Siapa yang dapat memastikan masa depan? Atau meramal dengan yakin bahwa suatu ketika akan terjadi peristiwa ini dan itu? Satu pun tidak ada yang bisa? Berawal dari Kapitel atau sederhananya boleh dikatakan sebagai Musyawarah Besar Tarekat Bruder MTB Indonesia 2017. Kebetulan saja saya dipilih oleh anggota Sidang Kapitel Bruder MTB Provinsi Indoensia sebagai utusan dari Indonesia untuk mengikuti Kapitel Umum di Belanda.
Rapat akbar para Bruder MTB itu disebut Kapitel Umum. Diselenggarakan di Huijbergen, yang terletak di perbatasan antara Belgia dan Belanda. Kurang lebih dua jam perjalanan dari Bandara Schipol menuju ke Huijbergen. Di Huijbergen ada Rumah Induk atau Mother House sebagai cikal bakal bertumbuh dan berkembangnya kongregasi Bruder Congregasi Fraternitas Huijbergen (CFH) yang di Indonesia dikenal dengan sebutan para Bruder MTB.
Bulan September menjadi bulan berdirinya Kongregasi Bruder MTB. Sebagaimana tradisi kongregasi, maka setiap enam tahun sekali pada September selalu diadakan Kapitel Provinsi dan Kapitel Umum untuk memilih pemimpin dan dewannya serta keputusan-keputusan penting kongregasi. Ah, sebenarnya saya bukan orang penting, hanya saya termasuk salah satu orang yang beruntung, karena boleh ikut dalam proses kapitel ini sampai ke Negeri Kincir Angin, tentu sejara akan mencatatnya dalam memorial Kongregasi Bruder MTB.
Mengapa saya mengatakan sebuah keberuntungan? Ya, karena
dapat mengikuti sidang Kapitel dengan segala agenda yang penuh dengan diskusi
serius tentang masa depan kongregasi dan persoalannya. Lebih beruntung lagi
karena saya bersama rombongan utusan dari Indonesia diberi kesempatan untuk
ziarah ke Roma dan Asisi. Tentu, pertama-tama dalam tulisan ini sekadar untuk
berbagi pengalaman semata, siapa tahu pembaca juga memiliki keberuntungan yang
sama seperti yang saya alami. Ya, siapa tahu rezeki setiap orang. Semoga.
Untuk itu, dalam tulisan ini saya hanya ingin
bercerita tentang perziarahan kami di Kota Roma dan Kota Asisi, karena kedua
kota ini memiliki situs sejarah dunia. Adapun
situs-situs sejarah tersebut hanya diketahui melalui pelajaran sejarah dunia,
dan pada kesempatan ziarah ini saya dapat melihat secara langsung situs-situs
sejarah tersebut. Tentu selain alasan tersebut, saya juga dapat menikmati
obyek-obyek wisata rohani. Asyik bukan? Tentu donk karena ini suatu kesempatan
yang tidak datang untuk kedua kalinya. Sebenarnya September 2014, saya juga
pernah berziarah ke kota yang sama, pada moment yang sama pula, tetapi ziarah
kali ini sebagai sebuah perziarahan yang mengingatkan saya pada perjalanan
hidup saya sendiri. Ya…..perjalanan hidup perlu di beri makna agar semakin
berarti bagi sesama.
Subuh di
Huijbergen, Siang di Roma
Hari Jumat, 28 Oktober 2017, pukul 03.00 waktu
Belanda, kami sudah beranjak dari ranjang dan terus bersiap
menuju ke bandara Schipol Amsterdam. Bruder
Eduard dan Bruder Joos sudah siap menyetir kendaraan untuk mengantar
kami ke bandara. Beliau
berdua merupakan sopir andalan bagi para bruder di Rumah Bruder di Huijbergen. Pukul 04.00 waktu Belanda, rombongan ziarah yang terdiri atas Bruder Thomas, Bruder Gabriel, Bruder
Rafael, Bruder Libertus, Bruder
Vianey, Bruder Flavianus, Bruder
Dionisius, Bruder John Kedang, dan saya bergegas menuju lokasi parkir kendaraan, kemudian
menempatkan diri pada kendaraan masing-masing sesuai dengan yang ditentukan
oleh kepala rombongan.
