Perempuan yang Menunggu Hari Interview

October 15, 2022
Last Updated


Cerita ini dimulai dengan banyak keluhan mungkin. Apakah kita perlu berkenalan seperti pada umumnya? Singkat saja ya, namaku Sari, anak satu-satunya dari seorang ibu. Ayahku sudah tiada beberapa tahun silam. Dan, beginilah kisah rumit kehidupan sederhanaku ini. Hidup di tengah pandemi seperti ini hampir-hampir membuatku gila dan putus asa.


Di seperempat abad umurku ini, aku masih sibuk mencari-cari kerja. Demi untuk bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup kami berdua, tentu saja. Jangan ditanya ibuku kerja apa? Demi menyambung hidup sejak ayahku tiada, ibu berinisiatif membuka usaha kecil-kecilan. Membuka warung sembako yang tidak begitu besar tapi setidaknya pendapatannya cukup untuk memenuhi hidup kami berdua. Sampai pandemi ini meraja, menjadi cobaan besar sebagian orang itulah titik awal kesusahan menghampiri keluarga kami. Aku mulai sibuk melamar kerja.

 

Ibu, membawa kudapan untuk menemani sore hari kami. Sejujurnya aku malas berada di situasi seperti ini bersama ibu. Karena ibu akan terus bertanya dan mengoceh.

 

“Kenapa belum dapat kerja?”

“Main handphone terus!”

 

Masih banyak kalimat-kalimat lainnya yang kadang memancing emosiku tersulut. Ibu tidak tahu saja sudah berapa lamaran yang kumasukkan ke lowongan pekerjaan yang kubaca di sosial media. Ah, susah menjelaskan pada ibu.

 

“Sar, main handphone terus gimana mau dapat kerja?” Ibu menatapku keheranan.

 

Aku membalas tatapan ibu dengan menahan emosi yang sudah mulai terpancing. Entahlah, beberapa hari terakhir ini aku teramat sensitif untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

“Bu, bisa tidak untuk mendoakan dan selalu menyemangatiku saja? Ibu pikir aku bermain handphone melakukan hal yang sia-sia? Aku sedang melihat lowongan pekerjaan dari handphone Bu!” jawabku sedikit dengan nada tinggi.

 

Berusaha menahan emosi yang sudah memuncak ini. Ibu menghela napas perlahan. Aku tahu Ibu juga berusaha untuk memahami kondisiku yang seperti ini, pengangguran.

 

Sementara aku masih melamar dan menunggu panggilan interview tentu saja kegiatanku sehari-hari membantu ibu untuk menjaga warung kecil kami ini. Sumber penghasilan kami sampai saat ini. Setelah percakapan yang hampir memancing emosiku ini berakhir, aku kembali ke kamar. Ibu juga beranjak untuk mengistirahatkan tubuh rentanya.

 

Jika kalian berpikir aku seperti perempuan lain yang terlalu melankolis meratapi hidup yang begini-begini saja, kalian salah. Karena sudah terlalu banyak menghadapi permasalahan hidup yang tiada habis-habisnya ini aku jadi tidak terlalu royal untuk sekadar menangisi keadaanku yang sekarang ini. Untuk apa menangis meraung-raung meratapi nasib tapi tidak berusaha untuk membuat keadaan ini menjadi lebih baik? Sia-sia saja.

 

Pagi ini, seperti biasa aku tidak melulu mengecek handphone. Pagi ini aku mulai membantu ibu mengurusi warung kecil kami. Membersihkan dan menata stock barang-barang, menyiapkan pesanan titipan tetangga dari hari sebelumnya. Begitulah kira-kira gambaran kegiatan pagi ini.

 

“Sari!” suara khas ibu-ibu yang berdatangan untuk berbelanja di warung kami. Aku hanya menyapa seperti biasa, mengambilkan pesanan beberapa pelanggan setia kami. Menghitung, menerima pembayaran, memberikan kembalian jika uang belanjaannya lebih. Begitu terus, tidak terasa hari sudah siang, matahari sudah bertengger tinggi di langit membakar peluh.

 

Dan, sudah setengah harian ini aku tidak mengecek handphone-ku, jadi aku memutuskan mengecek email atau kotak masuk pesan adakah panggilan interview atau kabar baik yang kuharapkan? Seperti biasa tidak ada. Tentu saja itu bukan jalan buntu untuk terus berusaha.

 

Jangan tanyakan di mana ibu ya? Ibu tentu saja sedang duduk manis bertukar cerita dengan para tetangga yang mampir untuk berbelanja. Sesekali tertawa dengan guyonan khas ibu-ibu yang kadang tidak aku mengerti.

 

Tak berapa lama, seorang perempuan seusiaku datang menyapaku. Anak tetanggaku, teman masa kecilku. Kami sudah jarang berinteraksi sejak menginjak masa-masa sekolah karena aku dan Dian tidak lagi satu sekolah sejak lulus SD. Kami memilih sekolah yang berbeda. Kondisi Dian saat ini tak jauh berbeda denganku. Kami sama-sama sedang mencari pekerjaan. Bedanya hanya orangtua Dian tidak secerewet dan sekolot ibuku, itu saja.

 

“Sari, bagaimana udah dapat panggilan kerja?” Dian mengambil duduk di hadapanku. Aku menggeleng menanggapinya. Dian kemudian beringsut memaksakan senyum.

 

“Sama aku juga,” katanya kemudian.

 

Aku membenarkan posisi dudukku. Tertarik untuk berbagi cerita dengan teman seperjuangan.

 

“Sudah melamar lagi, tidak? Aku memasukkan lamaran di setiap lowongan pekerjaan yang aku lihat di sosial media.”

 

“Aku juga tapi tidak semuanya kumasukkan lamaran Sar, pilih-pilih juga heheh.”

 

Kemudian cerita seputar mencari kerja itu bergulir ke topik yang lain, mulai dari selepas lulus SD karena tidak satu sekolah, masa-masa kuliah dan perjuangan untuk lulus yang tidak mudah, berlanjut dengan topik-topik receh tentang kesukaan kami pada K-pop. Tanpa terasa waktu berlalu dan Dian pamit pulang. Sedang aku dan ibu sibuk untuk membereskan dan menutup warung karena ini sudah waktunya untuk istirahat.

 

Kupikir beranjak dewasa itu mudah, tapi ternyata proses menuju dewasa penuh perjuangan. Apalagi ini, mencari pekerjaan di zaman yang serba susah karena pandemi, bukan hanya diriku atau Dian saja yang sedang memperjuangkan hidup kami tapi banyak orang juga demikian.


Penulis: Eda Oktavia


Artikel Lain: Adrenalin Hujan

Selengkapnya