Dari Huijbergen, Lima Bruder MTB Naik Kapal Api Patria Menuju Borneo

September 06, 2022
Last Updated

Ini tulisan pertama tentang kiprah awal Bruder MTB di tanah Borneo. Bermula dari cuti Mgr Pasificus Bos ke Belanda. Bos menemui pimpinan Bruder-bruder MTB agar membantu pendidikan di Kalimantan. Pimpinan Bruder Huijbergen mengutus lima bruder pertama untuk berangkat ke Singkawang pada 1921. Hingga kini, Bruder MTB tetap berkarya di Kalimantan. Mereka melayani tanpa batas.

[Foto: Dok. Bruder MTB]

PADA 1919, Paus Benediktus XV menulis Ensiklik Maximum Illud terkait karya misi agar tidak hanya menyebarkan iman kristiani, tetapi juga memikirkan kesejahteraan masyarakat dan umat setempat. Ketika stasi-stasi dibuka, selain gereja dan pastoran dibangun, terlebih dahulu misi membangun sekolah dan asrama serta poliklinik kesehatan. Dalam semangat misi yang semakin diperkuat oleh Ensiklik ini memberi kemungkinan besar bagi kongregasi suster dan bruder untuk mengambil bagian dalam karya misi di luar negeri.

Pada 1918, muncul kerinduan para Bruder Huijbergen untuk bermisi di luar Belanda. Cukup intens dibahas dalam pertemuan para bruder, namun belum ada tanda-tanda akan diwujudkan. Hal itu diungkapkan Bruder Edmundus yang menjadi misionaris ke Indonesia tahun 1924-1969. (bdk. Huijbergen dan Ujung-ujung dunia. Hal. 159; 2004).

Ketika cuti ke Belanda, Mgr Pasificus Bos mencari kongregasi bruder yang bisa membantu sekolah dan asrama di Singkawang. Mgr Bos agak putus asa mencari tenaga untuk mengurus sekolah dan asrama. Pada 1920, ia menulis surat permohonan kepada Pimpinan Bruder Huijbergen agar bersedia membantu sekolah dan asrama di Singkawang, Borneo bagian barat.

Jawaban dari Bruder Silvester de Maat mengecewakan Mgr Bos. Setelah Bos membaca surat jawaban dengan cermat, rasa putus asanya pudar. Surat jawaban dari pimpinan para bruder di Huijbergen, menyatakan kesiapan para bruder untuk membantu misi di Borneo. (bdk. Huijbergen dan Ujung-ujung dunia: 160; 2004).

Pada September 1920, dalam surat edaran pimpinan umum menyampaikan kepada para bruder dengan bebas mencantumkan nama untuk diutus menjadi misionaris di Borneo. Dari sekian puluh para bruder yang menyatakan kesiapan untuk bermisi beberapa saja yang dipilih dan diutus. Ada lima bruder yang diutus menjadi misionaris perdana itu, yakni; Bruder Canisius van de Ven (Overste pertama), Bruder Seraphinus van Tilborg, Bruder Maternus van Brouwer, Bruder Longinus van Spreeweul, dan Bruder Leo Geers.

Baca Ini: Stasi Sambas;Misionaris Pinjam Uang  pada Tauke agar Bisa Terus Bertahan

[Foto: Dok. Bruder MTB]

Pada 21 Januari 1921 diadakan acara perpisahan bagi kelima bruder yang semuanya berasal dari Provinsi Brabant dengan usia rata-rata 30 tahun. Pada hari keberangkatan, Mgr Bos memimpin ekaristi di gereja milik Kapusin di Breda. Selesai misa, Mgr Bos dan para bruder menuju ke Pelabuhan menggunakan dokar. Sesampai di Pelabuhan Rotherdam, Kapal Api “Patria” telah bersandar di dermaga menunggu untuk mengantar rombongan misionaris ini menuju ke Hindia Belanda.

Setelah beberapa minggu mengarungi gelombang lautan dan kejenuhan di kapal, pada 10 Maret 1921, para misionaris bruder Huijbergen tiba di Singkawang. Untuk sementara, mereka menempati rumah orang Tionghoa yang terletak di samping pastoran. Rumah ini sudah agak reot. Berkat tangan Bruder Seraphinus, rumah itu direnovasi sehingga layak untuk dihuni.

Pada 1923, para bruder membangun rumah baru bertingkat dengan dinding semen. Rumah ini menjadi rumah semen pertama di Singkawang. Sampai saat ini rumah tersebut masih berdiri kokoh. Saat ini telah beralih fungsi menjadi museum misi para bruder MTB.

Sehari sejak para bruder Huijbergen menginjakkan kaki di Singkawang, pada 11 Maret 1921, mereka langsung mengajar di sekolah dan asrama. Di Singkawang, para bruder menangani sekolah Holland Chinnesse School (HCS) dan satu sekolah berbahasa China.

Kedua sekolah ini menempati gedung yang sama. Pagi hari, anak-anak HCS menggunakan gedung tersebut. Siang harinya, gedung tersebut digunakan oleh anak-anak Sekolah China. Mata pelajaran yang diajarkan sama dengan mata pelajaran yang diajarkan di Belanda. Jumlah murid-murid kurang lebih ratusan yang semuanya masuk asrama. Tidak mudah bagi para bruder mengajar anak-anak China yang rata-rata berbahasa China. Kendala komunikasi menjadi tantangan tersendiri. Bahasa menjadi faktor penting dalam menyampaikan materi ajar kepada anak-anak.

Selain mengajarkan ilmu pengetahuan, para bruder juga memberikan pelajaran agama. Ketika mengajar di sekolah dan mendidik di asrama, para bruder memerhatikan keseimbangan antara kognitif dan motorik untuk mengembangkan potensi dalam diri anak. Sekali waktu anak-anak asrama dibawa piknik bersama dengan mengayuh sepeda ke pantai di Pemangkat, Gunung Poteng, Pantai Pasir Panjang, bahkan ke Monterado.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Jadi Internir Jepang di Kuching, Misionaris Terpaksa Tinggalkan Temiang

Selengkapnya