Bermula di Serengkah, Valenberg Pilih Tumbang Titi jadi Stasi Tetap

September 13, 2022
Last Updated

Pada 1917, Sekolah Volksschool sudah didirikan di Tumbang Titi, Nanga Tayap, dan Sandai. Dua tahun kemudian, pada 1919, misi mendirikan sekolah di Serengkah. Sekolah itu beratapkan lalang dan berkursi bambu. Guru yang pertama, seorang Tionghoa bernama Yohanes Amok. Selain itu, guru yang pernah mengajar di Serengkah ialah Runtu dan Minokan (asal Manado). 

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]


Seorang anak dari Serengkah yang pernah dibawa Prefek Bos ke Pontianak untuk sekolah tahun 1918, pada 25 Desember 1919 dipermandikan di Sejiram. Setelah menyelesaikan studi, PF Bantang diangkat menjadi kepala sekolah di Pajintan, Singkawang pada tahun 1923. Sejak tahun 1926 hingga 30 Oktober 1942, PF Bantang menjadi kepala sekolah di Serengkah.

Pada 1927, Mgr. Pacificus Bos ke Tanjung. Prefek mengangkat JXP Rehal sebagai guru sekolah negeri Tanjung yang sudah dibuka sejak tahun 1921. Karena sulit mencari guru, misi melihat JFX Rehal yang berasal dari Serengkah memiliki kemampuan mengajar atas usaha belajar secara otodidak. Rehal diangkat menjadi guru di Semapau, Kecamatan Sungai Laur. Rehal yang pertama kali  menyebar agama di Tanjung. Beberapa muridnya antara lain M. Tembirik, Dam. Hadir, dan Manggar merupakan tiga bersaudara yang aktif menyebarkan ajaran Katolik.

Setelah mendirikan sekolah pada tahun 1931 di Serengkah, gereja pertama dibangun di atas tanah yang disumbangkan penduduk kepada misi dengan izin hak atas guna bangunan. Pada 1934 didirikan juga gereja di Tanjung atas kerja keras C. Ringkat, guru yang berasal juga dari Tanjung. Pada 1929, di wilayah Matan Hulu, misi mulai berkarya secara aktif di Kampung Randau dengan mendirikan sekolah yang diajarkan JFX Rehal. Pada 1 Mei 1929, sekolah di Randau dibuka secara resmi.

Setelah bertahun-tahun sejak sekolah dan gereja dibuka di Serengkah, akhirnya pada 1937, Mgr Van Valenberg yang sejak tahun 1935 diangkat menjadi Vikaris Apostolik Pontianak  menggantikan Mgr. Pasificus Bos, memutuskan membuka secara resmi stasi tetap di daerah Matan Hulu. Kampung Tumbang Titi dipilih untuk menjadi pusat stasi karena strategis dan sentral. Pada 1939, dua pastor Kapusin yaitu Pastor Leo de Jong dan Pastor Gerardus menetap di Tumbang Titi.

Setiap permulaan selalu sulit, itulah peribahasa yang melekat dalam setiap usaha apapun di muka bumi ini. Tidak terkecuali bagi misi di daerah onderafdelling Matan Hulu ini. Orang non-Katolik selalu mengatakan kepada orang Dayak, agama Katolik itu agama penjajah, sehingga kalau masuk Katolik berarti dijajah kembali. Tetapi berkat perjuangan tokoh awam dan para misionaris, semua stigma tersebut dapat ditangkal, seperti Pacifikus Bantang di Serengkah, Silvester Tjoroh di Randau, PJ Denggol di Tumbang Titi dan JXP Rehal di Semapau.

Setelah tujuh tahun Stasi tumbang Titi dibuka, pada Desember 1941 daerah Borneo dikuasai oleh serdadu Jepang dan mulai pecah perang dunia kedua. Pontianak dibombardir oleh pesawat terbang Jepang, dengan menelan korban yang tidak sedikit. Pada 14 Juli 1942 (Catatan Br. Bernulfus, MTB, Dokumen Seri Sejarah Para Bruder MTB), seluruh orang Belanda tanpa terkecuali para misionaris di Borneo bagian barat dibawa dengan kapal laut untuk diinternir di Kamp Kuching. Saat misionaris meninggalkan Stasi Tumbang Titi pada tahun 1942 jumlah umat Katolik di Ketapang  kurang lebih jumlahnya 300 orang.

Ada tiga sumber referensi dari penulisan artikel ini, yakni Catatatan Br. Bernulfus, MTB yang termuat dalam Dokumen Sejarah MTB, Catatan Pastor Gerardus, OFMCap, dan Website keuskupanketapang.org.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Gumalo Moerial Dibaptis Prefek Bos, Bantang Dibawa Sekolah di Pontianak 

Selengkapnya