Misionaris Belanda terus berkarya di Kalimantan. Prefek Bos berkunjung ke Ketapang untuk menemui tiga saudara dari China daratan, yang menganut agama Katolik. Misi kemudian membangun sekolah dan gereja di Serengkah. Ini menjadi cikal bakal stasi di Ketapang. Ketika Valenberg menggantikan Pasificus Bos sebagai Vikaris Apostolik Pontianak menetapkan Tumbang Titi sebagai stasi di Ketapang karena posisi kampung tersebut strategis dan sentral.
[Foto Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]
Sejak 1900, penganut agama Katolik sudah ada di Ketapang. Mereka berasal dari China daratan, yang merantau mengarungi laut China Selatan melalui Singapura, Penang, Pontianak, kemudian menetap di Ketapang. Mereka berhasil menarik perhatian, sehingga pada 1911, Prefek Bos melakukan kunjungan pertama kali ke Ketapang.
Umat Katolik di Ketapang merupakan tiga bersaudara,
yakni Tan A Hok, Tan A Ni, dan Tan Kau Pue. Ketiga bersaudara ini sebagai perantau China
yang sudah menjadi Katolik. Dari ketiga orang ini, Tan A Hak yang sering
keliling daerah sekitar Ketapang, termasuk Serengkah, Tumbang Titi, Matan
Hulu, dan lain
sebagainya.
Selain
tiga bersaudara perantau dari daratan China tersebut, jumlah perantau Tionghoa ini makin bertambah. Mereka juga
penganut Katolik. Misi kemudian
membeli sebidang tanah di Ketapang. Di atas tanah itu kemudian dibangun sekolah
untuk anak-anak, rumah bagi guru, dan rumah ibadat yang kecil.
Ng Liap Siang dari Swator, seorang guru agama berkebangsaan
Singapura datang untuk mengajar di sekolah tersebut. Para perantau China daratan dan
beberapa keluarga Katolik lainnya menetap di daerah pantai, seperti Sukadana,
Tolak, Telok Melanau, dan Pulau Kumbang. Ada juga yang menetap di pedalaman,
seperti Sandai, Simpang Dua, Serengkah, dan Nanga Tayap. Tan A Hak memilih
menetap di Serengkah.
Pada
Januari 1918, Mgr.Pacificus Bos menerima informasi dari Tan Teng Hak (Tan A Hak), yang mengabarkan di
Serengkah banyak orang Dayak. Mendengar kabar itu, Prefek Bos berniat untuk ke
Serengkah.
Pada
kunjungan kedua ke Ketapang, Prefek Bos langsung ke Serengkah. Prefek bertemu
Gumalo Moerial, keturunan ketujuh dari Demong Serengkah. Gumalo
merupakan Datuk (kakek) PF Bantang dan Banding. Pada kunjungan itu, Prefek Bos
memberikan pelajaran agama selama 10 hari pada Gumalo. Setelah merasa cukup
memahami pelajaran agama Katolik, Prefek Bos mempermandikan Gumalo Moerial dengan nama baptis Yosef Gumalo Moerial.
Kampung Serengkah terletak di pinggir Sungai
Pasaguan. Di sebelah kiri sungai disebut kampong Serengkah Kiri yang berjumlah 100 rumah. Di Sebelah kanan
pinggir sungai disebut Serengkah Kanan dengan jumlah 60 rumah. Gumalo
Moerial memimpin Kampong Serengkah Kiri. Prefek Bos meminta izin untuk
mendirikan sekolah di Serengkah.
Ketika kembali ke Pontianak, Prefek Bos
membawa dua anak Serengkah untuk sekolah. Dua anak
tersebut bernama Bantang bin Banjir dan Pakit bin Lebit. Tidak beberapa
lama, Pakit kurang maju dalam bersekolah sehingga ia kembali lagi ke kampung. Sejak
dikunjungi Prefek Bos, setiap tahun dua sekali Ketapang dikunjungi oleh pastor Kapusin yaitu Pastor Salvator dan Pastor Marcellus.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Stasi Bengkayang, Bermula dari Rumah Singgah untuk Para Misionaris