[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan] |
Pada 3 Juni 2014, umat Katolik Keuskupan Agung Pontianak menerima pengumuman dari Vatikan bahwa Mgr. Agustinus Agus diangkat menjadi Uskup Metropolitan Pontianak untuk mengganti pendahulunya, Mgr. Hieronimus Bumbun, OFMCap yang berasal dari Suku Mualang. Mungkin hal ini tidak pernah terbayangkan oleh Mgr. Pasificus Bos bahwa tahta Vikariat yang kemudian menjadi Keuskupan Agung Pontianak ini diduduki oleh seorang anak dari Suku Mualang,Sekadau. Sekarang diteruskan oleh seorang anak dari Kampung Lintang, Sanggau.
Pada masa lalu, Sanggau masuk wilayah administrasi Panembahan Sanggau dikepalai seorang Panembahan Melayu. Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Sanggau menempatkan seorang Kontrolir.
Bagi misionaris, Sanggau menjadi tempat persinggahan ketika melakukan perjalanan dari Pontianak menuju Sejiram. Belum terpikirkan, misi akan menjadikan Sanggau sebagai pangkalan misi. Kota Sanggau memang strategis karena terletak di muara Sungai Sekayam dan pertengahan antara Pontianak dengan Sejiram, sehingga jika melakukan perjalanan dari Pontianak menuju Sejiram atau sebaliknya, kota Sanggau menjadi tempat transit atau singgah bermalam.
Pada tahun 1900, ada satu orang Tionghoa yang menganut iman Katolik. Orang Tionghoa ini berdagang kebutuhan sehari-hari. Ia juga membeli hasil hutan dari orang Dayak. perjumpaannya dengan para misionaris yang singgah di Sanggau sebelum meneruskan perjalanan ke Sejiram menjadi cerita positif yang terus dikisahkan pada orang-orang Dayak di sekitar Sanggau.
“Syin fu-Syin fu itu, mereka berusaha membantu membangun sekolah-sekolah untuk orang China tanpa bantuan dari pemerintah,” kata pedagang Tionghoa itu bercerita pada orang-orang Dayak seperti yang ditulis Pastor David, OFMCap dalam Borneo Almanak.
Kisah para misionaris yang sering singgah di Sanggau ini menjadi kisah yang diingat secara positif oleh orang Dayak di Sekitar Sanggau. Pada 1906, China penganut Katolik ini membawa seorang pemuda Dayak untuk menemaninya ke Pontianak. Ketika di Pontianak, mereka mengikuti ibadat. Saat kembali ke Sanggau, pemuda yang bernama Tolli tersebut terkesan dengan apa yang dilihat di Pontianak.
Pada Agustus 1906, Pastor Gonzalvus melakukan perjalanan dari Pontianak ke Sejiram yang baru dibuka menjadi Stasi. Karena kondisi Sungai Kapuas agak surut, maka perjalanan tersebut tidak dapat diteruskan. Pastor Gonzalvus singgah di Sanggau dan menginap selama beberapa hari, sebelum meneruskan perjalanan yang kurang lebih enam hari lagi menuju Sejiram.
Saat menginap di Sanggau, Gonzalvus bertemu dengan Tolli yang pernah dibawa pedagang China ke Pontianak. Pemuda ini sangat bersemangat dan memohon diri untuk ikut Pastor Gonzalvus ke Sejiram. Akhirnya, Tolli mengikuti Pastor Gonzalvus untuk ke Sejiram. Sebelum berangkat ke Sejiram, Pastor Gonzalvus memohon izin pada orang tua Tolli, bahwa Tolli akan ikut ke Sejiram.
Di Sejiram, selain membantu para pastor, Tolli juga belajar berbagai hal baru dari para pastor mengenai iman Katolik dan belajar membaca dan menulis serta berhitung. Setelah belajar iman Katolik beberapa bulan, Tolli dipermandikan di Sejiram. Tolli termasuk perintis bagi anak-anak Lintang dan Sanggau yang pada awal-awal bersekolah di Sejiram.
Waktu libur, Tolli seringkali berkisah mengenai sekolah yang didirikan para misionaris kepada teman-teman sebaya dan orang-orang kampung, terutama di Lintang, kampung asalnya. Sehingga banyak anak-anak dari Kampung Lintang yang ikut dia ke Sejiram untuk sekolah dan menjadi Katolik.
