Stasi Sintang; dari Kapusin ke Maria Montfortan, Misionaris Ditahan di Kamp Lintang, Kuching

September 18, 2022
Last Updated

Setelah resmi menjadi stasi, umat Katolik di Sintang kian berkembang. Valenberg yang menggantikan Pasificus Bos menawarkan Serikat Maria Montfortan untuk mengambil alih karya Kapusin di wilayah tersebut. Ketika Jepang berkuasa, misionaris di Borneo ditahan di kamp internir Lintang, Kuching. 

Gereja Katedral Sintang sebelum direnovasi. [Foto: Parkat Sintang]

Ketika hari raya Pentakosta pada 15 Mei 1932, Silvester, pemuda Jawa dibaptis, sedangkan Lindan, dibaptis pada 17 April 1933 di Kapel Suster, dengan nama baptis Cornelia Lindan. Kemudian pada 8 Oktober 1933, Theresia Empajoeng dan Cornelia Lindan menerima Sakramen Penguatan (Krisma) dari tangan Mgr. Pasificus Bos, OFM Cap. Pada 13 Februari 1941, Cornelia Lindan menikah dengan Fransiskus Kangkam dari Kampung Beluis. Fransiskus Kangkam adalah seorang pemuda yang menjadi pembantu Pastor Fulgentius. 

Saat itu, Sintang belum memiliki gereja. Perayaan ekaristi pada hari Minggu dilaksanakan di rumah pesangrahan sedangkan misa harian dilakukan di Kapel Suster. Pada 1 Mei 1932, misa pertama dilakukan di gereja baru yang diresmikan pada 5 Mei 1932 bertepatan dengan hari Kenaikan Tuhan Yesus. Gereja baru ini dipersembahkan pada Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, yang kemudian menjadi Pelindung Paroki Katedral Sintang. 

Pada 8 Mei 1932, rumah suster yang baru diresmikan. Walaupun gereja sudah diresmikan, bangku-bangku baru ada pada 15 Juli 1932. Sedangkan lonceng gereja disumbang oleh Mr. Drisfhout, seorang penganut Gereja Protestan. Gereja berfungsi secara penuh pada 12 Desember 1932. 

Masa awal stasi Sintang, tidak banyak orang Tionghoa yang masuk Katolik. Keturunan Tionghoa pertama menerima komuni saat itu hanya Joksit Ghioe Thian Djioen. Sebuah sejarah mencatat pada hari itu, 1 Desember 1935 berkumpul 60 orang Tionghoa sebagai calon katekumen di rumah Kwe Sang (Teng) Hi. 

Mereka belajar katekumen setiap minggu didampingi suster dan pastor. Pastor Fulgentius mendatangkan Bong Hok Leow dari Pontianak untuk mengajar mereka selama tiga minggu. Sebelum Bong Hok Leow pulang ke Pontianak, dia mengajar di Kampung Ampoh, Belitang. 

Setelah lima tahun berkarya dan mengawali Stasi Sintang, pada 30 Mei 1936, Pastor Fulgentius, OFM Cap pindah ke Singkawang. Fulgentius diganti oleh Pastor David JMC van de Made, OFM Cap. Kemudian datang juga Pastor Pasifikus Bong, OFMCap seorang imam pertama peranakan Tionghoa yang berasal dari Monterado. Ia datang di Sintang pada 21 Februari 1938, untuk mengajar katekumen. 

Dalam perkembangannya, Stasi Sintang menjadi Paroki Sintang. Kemudian menjadi Prefektur Apostolik terus menjadi Vikariat Apostolik dan lalu menjadi Keuskupan Sintang. Usaha untuk mengembangkan Stasi Sintang membutuhkan tenaga dan keuangan yang baik karena wilayah misi yang luas. Mgr. Valenberg yang menggantikan Mgr Pasificus Bos juga mencari tenaga dari kongregasi lain. 

Pada 1936, Mgr. Valenberg menawarkan kepada Serikat Maria Montfortan, Provinsi Belanda untuk mengambil alih sebagian karya misi kapusin di Kalimantan Barat. Pada 5 Juli 1924, sudah ada komunikasi melalui surat dari Provinsial Kapusin Belanda pada pihak SMM Belanda sebagai sebuah penjajakan. Namun pihak imam-imam SMM belum memberi jawaban atas tawaran tersebut. Pada tahun 1938, Mgr. Valenberg kembali menawarkan pada para Pastor SMM yang kemudian diterima. Namun, mereka belum mengutus misionaris yang rencananya akan mengambil alih wilayah Sintang dan Kapuas Hulu. 

Kedatangan Serikat Maria Monfortan benar-benar terwujud pada tahun 1939 sehingga pengambil alihan wilayah Sintang dan Kapuas Hulu terjadi. Ada tiga misionaris perdana SMM, yakni Pastor Harry L’ortye, Pastor Jan Linssen, dan Br. Bruno. Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, pada 29 April 1939, mereka tiba di Bika Nazareth sebagai stasi pertama yang diambil alih. 

Dua bulan kemudian, 10 Juni 1939, Pastor Linssen berangkat ke Putussibau dan mulai menetap di sana. Tanggal ini kemudian dianggap sebagai awal berdirinya Paroki Hati Maria tak Bernoda, Putussibau, sekaligus menjadi stasi pertama yang dibuka oleh SMM. Pada tahun 1940, datang lagi dua orang misionaris SMM dari Belanda untuk menambah tenaga misi mereka, yakni; Pastor Lambertus van Kessel dan Pastor Josef Wintraecken. 

Sekitar tiga tahun setelah kedatangan SMM di Borneo, terjadi Perang Dunia II. Situasi perang ini menghentikan sejenak pekerjaan misi seluruh misionaris. Jepang telah menahan para misionaris dan seluruh orang Belanda di Indonesia. Pada 1942-1946, semua misionaris SMM bersama dengan para misionaris lainnya di wilayah Kalimantan Barat diinternir (tahan) ke kamp Lintang, Kota Kuching oleh Pemerintah Jepang. 

Setelah Jepang angkat kaki pada 1945, para misionaris yang ditahan di Kuching kembali ke tempat masing-masing termasuk para misionaris. Pada tahun 1946, secara perlahan-lahan mengambil alih semua wilayah yang sebelumnya dilayani oleh kapusin. Pada tahun ini, Pastor van Kessel diutus ke Benua Martinus sedangkan Pastor L’ortye menetap di Sintang. Awal tahun 1947, seluruh paroki yang dilayani oleh kapusin di Wilayah Sintang dan Kapuas Hulu diambil alih oleh SMM. Hal ini tidak lepas dari semakin bertambahnya misionaris yang diutus dari Belanda. 

Pada 11 Maret 1948, wilayah Sintang dan Kapuas Hulu ditingkatkan statusnya menjadi Prefektur Apostolik Sintang dan lepas dari Vikariat Apostolik Pontianak. Pastor Lambertus van Kessel diangkat menjadi Prefek Apostolik Sintang yang pertama pada tanggal peningkatan status tersebut. 

Delapan tahun kemudian, 23 April 1956, status Prefektur Apostolik Sintang berubah menjadi Vikariat Apostolik. Pada 3 Januari 1961 menjadi Keuskupan Sintang. Sejak dari prefektur kemudian Vikariat Apostolik dan menjadi Keuskupan Sintang, tampuk kepemimpinan diemban oleh Mgr. Lambertus Van Kessel, SMM sampai mengundurkan diri pada tahun 1973.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Bermula dari Pesanggrahan Milik Belanda jadi Stasi Sintang

Selengkapnya