Bengkayang pernah dikunjungi Pastor de Vries pada 1874. Ketika Stasi Temiang dibuka pada 1928, Bengkayang sering dilewati para pastor yang berangkat dari Singkawang menuju Temiang. Jarak antara Singkawang ke Temiang yang cukup jauh, para pastor tersebut membutuhkan rumah untuk beristirahat. Mereka kemudian membangun rumah untuk transit, yang menjadi cikal bakal stasi di Bengkayang.
PADA masa kongsi tambang emas, Bengkayang dikenal dengan sebutan Lala. Setelah berpisah dengan Kabupaten Sambas, Bengkayang menjadi kabupaten yang sekaligus nama ibu kota. Pada 1874, Pastor de Vries sudah pernah berkunjung ke Bengkayang. Namun, misi Katolik yang berpusat di Batavia belum melihat Borneo sebagai lahan penyebaran warta Injil yang menjanjikan.
Borneo menjadi ladang misi, setelah Kapusin Belanda mendirikan stasi pertama di Singkawang dan Sejiram, Laham (Kaltim). Kemudian, Pemangkat, Pelanjau, Pontianak, Nyarumkop, Lanjak, Benua Martinus, Bika Nazareth, dan seterusnya.
Setelah tahun 1928, Stasi Temiang di daerah Sungai Menyuke dibuka sebagai tempat misi di Landak, misi melebarkan sayap ke Bengkayang. Para Pastor selalu melewati kota Bengkayang jika berangkat dari Singkawang menuju Temiang. Sebaiknya ada tempat persinggahan, jika dari Singkawang ke Temiang. Misi kemudian membuka pangkalan di Bengkayang. Selain tempat transit, sudah ada beberapa keluarga Tionghoa yang menganut Katolik.
Pada 1 September 1934, Pastor Casianus, OFMCap menjadi pastor pertama di Bengkayang. Mereka mendirikan sekolah dan asrama. Kemudian membangun pastoran serta gereja. Sama seperti pada lokasi misi lain, sekolah dan asrama menjadi prioritas utama bagi para misionaris dalam pelayanan, selain kesehatan di Singkawang, Pemangkat, Sambas, dan Sejiram.
Kendati pastor militer, Cassianus sangat pandai bergaul dengan semua orang, baik orang Dayak, Tionghoa maupun Eropa. Dia pandai menjalin relasi. Kalau pergi ke kampung-kampung begitu saja menerima permintaan orang kampong untuk dibaptis, baik anak-anak, orang dewasa, bahkan bayi yang baru lahir. Dia tidak ragu-ragu untuk melakukan hal tersebut sebagai sebuah cara membangun masa depan gereja, walaupun setelah itu dia tidak pernah kembali ke Bengkayang paskaperang dunia kedua.
Bengkayang, walaupun masih baru menjadi stasi, sangat memberi harapan terhadap perkembangan karya misi. Sekolah yang baru dibuka beberapa bulan, sudah memiliki 62 murid. Untuk mengatasi biaya pendidikan dan asrama, anak laki-laki berusaha secara mandiri memenuhi kebutuhan diri sendiri. Ada satu sungai dari gunung yang mengalir deras. Sungai ini melintasi jauh sampai bermuara ke Sambas. Saat ini, dikenal sebagai Sungai Sebalau (Sebalo) oleh masyarakat setempat.
Ketika selesai jam sekolah, anak-anak berusaha mencari hidupnya dengan mengumpulkan batu kerikil dan batu kemudian diangkut. Batu kerikil Sungai Sebalau merupakan bahan terbaik untuk pembangunan jalan. Batu yang dikumpul dijual ke pemerintah dengan harga 25 cent perkubik. Kalau rajin mengumpulkan batu-batu dan kerikil tersebut, tidak sulit untuk mendapat biaya hidup dan sekolah secara mandiri.
Selain mendapat uang, mereka juga terlatih untuk bekerja. Walaupun stasi ini masih muda tetapi sudah terdapat satu sekolah yang mendapat subsidi dari penguasa. Sekolah yang menerima subsidi ada di Bengkayang, Temiang, Sanggau Ledo (sekolah lanskap yang lama, yang 1 Januari diserahkan kepada misi), dan Kampung Sekaroh, yang baru dibangun.
Dalam satu dekade ini, periode 1930-1940, misi mulai mengembangkan sayapnya. Awal dekade berikutnya sayap misi dipatahkan oleh Jepang yang menguasai Asia Pasifik. Seluruh misionaris menjadi interniran, termasuk Mgr. Tarsicius Van Valenberg. Uskup Valenberg juga ikut mendekam dalam penjara Jepang di Kuching.
Beberapa tenaga misi pada dekade ini mulai menyebarkan diri ke beberapa tempat. Pastor Donatus mulai memerhatikan Kampung Raba. Pastor Dismas berkarya di Kampung Tiang Tanjung. Sedangkan Pastor Octavius diberi tugas pelayanan di Kampung Pakumbang. Mereka melakukan pelayanan pada masyarakat dan umat untuk memerhatikan yang lemah dan tersingkirkan oleh kondisi sosial masyarakat pada zaman itu.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budit Atemba