Stasi Sambas; Misionaris Pinjam Uang pada Tauke agar Bisa Terus Bertahan

September 05, 2022
Last Updated

Stasi Sambas dibuka pada 1913. Pastor Marcellinus yang bertugas di Stasi Pemangkat menerima tugas tersebut. Pada 1924, mereka dibantu Suster-suster Etten (Suster KFS/Konggregasi Fransiskanes Sambas). Karya misi Katolik di Sambas difokuskan pada pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ekonomi merosot, misionaris mengutang atau pinjam uang pada tauke tanpa kepastian kapan mampu membayarnya.

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

BEBERAPA tahun, setelah Stasi Pemangkat dibuka, Pastor Marcellus seringkali turne ke arah Sambas. Selain mengemban tugas di Pemangkat, Pastor Marcellus diberi tugas tambahan oleh Prefek Bos untuk membuka stasi di Sambas. Penjajakan juga dilakukan Pastor Beatus sering turne ke Sambas. Mereka mempersiapkan Stasi Sambas bagi pelayanan misi.

Kedua pastor ini menjadi sosok perintis. Pastor Beatus menjadi ujung tombak bagi Prefek Bos untuk bertugas melakukan observasi atau pengamatan, survei terkait data-data dan kondisi masyarakat apabila ada rencana hendak membuka stasi baru di suatu tempat. Sedangkan Pastor Marcellus akan menindaklanjuti hasil dari keputusan yang diambil oleh Prefek Bos berdasarkan data-data yang diperoleh.

Hal ini jelas ketika pembukaan stasi baru di daerah pantai barat Borneo, seperti Stasi Pemangkat, Stasi Pelanjau, Stasi Sambas, dan Stasi Nyarumkop. Kedua orang ini cukup berperan. Sosok-sosok seperti ini menjadi duet maut dalam sebuah gerakan sebagai perintis. Namun orang-orang seperti ini, perlu sosok eksekutor yang berani dan tegas dalam menanggung segala risiko akan keputusan yang akan diambil. Sosok ini tergambar pada diri Prefek Pasificus Bos.

Tidak menafikan juga peran besar misionaris lainnya yang tidak dapat dicatat karena masing-masing memiliki peran dalam pekerjaan misi. Terutama mereka yang bermisi di daerah Kapuas Hulu dengan medan yang tidak mudah kala itu.

Begitulah kiranya, masa-masa awal misionaris Kapusin berperan dalam tugas-tugas yang dipercayakan pimpinan sesuai dengan kemampuan. Pada 1913, setelah melalui observasi, survei melalui turne-turne, Sambas secara definitif menjadi stasi baru terpisah dari Stasi Pemangkat. Pada tahun itu juga Pastor Fidelis diangkat menjadi Pastor Stasi Sambas.

Bruder Nicephorus, OFMCap mengisahkan, pada 13 Februari 1913 menerima perintah oleh pimpinan untuk membantu Pastor Fidelis di Sambas. Bruder Nicephorus bertugas di Sambas hingga 1916. Bruder datang untuk membantu pembangunan gedung pastoran, sekolah, dan gereja. Setelah bekerja selama tiga tahun di Sambas membantu Pastor Fidelis, sebelum kemudian dipindahkan, Bruder Nicephorus diminta oleh pimpinan membuka lahan untuk menanam kopi pada lokasi yang agak jauh dari Kota Sambas.

Tahun 1918 mulai membangun satu gereja. Namun dihentikan karena misi kekurangan dana. Pada 1919, pekerjaan itu dilanjutkan dan diselesaikan. Pembangunan gereja ini dilakukan oleh Bruder Wenceslaus dengan panjang 24 meter dan lebar 7 meter. Gereja itu bisa menampung 200-300 orang.

Suatu peristiwa penuh berkat dan rahmat bagi Stasi Sambas bahwa Suster-suster Ettten (Suster KFS/Konggregasi Fransiskanes Sambas) bersedia membantu di Sambas. Prefek Bos merupakan seorang penggerak dan memiliki jiwa negosiasi yang luar biasa.