Suhu udara sesubuh itu sangat lah menusuk tulang,
apalagi rasa mengantuk masih mendera. Dari Huijbergen menuju bandara Schipol
menelan waktu kurang lebih dua jam. Pukul 06.03 waktu Belanda, kami sampai di
Bandara Schipol. Tanpa menunggu, Bruder
Thomas
langsung melakukan check in. Kami
masuk ke ruang tunggu, syukurlah tidak ada halangan berarti ketika di bagian
pemeriksaan saat boarding pass. Hanya saya harus merelakan minuman jus jeruk
dalam kemasan botol kotak yang volumenya 250
ml ditinggalkan. Aturan
di Bandara Schipol,
barang
bentuk cairan hanya diperbolehkan dengan maksimal volume 200 ml.
Ada petugas di bagian boarding pass yang mengenal
wajah Asia langsung bertanya. “kamu orang Indonesia ya?” tanyanya.
“Bukan, saya dari Borneo. Kalimantan,” jawab saya spontan. “Oh, baik,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang kaku sembari
memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia dan spontan menyanyikan lagu burung
kakak tua sembari senyum-senyum.
Kurang lebih
setengah jam menunggu di ruang keberangkatan. Pukul
06.45, kami antre masuk ke
pesawat KLM dengan tujuan Bandara Leonardo da Vinci, Roma. Sesuai
dengan tiket, pukul 07.30 pesawat take off. Kurang
lebih dua jam penerbangan atau pukul 09.30, pesawat KLM telah landing di Bandara Leonardo Da Vinci, Roma. Tidak jauh berbeda dari Belanda, cuaca dingin
menyergap tubuh. Tentu tidak sedingin negeri Belanda, sebab Italia merupakan
daerah subtropis.
Satu persatu
penumpang keluar dari lambung pesawat. Rombongan kami langsung menuju ke Stasiun Fiumicino Termini untuk melanjutkan
perjalanan dengan kereta api ke Asisi. Setelah sampai di Stasiun Termini, Bruder Thomas sebagai kepala jalan langsung
mencari tiket tujuan Asisi. Selesai urusan tiket, kami masing-masing
diberi tiket kereta api.
“Nanti kita akan
berangkat pukul 02.00 waktu Italia menuju Asisi, untuk itu silakan
para saudara mencari makan siang masing-masing,” ujar
Bruder Thomas.
“Ini mau makan apa ya?” gumamku. Teman-teman rombongan
pada masing-masing mencari stan makanan di luar terminal. Lagi-lagi Bruder Thomas mengingatkan kami agar satu jam sebelum kereta berangkat, semua
sudah berkumpul di loket jurusan Asisi.
Agar tidak
terlalu repot, saya mencari makan siang di dalam stasiun yang menyediakan steak, hotdog, pizza hut, dsbnya. Sebagai orang asing, persoalan bahasa menjadi kendala
utama dalam hal komunikasi ketika hendak
berbelanja.
Hal ini saya alami selama ziarah. Dengan bahasa
Inggris yang miskin, saya mulai mencari makanan yang cukup
buat menganjal perut.
“ That. I want Vegatano
and coffee,” ujarku sembari menunjuk tulisan yang tertera pada
jenis makanan yang saya maksud.
“Oooohhh, okey,” jawab pramusaji.
Orang Italia juga tidak begitu fasih dalam berbahasa
Inggris. “Seven and fivety cent euro,”
kata pramusaja Sembari menyodorkan makanan. Saya menyerahkan
lembaran uang kertas 10 Euro.
“Gracie,” ujarku sembari mengambil Euro
recehan bersamaan dengan memegang kopi dan vegatano makanan yang
asing untuk perut orang kampong.
“Yang penting
perut diganjal sajalah,” gumamku.
