Kisah Toleransi di Pedalaman; Agama hanya Jalan ke Tuhan

October 29, 2022
Last Updated


Trit ini saya tulis dari catatan sehari-hari selagi bertugas sebagai humas perusahaan dan pendamping masyarakat lokal, untuk menjawab pertanyaan perihal relasi agama dan suku Dayak.

Pada Pemilihan Umum 2019, sebagian rakyat Indonesia sempat terpolarisasi setelah sejumlah politisi menggunakan agama sebagai "alat" menarik pendukung. Tampaknya, kita perlu belajar lagi kepada Orang Dayak.

Kami yang bekerja di seputar Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat menyempatkan diri mengunjungi sebuah desa di Kecamatan Ketungau Tengah (tempat kerja di Kecamatan Ketungau Hilir).

Sebuah bangunan yang kami kunjungi, adalah sebuah bangunan gereja, sekilas mirip rumah betang atau rumah panjang, tempat tinggal khas suku Dayak di Kalimantan.

Bangunannya panjang ke belakang dengan bentuk rumah panggung dan terbuat dari kayu. Sebuah tanda salib menancap di atap pintu masuk, menjadi penanda bangunan itu merupakan tempat ibadah umat Kristiani.

Pintu gereja tertutup rapat, hari itu, tak ada jemaat. Pak Ambresius Murjani, seorang pendamping Desa Ketungau Hulu yang juga warga setempat mengungkapkan, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) itu merupakan rumah ibadah umat Kristen Protestan.

GKII terletak di Dusun Lepung, Desa Panggi Agung, Kecamatan Ketungau Tengah. Bangunannya berdiri sendiri, di atas tanah tinggi di pinggir jalan menuju perbatasan Indonesia-Malaysia. Tak ada rumah penduduk di kiri kanannya, hanya terlihat satu rumah di seberang jalan, dan beberapa rumah panggung lainnya berjarak 500 meter dari gereja.

Kami bertemu gereja di desa Panggi Agung, salah satu desa yang masuk wilayah perkebunan kelapa sawit tempat kami kerja di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). GKII bukan satu-satunya gereja yang kami temui di pedalaman Kalimantan. Banyak bangunan gereja lainnya, termasuk gereja umat Katolik dan juga masjid.

Rumah-rumah ibadah ini berdiri tenang, meski berada di tempat yang sangat terpencil, jauh dari rumah penduduk, dan bahkan berada di wilayah yang penduduknya mayoritas beragama berbeda dari tempat ibadah tersebut.

Seperti di Kecamatan Ketungau Tengah. Mayoritas penduduknya beragama Protestan, namun di wilayah ini juga terdapat gereja Katolik dan sebuah pondok pesantren.

Kisah toleransi di rumah panjang (Betang) sudah berlangsung lebih dari satu abad

Di Kabupaten Sintang, yang wilayahnya seluas Provinsi Jawa Barat, sebagian besar penduduknya menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Di beberapa desa dan kecamatan, agama mayoritas adalah Protestan dan Katolik. Kendati berbeda-beda agama, mereka menegaskan berasal dari satu suku, yakni suku Dayak Iban. Berasal dari garis leluhur yang sama, membuat masyarakat Dayak di Sintang tidak menjadikan agama sebagai identitas apalagi sebagai pembeda di antara mereka.

Agama itu hanya jalan ke Tuhan saja, kita satu keluarga. Intinya satu darah (sesama orang Dayak),” ucap Pak Murjani.

Karena itu, tak heran jika di banyak keluarga di Sintang, anggotanya menganut agama berbeda-beda. Bahkan di satu rumah betang yang usianya sudah ratusan tahun, Rumah Betang Ensaid Panjang namanya, penghuninya menganut agama berbeda-beda.

Rumah Betang Ensaid Panjang terletak di Dusun Rentap Selatan Desa Sepanjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Dari Kota Sintang, jaraknya sekitar 60 km dengan jarak tempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam menggunakan kendaraan roda empat.

Tempatnya sangat terpencil, dengan kondisi jalan yang belum semuanya beraspal. Perjalanan menuju rumah betang ini melewati pinggir bukit, salah satunya Bukit Kelam.

Rumah Betang Ensaid Panjang berbentuk rumah panggung dengan semua bahannya terbuat dari kayu. Panjangnya sekitar 118 meter dengan lebar 17 meter. Jarak antara tanah hingga lantai rumah sekitar 2 meter, dengan total tinggi bangunan secara keseluruhan mencapai 12 meter.

Di dalam rumah betang ini terdapat 25 pintu bilik yang memisahkan ruangan yang satu dengan ruangan lainnya. Sementara di depan pintu-pintu itu terdapat ruangan sepanjang rumah betang tanpa sekat yang disebut ruai. Ruangan tanpa sekat ini menjadi seperti ruang publik tempat beraktivitas semua penghuni rumah betang.