Sebagaimana terjadi pada para suster Veghel, juga para Bruder MTB yang bersedia dibujuk oleh Prefek Bos untuk membantu misi di daerah. Misi di bumi Borneo menjadi misi yang paling berat dibandingkan misi-misi di daerah lain.

Baca Ini: Jadi Internir Jepang, Misionaris Terpaksa Tinggalkan Temiang

[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan]

Pada 11 Juni 1924, Suster-suster Etten pertama datang ke Sambas. Pada 1 Agustus 1924, mereka langsung mulai membuka sekolah dan pelayanan bagi orang sakit di rumah sakit. Suster-suster pertama itu antara lain: Muder Sophie Franken (Pimpinan misi KFS di Sambas), Sr. Leontine van Der Loo, Sr. Elizabeth Wagemakers, Sr. Eudoxia Verdumen, Sr. Rosa van Eyk dan Sr. Aguina Oonicx. Mereka menempati rumah suster yang pada 1923 telah selesai dibangun. Dalam waktu yang tidak lama, mereka menerima murid sekolah yang terus bertambah.  Pada 1934, gedung sekolah selalu harus dibesarkan dan sekarang telah menerima 200 anak sekolah.

Perawatan orang-orang sakit juga sangat dihargai masyasrakat. Rumah sakit memiliki 40 tempat tidur. Puskesmas juga sangat ramai dikunjungi. Jumlah suster sudah bertambah sampai 15 orang. Dengan jumlah tersebut dapat memungkinkan memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik. Di Sambas, mereka membantu merawat orang-orang sakit dari suster-Suster, sehingga mereka dikenal dan dihormati sampai ke daerah-daerah di sekitar

Periode 1925-1926, situasi ekonomi di dunia mengalami kemerosotan. Meskipun demikian, usaha karet dan kelapa menjadi penopang kehidupan masyarakat tidak terkecuali para misionaris yang seringkali kekurangan dana. Pada 1925-1926, karet masih memiliki harga yang lumayan tinggi, berat satu pon karet dihargai 2 gulden. Pada 1925, pembangunan rumah sakit beserta fasilitas pendukung pelayanan kesehatan dilakukan.

Misi memiliki kebun kopi di Nyarumkmop, kebun karet di Sejiram dan Sambas, dan kebun kelapa di Singkawang dan Pemangkat. Usaha itu untuk menopang kehidupan sehari-hari misionaris, sehingga tidak membebankan keuangan misi untuk mendukung karya pendidikan dan kesehatan. Pernah terjadi pada Stasi Sambas, mereka kesulitan dana untuk keperluan pastoran. Menurut Bruder Nicephorus, hal itu terjadi ketika untuk kedua kalinya mendapat tugas di Sambas pada tahun 1934.

Ketika sampai di Sambas, setelah bermalam terlebih dahulu di Pemangkat, Br. Nicephorus langsung ke pastoran. Tetapi, ia tidak menemukan Pastor Fidelis. Akhirnya, ia ke pasar Sambas tempat sekolah misi dibuka. Gedung itu masih menyewa.

Saat berjumpa dan diskusi, harapan Pastor Fidelis jauh dari kenyataan. Ia berharap Bruder Nicepborus ke Sambas membawa uang untuk keperluan pastoran. Namun Bruder Nicephorus tidak membawa dana yang cukup. Padahal Pastor Fidelis sangat berharap ada dana untuk membeli segala keperluan pastoran.

Hal ini betapa beratnya para misionaris menanggung segala keperluan hidup sehari-harinya, sembari memerhatikan pelayanan kemanusiaan. Tidak jarang mereka harus mengutang pada tauke-tauke di pasar dengan tanpa pasti kapan mereka mampu membayarnya. Toh, demikian tauke yakin tuan-tuan berjenggot panjang tidak akan membohongi mereka.

Dalam serbakesulitan itu, mereka masih bisa menyelesaikan rumah pastoran secara perlahan-perlahan dengan lebar 8 meter dan panjang 20 meter. Rumah pastoran juga dibagi menjadi ruang kamar, ruang kapel, dan ruang kelas bagi anak-anak sekolah. Tidak ada ruang tersisa.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Berkunjung ke Singkawang, Panembahan Landak Kagum Karya Misionaris

Selengkapnya