Di Stasium Termini ini juga, kami bersua dengan seorang
Pastor Pasionis yang berasal dari Balai
Berkuak dan juga Suster Charitas dari Palembang. Satu
pesan yang diselipkan pada telinga kami.
“Saudara, hati-hati ya.
Kalau di tempat keramaian, dompet atau tas cangklong
benar-benar dijaga karena di sini kadang-kadang ada copet,” tutur pastor dan suster yang sudah kurang lebih dua tahun studi di Roma.
Kemudian mereka memberi nasihat lain. “Nanti kalau naik
kereta, jangan lupa tiketnya divalidasi di tempat mesin
validitas yang tersedia di bagian pintu masuk ke dalam kereta
api,” katanya
mengingatkan.
“Mari kita siap-siap menuju ke loket kereta api
tujuan Asisi,” ujar Bruder Thomas sembari mengabsen anggota rombongan. Setelah anggota rombongan lengkap,
kami menuju ke loket kereta api. Menurut jadwal,
kereta api dari Stasiun Termini akan meluncur pukul 14.30 waktu Italia. Adapun
rute yang akan dilalui, dari Termini melewati stasiun Orte, kemudian ke Narni,
singgah sebentar di Terni. Dari stasiun
Terni kemudian stasiun Guincano, lalu ke Baibano terus lanjut ke stasiun
Spoleto setelah itu stasiun Campelo, Trevi, Foligno kemudian melewati Spello
dan akhirnya sampai di Asisi.
Sepanjang perjalanan, di kiri kanan rel kereta api, mata kita disuguhi dengan pemandangan
hamparan lahan pertanian dan kota-kota lama
Italia yang terletak di lereng-lereng bukit batu kapur yang dulu seringkali saya didengar dikala pelajaran sejarah Fransiskan. Sesampainya di Asisi, kami bergegas menuju halte menunggu bus yang mengantar ke tempat peneginapan.
“Kita nanti naik
bus jalur C,” kata Bruder Thomas setelah
ia bertanya pada petugas loket. Setelah menunggu
kurang lebih 30 menit, tibalah bus yang dimaksud.
Kami beranjak dari stasiun menuju Kota Asisi yang
terletak di lereng bukit. Setelah sampai di halte, kami turun lalu bergegas menuju penginapan yang jaraknya kurang lebih 10 menit berjalan kaki dari
halte. Penginapan ini merupakan sebuah rumah biara milik Para Suster
Fransiskan. Biara tempat kami menginap ini juga tidak jauh dari
Basilica
St. Clara.
Cuaca Asisi cukup bersahabat, sebagaimana iklim
di Italia umumnya termasuk dalam
iklim subtropis. Pada malam harinya setelah bersusah payah menentukan di mana
makan malam dan apa yang mau kita makan,
maka diputuskan makan malam di sebuah lapak makan yang dikenal dengan sebutan “Restorante” yang sesuai dengan isi dompet backpacker. Meskipun
isi euro cekak tetapi “white wine” mesti disajikan sebagai tanda tiba di tanah
kelahiran Sang Santo Fransiskus Asisi.
Kado Ultah di
Rivo Torto
Setelah melewati
malam dengan tidur nyeyak, berkat white
wine atau di Asisi dikenal dengan sebutan wino bianco, sedikit membuat
peredaran darah lancar sehingga tidur pun pulas. Memang setiap kamar disediakan
dua ranjang untuk dua orang. Kamar tidur sangat sederhana dengan ukuran
kost-kost mahasiswa. Kamar tersebut
dilengkapi dengan kamar mandi didalamnya. “Kamu,
jangan merokok di dalam kamar atau dalam rumah ya?”
demikian seorang bruder mengingatkan saya setelah membaca sebuah kalimat
berbahasa Italia, “Vietato
Fumare” yang tertera pada dinding lorong kamar.
Pada 29 Oktober 2017, kami memulai peziarahan ke situs-situs bersejarah dalam tradisi ke-Fransiskan-an.
“Hari ini kita akan ke Rivo Torto dan
Portiunzula-Maria Degli Angeli,” ujar Bruder Thomas ketika sarapan
pagi.
