[Foto: Dokument Bruder MTB]
Pada 25 September 1945, hari penyerahan kekuasaan
Jepang kepada militer Ausralia di Pontianak. Dalam peristiwa ini, Mgr.
Valenberg juga ikut bersama regu perwira Australia. Di Pontianak, Mgr. Valenberg
diterima dengan hormat dan kegembiraan besar.
Saat itu juga Mgr. Valenberg bertemu dengan Pastor
Pasifikus Bong, OFMCap yang sebelumnya diisukan dibunuh juga oleh Jepang. Namun
penjara Mempawah yang menyelamatkannya. Ketika semua orang-orang berpengaruh
dan penting di Kalbar dari berbagai suku dibawa ke pembantaian Mandor, Pastor Pasifikus
Bong, OFMCap sedang di penjara sehingga luput dan dapat lolos dari jerat maut.
Akhirnya waktu dinantikan telah tiba bagi para tawanan
untuk benar-benar bebas dari komplek Kamp Bukit Lintang dan kota Kuching pada
30 September 1945. Para tahanan meninggalkan kamp dan Kota Kuching dengan kapal
perang Amerika menuju ke Pulau Labuan dekat Brunai Darusalam. Di Pulai Labuan
ini para tahanan Jepang dipulihkan kesehatan jiwa dan raganya. Semua mereka
diperiksa kesehatannya di rumah sakit tentara yang ada di situ.
Boleh dikatakan di Labuan ini para misionaris
benar-benar menikmati hari yang begitu bebas. Mereka boleh berenang sepuasnya
dan berjalan-jalan serta makan makanan yang bergizi. Di Labuan ini markas besar
Legerkorps Australia. Di sini dilengkapi oleh tenda-tenda besar untuk para
tahanan menginap. Ada juga gereja sementara dengan tenda besar dan dilayani
oleh imam tentara yang berjumlah 6 orang. Saat di Labuan, datang juga
perwakilan NICA (Netherlands Indisch Civil Administration). Dari NICA
misionaris mendapat uang saku untuk membeli oleh–oleh yang akan dibawa ke
Borneo Barat.
Namun sangat mengerikan kisah-kisah para tahanan dalam
beberapa surat rahasia Jepang yang diketahui oleh mereka sendiri setelah
dibebaskan. Setelah mereka mengetahui hal yang sangat mengerikan itu, mereka
baru sadar bahwa sejumlah 250 orang yang ditahan di Kamp Lintang. Semuanya dibawa
ke Yesselton dan dibunuh oleh Jepang. Bahkan Mgr. Wachter dengan sembilan imam
dibunuh dan mayatnya dibuang dan tidak pernah ditemukan sampai saat ini.
Yang sangat mengerikan lagi bahwa di Kamp Sandakan,
jumlah tahanan pada awal masuk sebanyak 2.700 orang, dari jumlah tersebut 200
orang dipindahkan di Kuching. Kemudian 1.500 orang meninggal dunia karena disiksa
dan penyakit akibat kurang makan. Kemudian 1.000 orang dipaksa menjadi “kuda
beban” mengikuti serdadu Jepang memikul logistik ke Randau yang jaraknya 300 kilometer
di pengunungan hutan rimba. Dari seribu orang tahanan tersebut, hanya 143 orang
yang benar-benar sampai ke Randau, yang lainnya dibunuh di hutan belantara. Kemudian dari 143 orang yang sampai di Randau
hanya 6 orang yang berani melawan dan melarikan diri ketika hendak dibunuh.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Berbekal Koin Emas, Radio Kobus di Bawah Meja Siarkan Kekalahan Jepang