Konser Musik di Larive Park, Kebun Karet jadi Lapangan Sepakbola

September 08, 2022
Last Updated

Selain pendidikan formal, para bruder juga mendamping anak-anak dalam bidang kepanduan dan olahraga. Bruder Longinus di Singkawang dan Bruder Valentinus di Pontianak mendirikan kelompok harmoni yang selalu tampil memukau. Memainkan lagi klasik, anak-anak konser di Larive Park dan banyak orang menonton di Jalan Koningspalmen.

Mgr. Valenberg dan bruder bersama siswa Sekolah Dagang pada 1938 [Foto: Dok. Bruder MTB]


Dalam dokumentasi para bruder MTB tertulis, “Setiap minggu mereka konser di Larive Park (sekarang waterfront city) mulai jam setengah delapan sampai setengah sepuluh. Mereka memainkan lagu-lagu klasik yang menggembirakan. Banyak orang-orang menikmati sambil duduk di lapangan. Ada yang sambil jalan di Jalan Koningspalmen.” 

Begitu juga dalam bidang kepanduan, Bruder Betrandus yang memiliki ijazah kepanduan, memiliki kelompok yang dikenal dengan “Groene Tropen” yang berarti pasukan hijau. Di bidang musik dan kepanduan para bruder terlibat dengan olah raga anak-anak terutama sepakbola. Di belakang bruderan Pontianak terhampar kebun kelapa dan kebun karet. Setelah dibeli oleh para bruder, hamparan itu dibuka untuk lapangan sepak bola, yang setiap hari libur selalu dapat digunakan oleh anak-anak untuk bermain sepakbola.

Pada tahun 1935, para suster mendirikan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Langer Onderwijs) di Pontianak. Itu menjadi satu-satunya di Kalimantan. Pada tahun itu juga, para bruder mendirikan Sekolah Dagang (Handelschool). Sekolah-sekolah yang dikelola para bruder baik di Singkawang dan Pontianak pada tahun 1933 telah diakui oleh pemerintah setara dengan Europese School atau sekolah untuk anak-anak orang Eropa.

Para bruder yang dikirim ke tanah misi memiliki ijazah pendidikan dalam berbagai bidang. Ada yang memiliki ijazah guru bahasa Inggris (Bruder Irenius, Bruder Gaudentius, dan Bruder Switbertus), ijazah ilmu pendidikan dan Bahasa Prancis (Bruder Canisius), Ilmu Pendidikan Jasmani (Bruder Betrandus), Ilmu Menggambar (Bruder Cornelis), Ilmu Bahasa Jerman (Bruder Irenius), Ilmu Dagang dan Tata Buku (Bruder Bernulfus). Ilmu Pasti (Bruder Emanuel), Ilmu Pendidikan Sekolah Luar Biasa (Bruder Mauritius). Bahkan beberapa bruder telah menggantongi ijazah Hoofd Akte atau ijazah untuk menjadi kepala sekolah.

Baca Ini: Sekolah Hoi Sen di Siantan Ganti Nama jadi Sekolah Kanisius

Dengan tenaga yang mumpuni dalam bidang pendidikan, maka sekolah para bruder menjadi dikenal oleh masyarakat. Pada tahun 1935, para bruder diundang untuk membantu Vikaris Apostolik Banjarmasin membuka sekolah. Pada 4 Oktober 1935, Bruder Maternus, Bruder Mauritius, Bruder Adianus, Bruder Gaudentius, Bruder Libertus, dan Bruder Honoratus tiba di Banjarmasin. (Bdk. Dokumen Seri Sejarah Bruder MTB: Br. Bernulfus)

Bukan hanya di Kalimantan, dekade 1930, para bruder juga mengepakkan sayap di Kota Blitar dan mengelola Sekolah HIS (Holland Inlander School) dan Sekolah MULO. Pada 7 Juli 1939, Bruder Emmanuel, Bruder Claudius Sommen, Bruder Gaudentius, dan Bruder Halarion mulai menangani sekolah dan asrama yang diserahkan Kongregasi Lazaris (CM) di Kota Blitar.

Salah satu hasil didikan para bruder di Asrama Blitar ialah RD. AJ Witono yang pernah menjabat Panglima Kodam di Banjarmasin tahun 1966. “Ketika ada acara pelantikan pejabat di Pontianak, saat melihat Bruder Valentinus dan Bruder Bernulfus, ia segera menghampirinya. Bruder Gaudentius bertemu dengan Witono ketika di Banjarmasin,” kata Bruder Bernulfus seperti termuat dalam dokumen para bruder.

Setelah satu tahun di Blitar, ada permohonan dari pastor di Kudus, Jawa Tengah, agar para bruder menangani sekolah MULO. Pada 1940, Bruder Gaudentius kembali diutus untuk memulai di Kota Kudus.

Itulah karya awal para bruder untuk misi Borneo, yang juga merambah ke Pulau Jawa. Jika perang dunia kedua tidak pecah, tidak menutup kemungkinan para Bruder MTB juga berkarya di Bandung. Demikianlah kisah para bruder mengarungi sejarah selama 20 tahun pertama (1921-1941) misinya di Borneo dan Jawa. Sebab setelah setahun berkarya di Kudus, para bruder bersama seluruh misionaris dan orang-orang Eropa diinternir Jepang pada tahun 1942 di Kuching untuk yang di Kalimantan, sedangkan di Jawa mereka diinternir di Cimahi.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Dari Huijbergen, Lima Bruder MTB Naik Kapal Api Patria Menuju Borneo

Selengkapnya