Stasi Sintang; Bermula dari Pesanggrahan Milik Pemerintah Belanda

September 15, 2022
Last Updated

Gereja Katedral Sintang yang saat ini berdiri kokoh dan indah dengan gaya bangunan Semi Gothik diresmikan oleh Cornelis, Ketika menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Barat periode 2013-2018 pada 14 Oktober 2017. Kemudian, pada 15 Oktober 2017 diberkati oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus sebagai konselebran utama bersama Uskup Sintang, Mgr Samuel Oton Sidin, OFMCap dan Uskup Ketapang, Mgr Pius Riana Prabdi.

[Foto: Internet/Katolikana]

Jejak misi Katolik di Sintang ini akan dibagi menjadi dua tulisan. Bagian pertama akan bercerita mengenai perjuangan misionaris awal dalam memberikan pelayanan bagi umat Katoli di wilayah Kontrolir Sintang, yang meliputi Sintang dan Melawi. Dua tulisan ini bersumber dari Borneo Almanak yang dialihbahaskan oleh Pastor Yeremias Melis OFMCap, Website Serikat Montfortan Indonesia, dan Website Parokit Katedral Sintang.

Jika merunut pada masa silam, gereja megah yang dibangun sejak tahun 2014 ini sesungguhnya bermula dari sebuah pesangrahan milik Pemerintah Belanda yang setiap minggu dan hari raya besar agama Katolik digunakan sebagai tempat ibadat. Sampai pada tahun 1932, gereja kecil dan sederhana telah berdiri. Setelah statusnya menjadi Vikariat Apostolik tahun 1956, maka dibangun gereja baru pada 1956-1957 dengan Pelindung Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Tiga puluh tahun kemudian gereja ini direnovasi.

Sebelum Indonesia merdeka, Sintang dikenal sebagai sebuah Onderafdeling Sintang meliputi Sintang dan Melawi yang memiliki seorang residen dan Kontrolir sendiri. Saat itu, umat Katolik di Onderafdeeling Sintang berjumlah 93 orang, baik dewasa maupun anak-anak. Kebanyakan orang-orang berkebangsaan Eropa.

Pada 11 Desember 1931, Mgr Pasificus Bos mengangkat Pastor Fulgentius J Koning OFMCap menjadi pastor pertama di Stasi Sintang. Dalam tugas awalnya, Pastor Fulgentius tidak banyak melakukan turne ke kampung-kampung. Pastor Fulgentius masih menyiapkan untuk rumah tempat tinggalnya dan mendamping para suster SMFA (Suster Asten) yang baru tiba.

Suster Asten yang baru tiba ini merupakan angkatan kedua, yakni Sr. Xaveria dan Sr. Bernadette yang beberapa waktu sebelumnya tiba di Pontianak 3 Desember 1931. Pada 28 Desember 1931, mereka berangkat menuju Sintang. Tiba di Sintang pada 1 Januari 1932. Suster yang baru ini akan menangani rumah sakit atas permintaan pemerintah.

Namun sebelum mereka, telah datang suster suster dari Asten (suster-suster SMFA) gelombang pertama di Borneo pada 24 Februari 1931. Ada empat orang Suster Asten, yakni Sr. Gerarda, Sr. Dominika, Sr. Dolorata dan Sr. Yosephine, berangkat menuju Indonesia. Mereka akan akan menggantikan peran Suster Veghel di Benua Martinus.

Wilayah Stasi Sintang cukup luas karena mencakup daerah Melawi dan sekitarnya. Seringkali, orang-orang kampung meminta misi untuk membuka sekolah untuk pendidikan anak-anak. Tentu tidak semua dapat langsung dijawab. Pada 1934, Pastor Egbertus diminta untuk melakukan survei ke Melawi, masyarakat masih serbasusah dan terisolir, bahkan pemerintah sulit melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Di bagian utara kota Sintang, pernah dilakukan turne dari Sei Belitang sampai Sei Ketungau. Di situ terdapat satu kampung yang bernama Belitang Hulu. Tidak jauh dari Belitang ada Kampung Ampoh, yang terdapat sepuluh orang Katolik.

Dari turne Pastor Egbertus tersebut bisa disimpulkan, misi dapat membangun sekolah hanya di tempat-tempat strategis saja dengan mengirim satu guru untuk mengajar. Tempat seperti Nanga Pinoh, Nanga Serawai, dan Tebidah bisa dipertimbangkan. Namun semua keputusan tetap pada tangan Mgr. Bos yang tahu mengenai keadaan dompet misi (kas keuangan misi) dan kekuatan tenaga manusianya.

Masa awal di Sintang, Pastor Fulgentius tinggal di pesanggrahan milik pemerintah. Begitu juga para suster, sementara waktu tinggal di rumah yang dipinjamkan oleh calon residen. Rumah para suster belum selesai dibangun terhambat banjir yang belum surut. Tidak lama kemudian Pastor Fulgentius sudah dapat tinggal di rumahnya yang sederhana pada 15 Maret 1932.

Pada 6 Februari 1932, Pastor Prosper yang bertugas di Sejiram dipindahkan ke Sintang untuk membantu Pastor Fulgentius. Begitu juga dengan Sr. Dolorata, SMFA yang baru saja mulai berkarya di Sejiram akan ke Sintang untuk membantu di rumah sakit.

Pada Sabtu, 6 Februari 1932 menjadi hari resmi pendirian Stasi Sintang. Pastor pertama Stasi Sintang yang kemudian menjadi Paroki Katedral lalu keuskupan Sintang ini, ialah Pastor Fulgentius dan Pastor Prosper menjadi pastor rekan. Pada hari penetapan sebagai stasi, Pastor Fulgentius tidak berada di Sintang. Dia masih di Pontianak. Pada 17 Februari 1932, Pastor Fulgentius kembali ke Sintang. Saat kembali ke Sintang, pejabat pemerintah, Kontrolir Heynen dan Mayor de Groot dan Mr. Mulder memberikan ucapan selamat padanya.

Saat itu, umat Katolik Sintang sebagian besar orang Belanda yang bertugas di Sintang dengan beberapa orang Tionghoa dan Manado. Pada 9 Maret 1932, untuk pertama kalinya orang pribumi meminta diri sebagai katekumen yakni seorang Jawa dan seorang dari timur Indonesia.

Pada 11 Mei 1932, menyusul orang Dayak dari Kampung Muakan (Ketungau Hulu) bernama Giring mendaftar sebagai Katekumen. Giring sedang mengenyam pendidikan di HIS kelas IV. Setelah itu masih ada seorang anak gadis bernama Lindan anak Christianus Senjan dari Kampung Ampoh, Belitang mendaftar menjadi katekumen pada 8 Agustus 1932.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Bermula dari Serengkah, Valenberg Pilih Tumbang Titi jadi Stasi Tetap

Selengkapnya