Cerita ini dimulai dengan banyak keluhan mungkin. Apakah kita perlu berkenalan seperti pada umumnya? Singkat saja ya, namaku Sari, anak satu-satunya dari seorang ibu. Ayahku sudah tiada beberapa tahun silam. Dan, beginilah kisah rumit kehidupan sederhanaku ini. Hidup di tengah pandemi seperti ini hampir-hampir membuatku gila dan putus asa.
Di
seperempat abad umurku ini, aku masih sibuk mencari-cari kerja. Demi untuk
bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup kami berdua, tentu saja. Jangan ditanya ibuku
kerja apa? Demi menyambung hidup sejak ayahku tiada, ibu berinisiatif membuka
usaha kecil-kecilan. Membuka warung sembako yang tidak begitu besar tapi
setidaknya pendapatannya cukup untuk memenuhi hidup kami berdua. Sampai pandemi
ini meraja, menjadi cobaan besar sebagian orang itulah titik awal kesusahan
menghampiri keluarga kami. Aku mulai sibuk melamar kerja.
Ibu,
membawa kudapan untuk menemani sore hari kami. Sejujurnya aku malas berada di situasi
seperti ini bersama ibu. Karena ibu akan terus bertanya dan mengoceh.
“Kenapa
belum dapat kerja?”
“Main
handphone terus!”
Masih
banyak kalimat-kalimat lainnya yang kadang memancing emosiku tersulut. Ibu
tidak tahu saja sudah berapa lamaran yang kumasukkan ke lowongan pekerjaan yang
kubaca di sosial media. Ah, susah menjelaskan pada ibu.
“Sar,
main handphone terus gimana mau dapat kerja?” Ibu menatapku keheranan.
Aku
membalas tatapan ibu dengan menahan emosi yang sudah mulai terpancing.
Entahlah, beberapa hari terakhir ini aku teramat sensitif untuk mendengarkan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
“Bu,
bisa tidak untuk mendoakan dan selalu menyemangatiku saja? Ibu pikir aku
bermain handphone melakukan hal yang sia-sia? Aku sedang melihat
lowongan pekerjaan dari handphone Bu!” jawabku sedikit dengan nada
tinggi.
Berusaha
menahan emosi yang sudah memuncak ini. Ibu menghela napas perlahan. Aku tahu
Ibu juga berusaha untuk memahami kondisiku yang seperti ini, pengangguran.
Sementara
aku masih melamar dan menunggu panggilan interview tentu saja kegiatanku
sehari-hari membantu ibu untuk menjaga warung kecil kami ini. Sumber
penghasilan kami sampai saat ini. Setelah percakapan yang hampir memancing
emosiku ini berakhir, aku kembali ke kamar. Ibu juga beranjak untuk
mengistirahatkan tubuh rentanya.
Jika
kalian berpikir aku seperti perempuan lain yang terlalu melankolis meratapi
hidup yang begini-begini saja, kalian salah. Karena sudah terlalu banyak
menghadapi permasalahan hidup yang tiada habis-habisnya ini aku jadi tidak
terlalu royal untuk sekadar menangisi keadaanku yang sekarang ini. Untuk apa
menangis meraung-raung meratapi nasib tapi tidak berusaha untuk membuat keadaan
ini menjadi lebih baik? Sia-sia saja.
Pagi
ini, seperti biasa aku tidak melulu mengecek handphone. Pagi ini aku
mulai membantu ibu mengurusi warung kecil kami. Membersihkan dan menata stock
barang-barang, menyiapkan pesanan titipan tetangga dari hari sebelumnya.
Begitulah kira-kira gambaran kegiatan pagi ini.
“Sari!”
suara khas ibu-ibu yang berdatangan untuk berbelanja di warung kami. Aku hanya
menyapa seperti biasa, mengambilkan pesanan beberapa pelanggan setia kami.
Menghitung, menerima pembayaran, memberikan kembalian jika uang belanjaannya
lebih. Begitu terus, tidak terasa hari sudah siang, matahari sudah bertengger
tinggi di langit membakar peluh.
Dan,
sudah setengah harian ini aku tidak mengecek handphone-ku, jadi aku
memutuskan mengecek email atau kotak masuk pesan adakah panggilan interview
atau kabar baik yang kuharapkan? Seperti biasa tidak ada. Tentu saja itu bukan
jalan buntu untuk terus berusaha.
Jangan
tanyakan di mana ibu ya? Ibu tentu saja sedang duduk manis bertukar cerita
dengan para tetangga yang mampir untuk berbelanja. Sesekali tertawa dengan
guyonan khas ibu-ibu yang kadang tidak aku mengerti.
Tak
berapa lama, seorang perempuan seusiaku datang menyapaku. Anak tetanggaku,
teman masa kecilku. Kami sudah jarang berinteraksi sejak menginjak masa-masa
sekolah karena aku dan Dian tidak lagi satu sekolah sejak lulus SD. Kami
memilih sekolah yang berbeda. Kondisi Dian saat ini tak jauh berbeda denganku.
Kami sama-sama sedang mencari pekerjaan. Bedanya hanya orangtua Dian tidak
secerewet dan sekolot ibuku, itu saja.
“Sari,
bagaimana udah dapat panggilan kerja?” Dian mengambil duduk di hadapanku. Aku
menggeleng menanggapinya. Dian kemudian beringsut memaksakan senyum.
“Sama
aku juga,” katanya kemudian.
Aku
membenarkan posisi dudukku. Tertarik untuk berbagi cerita dengan teman seperjuangan.
“Sudah
melamar lagi, tidak? Aku memasukkan lamaran di setiap lowongan pekerjaan yang
aku lihat di sosial media.”
“Aku
juga tapi tidak semuanya kumasukkan lamaran Sar, pilih-pilih juga heheh.”
Kemudian
cerita seputar mencari kerja itu bergulir ke topik yang lain, mulai dari
selepas lulus SD karena tidak satu sekolah, masa-masa kuliah dan perjuangan
untuk lulus yang tidak mudah, berlanjut dengan topik-topik receh tentang
kesukaan kami pada K-pop. Tanpa terasa waktu berlalu dan Dian pamit pulang. Sedang
aku dan ibu sibuk untuk membereskan dan menutup warung karena ini sudah
waktunya untuk istirahat.
Kupikir beranjak dewasa itu mudah, tapi ternyata proses menuju dewasa penuh perjuangan. Apalagi ini, mencari pekerjaan di zaman yang serba susah karena pandemi, bukan hanya diriku atau Dian saja yang sedang memperjuangkan hidup kami tapi banyak orang juga demikian.
Penulis:
Eda Oktavia
Artikel Lain: Adrenalin Hujan