Rumah panjang (Betang) ini dihuni 32 kepala keluarga yang memeluk agama berbeda. Pak Sembai, Kepala Dusun Rentap Selatan yang memimpin rumah betang ini mengungkapkan, Rumah Betang Ensaid Panjang dihuni oleh 101 jiwa dengan 32 kepala keluarga.

Penghuninya bekerja sebagai petani di ladang dan menganut agama Katolik dan Protestan. Sebelumnya, kata Pak Sembai, di rumah ini juga pernah tinggal keluarganya yang beragama Islam, namun keluar karena bekerja.

Di rumah Betang yang penghuninya berasal dari satu keturunan ini, semua keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat, bukan berdasarkan agama mayoritas penghuninya, bukan juga berdasarkan agama yang dianut oleh pemimpinnya.

Sembali sendiri mengaku sebagai penganut agama Katolik, tapi tidak pernah memaksa mengambil keputusan untuk kepentingan dusun atau warga di rumah betang berdasarkan agama yang dianutnya.

“Keputusan itu bukan keputusan ketua, tapi mana yang enak dipakai bersama. Tidak bisa kita memaksakan orang lain untuk mengikuti agama kita, gak bisa,” kata Sembai saat kami temui.

Sembali menegaskan, agama adalah hubungan dengan Tuhan. "Kita bebas bergaul dengan siapa saja, kita tidak harus bergaul dengan si A, mentang-mentang kita di sini mayoritas Katolik misalnya terus yang lain gak boleh, tidak begitu. Itu adalah darah daging kita, saudara kita juga, kalau masalah keyakinan itu kita sama yang di atas,” ujarnya.

Bagi Pak Sembali dan juga masyarakat Dayak lainnya di Sintang, yang utama adalah kekeluargaan. Apalagi jika mereka lahir dari garis keturunan yang sama, hanya satu yang mengikat mereka yakni adat dan budaya Dayak.

Sembali sangat menyadari bahwa dia dan warga kampungnya beragama setelah agama masuk di wilayah mereka. Sementara orangtua mereka dulu belum beragama.

“Tapi Tuhan nenek moyang kita sudah ada menghormati satu sama lain,” ungkapnya.

Saat perayaan Lebaran dan Natal, keluarga saling mengunjungi. Menempatkan rasa kekeluargaan di atas agama juga diungkapkan oleh Imau. Ketua adat Suku Kumpang di Desa Nanga Bayan, desa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kecamatan Ketungau Hulu itu mengaku beragama Protestan. Sementara orangtuanya baru menganut agama Islam.

“Mamak dan bapak kandung saya Muslim, masuk Islam, ndak pernah masalah. Lebaran kita ke sana (rumah orangtua), kalau Natal dia ke sini (rumah Imau),” ujar Imau.

Imau mengaku, keluarga dan tetangganya banyak masuk Islam. Tapi, tak ada satu pun yang menjadikan hal itu sebagai masalah. Mereka tetap sebagai satu keluarga, tetap sebagai warga kampung yang berasal dari satu keturunan yakni Dayak Iban.

“Kalau di sini (warga Desa Nanga Bayan) masuk Islam, tapi aslinya orang Dayak,” ucapnya.

Toleransi beragama bahkan mengakar hingga kehidupan sehari-hari. Pak Murjani pun mengungkapkan hal yang sama. Malah, kata Pak Murjani yang juga menjadi pemandu jalan kami, dia dan istrinya yang beragama Katolik, turun tangan mengarahkan sepupu-sepupu mereka yang beragama Islam untuk belajar ilmu agama di sekolah Islam yang baik, agar bisa mengajarkan ilmu agama kepada umat di tempat mereka tinggal.

Atas arahannya itu, sepupunya saat ini berhasil menjadi penyuluh agama Islam di desa perbatasan, Nanga Bayan. “Saya dan istri bawa mereka sekolah (agama Islam) di Sintang, dari 3, ada 2 yang berhasil, sekarang satu jadi penyuluh agama Islam,” ujarnya sambil tersenyum.

Menurut Pak Murjani, dia mengarahkan sepupu-sepupunya belajar agama Islam agar orang Dayak belajar Islam dari orang Dayak sendiri.

“Kalau orang luar kan meragukan, dia hanya fokus di agama, tapi lupa darahnya. Kalau kita bisa kenapa suruh orang lain, kalau orang kita (Dayak) tidak akan bawa (ajaran) aneh-aneh. Kan rugi kita, masa saudara dipisahkan oleh agama, lalu gak boleh pergi sama-sama,” ujar bapak tiga anak ini.

Hal ini mirip dengan tetangga Mess kami, Pak Ensamit seorang kepala adat tingkat kampung tempat perusahaan kami berada. Salah satu cucunya yg berayahkan Jawa Muslim setiap sore beliau antarkan ke masjid milik perusahaan untuk ikut TPA. Pak Ensamit sendiri seorang Kristen.