Sepotong roti kecil agak keras untuk digigit dan tentu
khas
Italia, ditemani kopi panas dengan sedikit campur susu murni, nampaknya cukup buat sarapan perut orang-orang Italia,
tetapi untuk perut Indonesia masih perlu asupan lainnya. Maka tidak heran ada
beberapa saudara mulai kasak-kusuk sambil
menghitung berapa euro lagi yang tersisa pada dompet dan saku celana untuk
membeli roti tambahan sebagai bekal perjalanan seharian.
“Pukul 09.30 (waktu
Italia) kita
berangkat bersama menuju ke halte bus jurusan Rivo Torto,” lagi Bruder Thomas
mengingatkan kami.
Setelah jarum jam menunjuk pukul 09.30, kami beranjak dari
penginapan menuju halte yang tidak jauh dari penginapan. Kurang lebih 15
menit menunggu, bus menuju ke Rivo Torto tiba. Kami naik dengan berbekal tiket. Rivo Torto
merupakan tempat
St. Fransiskus Asisi dan para saudara memulai
hidup dan tinggal bersama di sebuah pondok ladang milik petani. Sampai pada suatu waktu sang petani pemilik pondok itu
mengusir Fransiskus dan sahabat-sahabatnya agar tidak tinggal di situ.
Sesampai di Rivo
Torto, kami langsung menuju gereja. Di dalam gereja masih berdiri kokoh pondok tempat tinggal
St. Fransiskus dan para sahabat awalnya. Pondok ini memiliki
tinggi kurang lebih dua meter dengan di dinding yang terbuat dari bata coklat
tanpa daun pintu. Kemudian atapnya terbuat dari genteng
dengan kayu bulat sebagai rangka penopang atap.
Pondok yang
berukuran kurang lebih 6x5 meter persegi ini terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian untuk tempat untuk bersemedi/doa dan satu
bagiannya untuk kumpul sebagai ruang tamu bersama. Para pengunjung diperbolehkan
masuk ke dalam pondok ini, berdoa merupakan suatu tempat yang tepat di dalam
pondok tersebut sembari berimajinasi pada zaman Fransiskus.
Di samping
gereja tersebut terdapat satu selokan yang sudah kering. Selokan ini dulunya dikenal sebagai sungai yang
bengkok/tikungan dalam bahasa Italia disebut “Rivo” yang berarti sungai dan “Torto” berarti bengkokan/tikungan. Setelah ber-selfie ria dan sesi foto-foto, kami
menuju ke Portiunzula dan Basilika Maria
Degli Angeli dengan jarak kurang lebih 5 km. Lumayan buat olahraga siang itu, syukur terik matahari tidak sepanas
kota Khatulistiwa.
Perjalanan dari
Rivo Torto menelan waktu kurang lebih 1,5 jam, menyusuri trotoar jalan raya
yang hanya kami sendiri yang melewatinya. Kurang lebih di pertengahan
jalan terdapat tikungan dan persis di tikungan
tersebut ada kapel Maria Magdalena. Ketika
kami melewati kapel tersebut, pintunya tertutup. Hanya karena penasaran maka kami bisa masuk. Kehadiran
kami di sekitar kapel tersebut mengundang anjing penjaga kapel yang di rumah
terletak tidak jauh dari kapel
tersebut mengonggong. Muncul seorang nenek menghampiri kami dan menyapa
dengan bahasa Italia. Tak satupun kami yang mengerti, akhirnya kami menggunakan bahasa isyarat bahwa kami mau melihat dan berdoa
dalam kapel tersebut. Akhirnya kami
diperbolehkan oleh nenek tua itu dengan meminta kami sabar, karena dia mencari
kunci pintu kapel.
Pada tahun 2010,
kapel ini pernah disinggahi oleh
Paus Benediktus XVI ketika kunjungan pastoralnya ke
Asisi. Hal ini dapat
dilihat pada plakat yang bertuliskan keterangan tersebut pada dinding samping
pintu masuk.
