Pastor Nazaar kepada Seminaris: Anak-anak, Jalan Terus. Itu tanah kalian!

September 25, 2022
Last Updated

Ketika berkunjung ke sekolah China, seminaris Dayak itu malu-malu. Tak mudah bagi mereka beradaptasi dengan situasi Pontianak, yang didominasi orang China. Melihat itu, Pastor Nazaar yang menjadi pengajarnya mengatakan, “Anak-anak, jalan terus, itu tanah kalian.” Kemudian Nazaar mendapat satu teguran.

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]


Masa itu, Pontianak merupakan kota residen di Borneo Barat, yang sebagaian besar dihuni oleh orang Tionghoa. Kondisi ini menjadi bagian tersulit, yang banyak menyisakan luka-luka bagi siswa seminari. Tentu bukan tidak memiliki pertimbangan bahwa seminari itu didirikan di Pontianak dengan alasan agar uskup secara langsung dapat mengawasinya.

Pastor Nazaar mencatat, pada tahun 1937, ketika tiba di Pontianak; “Kota Pontianak merupakan satu kota yang dihuni banyak orang Cina. Seorang Dayak merasa diri sendirian dan kesepian di situ. Para seminaris boleh terkadang-kadang sekitar satu jam berjalan-jalan (syukurlah tanpa pengawasan), tetapi ke mana harus mereka pergi? Mereka orang Dayak dalam kondisi seperti ini tidak merasa nyaman seperti di kampungnya sendiri. Kami pernah pergi dengan satu kelompok seminaris mengunjungi satu sekolah Cina yang dikelola oleh misi, tetapi itu jelas tidak dinamai sekolah misi. Ketika siswa seminari itu dengan malu-malu, Pastor Nazaar berkata kepada mereka, “Anak-anak, jalan terus, itu tanah kalian.” Kemudian Nazaar mendapat satu teguran.

Ketika libur tahun 1937, Pastor Naazar mengajak siswa seminari bermain perahu di Sungai Kapuas. Siswa seminari yang kebanyakan orang Dayak menyanyikan satu demi satu lagu kebangsaan Belanda sesudah lagu yang lain. Hal ini untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka. Anak-anak seminari ini kebanyakan anak Dayak dan mengalami kesulitan bersosialisasi dalam lingkungan Pontianak. Situasi ini menuntut kesabaran dan kerendahan hati dari para pendamping dan pembinanya.

Pernah dikatakan pada satu meja makan pastoran; “Menjadi imam, jelas dapat, tetapi bukan imam Kapusin. Kala itu, memang anak-anak Tionghoa menjadi perhatian dan diharapkan cukup besar untuk meneruskan karya misi kelaknya. Hal ini terbuki, pada tahun 1927, pemuda Tionghoa dari Monterado bernama Bong Syun Khin telah lebih duluan dikirim ke Belanda masuk seminari kemudian melanjutkan Novisiat Kapusin dan ditahbiskan pada tahun 1934 dengan nama Pastor Pasifikus Bong, OFMCap.”

Bisa dimengerti jika seminaris angkatan pertama Aloysius Ding masuk Serikat Monfortan. Setelah 61 tahun kemudian baru ditahbiskan satu orang Dayak menjadi imam Dayak pertama Kapusin yakni; Pastor Matheus Sanding, OFMCap, setahun kemudian menyusul ditahbiskan lagi imam kedua Dayak Kapusin, yakni Pastor Hieronimus Bumbun, OFMCap yang kelak menjadi Uskup Agung Pontianak menggantikan Mgr. Herculanus Van der Burg, OFMCap

Pada tahun pertama para seminari memiliki motivasi yang semuanya baik-baik-bahkan mungkin juga tidak semua akan menjadi imam, tetapi semuanya tentu ingin maju dalam menyambut masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dalam Injil mengatakan; “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Ungkapan ini sudah umum berlaku dalam kelas-kelas seminari di mana pun berada.

Dapat dipahami bahwa sebelumnya mereka yang masuk seminari, pada sebelumnya bekerja di ladang dan ikut berburu babi hutan. Ketika masuk seminari tentu hal-hal yang menyenangkan dan bebas di hutan rimba tidak mereka rasakan. Apalagi dengan segala pelajaran yang mungkin membosankan karena harus belajar keras. Bahkan gambaran tentang pekerjaan seorang imam, pemahaman mereka masih samar-samar.

Siswa seminari pada enam tahun pertama berjumlah 75 orang. Jumlah itu akumulasi dari angkatan sesuai dengan tahun masuk. Pada tahun 1939, angkatan pertama dari seminaris ini menamatkan belajarnya dan melanjutkan pada jenjang seminari tinggi. Aloysius Ding akan meneruskan pendidikan lanjutan.

Pada tahun 1940, Aloysius Ding meneruskan di seminari tinggi di Flores. Bersama dengan Hendrik Teman dan Sapit, kedua dari Borneo Timur. Aloysius Ding dan Hendrik Teman sampai pada tahbisan menjadi imam. Tantangan bagi pembina seminaris ni memberikan pemahaman secara psikologis, apalagi ada yang meninggalkan seminaris atas kesadaran sendiri.  

Sebaiknya, sebelum masuk seminari tinggi, para seminaris dikirim ke kampung atau kampungnya sendiri sebagai masa percobaan. Mereka bisa diberi tugas pastoral selama beberapa bulan. Hal ini untuk menguji motivasi seminaris, apakah benar-benar mau menjadi imam atau tidak.

Tentu tidak dapat mengukur keberhasilan dari sebuah seminari dari berapa banyak yang menjadi imam, uskup, atau biarawan. Tetapi dilihat dari kemajuan satu generasi dapat mengambil peran dalam kehidupannya masa mendatang. Angkatan pertama, dari sekian orang hanya dua orang yang menjadi imam.

Pada akhir 1941, seluruh misi terpaksa menutup pekerjaannya. Begitu juga dengan seminari di Pontianak pada tahun 1941 ditutup. Awal Juli 1942, seluruh misionaris dinternir oleh Serdadu Jepang di Kuching.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Bangun Seminari di Pontianak, Belajar Dibekas Rumah Suster Veghel

Selengkapnya