Agama itu tidak membedakan, di sini kita keluarga. Pak Murjani mengungkapkan, orang Dayak sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Karena itu, meski berbeda-beda agama, mereka tetap berpegang teguh pada asal-usul mereka.

“Kita di sini hanya beda agama, kalau untuk suku memang kita suku Dayak, agama itu tidak membedakan, di sini kita itu keluarga, tidak ada yang membuat kita kacau walaupun beda. Hanya beda agama, beda kepercayaan, tapi sukunya suku Dayak,” ujar Pak Runa, Kepala Desa Nanga Bayan.

Pak Runa merupakan kepala desa keempat di Nanga Bayan. Dia menganut agama Katolik, sementara banyak sepupunya beragama Islam. Bahkan ada yang menjadi penyuluh agama Islam di desa yang dipimpinnya.

Mengenai Kata "Melayu" jadi sebutan bagi keluarga yang masuk Islam

Di Sintang, orang Dayak yang masuk Islam disebut Melayu. Namun, kata Pak Murjani dan juga warga lainnya, Melayu hanya sebutan untuk membedakan bahwa dia beragama Islam. Jika ada anggota keluarga yang memeluk Islam, otomatis dia menyebut dirinya Melayu, begitu juga orang lain akan menyebutnya Melayu.

Namun, tidak ada satu pun yang mempermasalahkan sebutan Melayu ini, karena mereka menyadari asal usulnya tetap sebagai orang Dayak.

Sebutan Melayu ini tak ada kaitannya dengan suku Melayu di Sumatera. Penduduknya tetap asli Dayak, setelah masuk Islam menyebut dirinya Melayu. Ada juga yang menyebut Dayak Senganan.

Berdasarkan catatan sejarah, selain animisme, agama yang pertama berkembang di Sintang adalah agama Hindu yang berpusat di Kerajaan Sintang. Kerajaan ini kemudian beralih menjadi kerajaan Islam setelah penguasanya memeluk agama Islam.

Belakangan dua agama baru masuk yakni agama Katolik dan Protestan seiring kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke wilayah Kalimantan. Hingga saat ini, tiga agama ini yang paling banyak penganutnya di Sintang.

Bahkan sejak tahun 1800, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa Kesultanan Sintang menyatukan semua suku dan agama di wilayahnya dengan sebuah ritual yang disebut Umpan Benua. Ritual ini mirip seperti Sedekah Bumi yang berlangsung di Pulau Jawa, sebagai ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Sepenggal Kisah Tiga Agama di Desa Tapal Batas

Toleransi beragama di Kabupaten Sintang tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah yang sudah ramai penduduknya. Tapi juga hingga ke desa terpencil di ujung perbatasan antara Kalimantan Barat, Indonesia dan Sarawak, Malaysia.

Di Nanga Bayan, nama desa yang berada di tapal batas Indonesia-Malaysia yang jalannya belum beraspal dan listrik hanya mengandalkan cahaya matahari, penduduknya yang berjumlah 1.165 jiwa menganut 3 agama yakni Katolik, Protestan, dan Islam.

Keberadaan tiga agama ini terlihat dari rumah ibadah milik tiga agama tersebut, yang berdiri tegak menyambut siapa pun yang masuk ke Desa Nanga Bayan.

Saat hendak memasuki gapura desa, kita disambut oleh bangunan Gereja Protestan yang berdiri di sebelah kiri jalan. Sekitar 200 meter setelah itu, sebuah bangunan Gereja Katolik menyapa di pinggir kanan jalan.

Melewati jembatan kayu masuk ke perkampungan, kurang dari 200 meter, sebuah masjid berbentuk rumah panggung menyambut di sebelah kiri jalan.

Desa Nanga Bayan, Islam merupakan agama minoritas. Tercatat jumlah penganutnya hanya 11 persen. Sedangkan penganut agama Katolik 47 persen, dan Protestan 42 persen.

Kendati demikian, desa ini memiliki penyuluh agama Islam dan penganutnya bebas menjalankan ajaran agamanya. Seperti saat bulan Ramadan Mei lalu, warga non-Islam menghormati dan mengunjungi keluarga dan tetangganya saat Hari Raya Idul Fitri.

“Hanya beda agama, tapi sukunya suku Dayak,” ujar Pak Runa, Kepala Desa Nanga Bayan.

Uniknya, meski mayoritas penduduknya beragama Katolik dan Protestan, namun guru agama yang tersedia di satu-satunya sekolah dasar di desa itu hanya guru pendidikan agama Islam. Agar anak-anak di luar Islam bisa mendapat pendidikan tentang agama mereka, Runa dan juga warga lainnya berharap, pemerintah mendatangkan guru agama Katolik dan Protestan di SD Negeri di desa itu.[*]

Penulis: Didien Khaerudin

Selengkapnya