[Foto: Borneo Almanak & Sumbangan Gereja Kalimantan] |
Ketika perang dunia pertama meletus pada 1914, perlahan-lahan anak-anak dari Lintang tidak lagi ke Sejiram, sehingga hubungannya dengan para misionaris hanya ketika para misionaris di Pontianak yang diutus ke Sanggau untuk melayani orang-orang Katolik yang ada di sekitar Sanggau yang dilakukan dua kali setahun.
Meskipun lama meninggalkan Sejiram, Tolli masih satu kali mengunjungi para pastor di Sejiram. Perjalanan itu dilakukan bersama calon isterinya. Toli ingin calon istrinya belajar iman Katolik dan dipermandikan. Setelah dipermandikan, mereka kembali ke Lintang.
Lama tidak pernah mendengar kabar berita tentang Tolli, tiba-tiba pada 1921, datang sepucuk surat dari Tolli yang ditujukan pada Pastor Ignatius di Sejiram. Dalam surat tersebut, Tolli memberitahukan bahwa ada sepuluh anak Lintang yang berminat sekolah di Sejiram. Sejak itu hubungan misi di Sejiram dengan orang-orang Lintang menjadi erat karena anak-anak yang sekolah di Sejiram menjadi dewasa dan berkeluarga menjadi Katolik di kampung halamannya, Lintang.
Ada desakan dari para mantan murid sekolah Sejiram agar misi juga membuka sekolah di Lintang dan Sanggau. Namun permohonan tersebut tidak mudah untuk dikabulkan. Hal itu mengingat kondisi tenaga yang kurang serta finansial yang kurang.
Walaupun misi belum memutuskan untuk membuka stasi di Sanggau secara definitif, pada tahun 1923, misi memutuskan bersama-sama tokoh Dayak di Sanggau untuk membangun satu Sekolah. Tetapi disayangkan keputusan itu untuk sementara waktu ditunda. Alasan penundaan itu karena tidak ada dana yang cukup untuk membangun sekolah. Selain itu, alasan yang sangat kuat ialah ada larangan dari Panembahan Sanggau agar tidak didirikan sekolah di Lintang.
Setelah melihat adanya perkembangan cukup baik dari mantan-mantan murid Sejiram yang berasal dari Sanggau begitu antusias untuk kehadiran misi, maka pada tahun 1925, misi secara defenitif memutuskan untuk membuka Stasi Sanggau. Pada Oktober 1925, Pastor Cassianus, OFMCap ditugaskan untuk menempati pangkalan misi baru secara tetap.
Pastor Cassianus, OFMCap dalam catatannya menuliskan, sekolah di Lintang sebenarnya didirikan pada tahun 1923, namun ketika sekolah hampir selesai didirikan, tiba-tiba datang Opas (polisi) dari Panembahan Sanggau, membawa berita bahwa sekolah tidak boleh dibangun di Kampung Lintang dan sekolah tidak boleh diselesaikan bangunannya.
Masyarakat di Kampung Lintang pasrah, mau meminta pembelaan pada siapa, tidak ada yang dapat membelanya. Mau meminta pembelaan para pastor dari Sejiram, suatu hal yang mustahil karena jarak Sanggau ke Sejiram menelan waktu enam hari perjalanan menggunakan kapal motor. Mau melakukan perlawanan terhadap panembahan, tentu mereka akan mendapat hukuman berat.
Akhirnya bangunan yang setengah jadi tersebut dibiarkan sampai misi menetap dan datang untuk meneruskan penyelesaian bangunannya. Sekolah yang setengah jadi tersebut akhirnya selesai dan diberkati pada 13 Mei 1926. Walaupun sesungguhnya Panembahan Sanggau tidak begitu senang dengan berdirinya sekolah tersebut.
Perlahan-lahan ketidaksenangan Panembahan berubah. Pada 15 Agustus 1927, dilakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat yang dihadiri juga oleh Panembahan dan Pastor Canisius. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai sekolah di Lintang. Panembahan mendengar langsung bahwa sekolah yang didirikan di Lintang bukan hanya untuk orang-orang Dayak semata, tetapi terbuka untuk anak-anak Melayu yang hendak sekolah.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Jepang Menahan Para Misionaris di Kamp Lintang, Kuching