakan satu peristiwa penting dan satu bukti jelas bahwa Penguasa Landak percaya akan karya misi yang berkaitan dengan perawatan orang-orang sakit. Ini diperkuat lagi oleh perjanjian, yang setiap kali diperbarui, baik oleh Panembahan maupun oleh Kontrolir.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Kontrolir Landak Senang Misi Buka Stasi di Temiang