Dokter Jepang juga sadis. Mgr Tarsicius Valenberg ditendang karena perkara remeh temeh. Regen, sandi itu diucapkan ketika ada tentara Jepang mulai mendekati barak tahanan. Setiap barak memiliki kode rahasia masing-masing.
[Foto: Dokument Bruder MTB] |
Suatu hari pernah juga Mgr. Tarsicius Valenberg
ditendang oleh seorang dokter Jepang hanya karena perkara sepele. Ketika
melihat Mgr. Valenberg ditendang, beberapa misionaris melindungi Mgr. Valenberg
dengan menggelilinginya sehingga dokter itu tidak dapat meneruskan
tendangannya.
Dalam segala penderitaan dan kemiskinan di Kamp
Lintang. Para suster masih lebih baik nasibnya dibandingkan para pastor dan
bruder. Kalau ada pastor atau bruder yang diminta membantu di barak perempuan,
para suster masih dapat menghidangkan kue yang terbuat dari ubi dan tepung
serta kopi walaupun dalam segala kemiskinannya.
Hampir semua penghuni kamp misionaris di malam hari diisi
dengan belajar. Hitung dagang, bahasa Arab, Bahasa Melayu, bahasa Tionghoa,
Bahasa Inggris, hingga Tata Buku. Di antara tahanan itu ada beberapa yang
sering memberi les; seperti Br. Bernulfus, MTB memberi les bahasa Melayu dan Bahasa
Arab serta tulisan steno.
Kemudian Br. Canisius dan Br. Valentinus memberi les
bahasa Tionghoa dan tulisan Tionghoa. Br. Bruno memberi les tata buku dan hitung
dagang, sedangkan untuk bahasa Inggris diberikan oleh Pastor Mill-Hill.
Kemudian pada hari minggu mereka membunuh rasa sepi dengan bermain kartu dan
catur atau dam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara barak-barak
tahanan memiliki kata sandi sendiri-sendiri. Apabila dalam keadaan darurat
mereka diperiksa oleh serdadu Jepang atas persoalan terkait hal yang
dirahasiakan oleh para tahanan. Di barak para misionaris, ada kata sandi yang
mereka sepakati bersama kalau menghadapi keadaan bahaya pemeriksaan Jepang
yakni kata regen yang berarti hujan dengan arti sandinya ialah bahwa
Jepang mendekat, hati-hati. Jika para serdadu Jepang hendak melakukan
pemeriksaan barak-barak, maka kata regen terus disampaikan ke penghuni
barak berikut agar barang-barang rahasia dapat disembunyikan.
Tentara Inggris dalam segala keterbatasannya, Leonard
AT Becket, seorang insiyur radio berpengalaman mampu merakit radio sendiri. Suku
cadang dari seorang Tionghoa di Kuching yang diperoleh dengan cara menyelundup
pada malam hari. Radio ini disebut dengan Kobus tetapi seringkali diberi nama
lain sebagai sandi agar tidak diketahui Jepang. Bagi barak lain menyebut Kobus
ini Nyonya Tua yang diletakkan di bawah meja. Sampai pada hari para tahanan
dibebaskan tidak satupun serdadu Jepang mengetahui bahwa Kobus membawa
berita-berita terbaru bagi tahanan.
Pada suatu pagi, sekitar 60 orang anggota serdadu
Jepang memasuki gerbang, dengan segera kata regen diteruskan ke setiap
barak. Ternyata pagi itu para serdadu hendak memeriksa seluruh barak tahanan.
Namun demikian tidak satupun hal-hal yang dapat dijadikan alat untuk memberi
hukuman pada tahanan.
Beberapa kertas catatan dengan tulisan steno
dipertanyakan oleh komandan regu serdadu, tetapi toh pertanyaan itu dapat
dijawab dengan tenang oleh mereka bahwa itu bukan hal yang berbahaya bagi
Jepang. Semua penghuni barak dipanggil satu persatu, tanpa terkecuali Mgr. Tarsicius
van Valenberg.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Tanah Lapang Belakang Katedral Kuching jadi Lokasi Makam Tahanan di Kamp Lintang