Setelah berdoa,
kami pamit dengan nenek itu dengan mengucapkan, “Gracie.” Artinya terima kasih. Kami melanjutkan
perjalanan. Dalam perjalanan terbagi menjadi dua rombongan. Saya masuk rombongan dengan Bruder
Thomas,
Bruder Liber, Bruder
Vianey, dan Bruder Kedang, sedangkan rombongan yang lainnya lebih cepat
jalannya.
Karena sudah
siang dan waktunya makan siang. Kami sembari berjalan melihat di sekitar
stasiun kereta ada sebuah Mc Donald. Kami segera menuju ke arah
McD tersebut. Mungkin pengunjung yang lain
agak geli melihat polah tingkah kami, yang kebingungan mau memesan menu makanan. Lalu seorang di antara
kami mulai membuka fitur menu pada mesin berbentuk kotak sebesar kulkas.
“Coba lihat
pengunjung lain dulu bagaimana cara memesan makanannya?” celetuk salah seorang teman. Lalu kami mulai tekan
tombol-tombol aplikasi pada layar sentuh mesin itu, lalu
memilih menu. Setelah itu baru keluar sepotong kertas dengan
tulisan menu yang kita pesan lengkap dengan minumannya. Struk tersebut kita serahkan
kepada pramusaji setelah itu kami duduk sesuai
dengan selera maisng-masing
sembari
menunggu makanan disajikan. Kurang lebih 15 menit makanan dan minuman dalam penampan disajikan di hadapan kami.
Yah. Kenyang! Usai
melahap menu
makanan McD, kami terus berjalan sembari tertawa
terkekeh-kekeh tertawa mengingat
keluguan dan kepolosan di tengah modernitas. Itulah sebuah realitas bahwa kemajuan zaman mesti diikuti agar tidak
ketinggalan.
Ah. Sekarang kami tinggalkan keluguan itu. Kembali mengayunkan
langkah menuju Basilika Maria Degli Angeli. Kami
harus menunggu di halaman Basilica karena
pintu Basilica belum dibuka. Sesuai dengan informasi yang
kami peroleh pintu akan dibuka pada pukul 15.00. Sembari menunggu pintu dibuka, kami duduk-duduk
di kursi taman dan memerhatikan lalu lalang
orang yang diperiksa oleh beberapa penjaga keamanan berseragam tentara
Italia dengan berpakaian lengkap dan memegang senjata laras panjang.
“Pintu sudah dibuka,”
salah seorang teman sedikit berteriak.
Spontan kami bergegas tanpa menuggu lama untuk masuk bersama para peziarah lainnya. Di dalam Basilica terdapat
Kapel Portiunzula tempat St. Fransiskus
Asisi bersama pengikut pertamanya seringkali membenamkan diri untuk berdoa.
Para pengunjung dari berbagai negara tampak sibuk
menikmati keindahan ikon-ikon yang melukiskan momen sejarah Fransiskus Asisi.
Berlutut, duduk, lalu hening merupakan sikap yang lazim pagi pengunjung di
Basilika Maria Degli Angeli (Ratu Para Malaikat). Saya sendiri tidak luput dari sikap itu, sembari menikmati dan mengecap
betapa perjalanan sejarah abad pertengahan terpatri dalam Kaptel Portiunzula.
Setelah itu saya berkeliling menyusuri lorong menuju
ke taman mawar. Ada tanaman mawar dan patung Fransiskus
Asisi menjinakkan serigala berdiri tegak
di tengah taman.
Setelah puas menikmati mawar-mawar di taman, saya
mengayunkan langkah mengikuti arah keluar, di sudut lorong saya dicegat oleh patung
St. Fransiskus Asisi berukuran dua meter
yang sedang memegang sebuah keranjang kecil. Konon yang selalu
dikisahkan para peziarah bahwa keranjang kecil tersebut ternyata menjadi
tempat aman bagi burung-burung merpati bertelur dan berkembang biak. Sekarang saya lihat secara langsung kebenaran
kisah itu, yang pada saat saya lewat ada seekor burung merpati sedang bertelur
di keranjang tersebut.
Setelah melewati
taman mawar, kami terus menyusuri lorong dengan dinding bata merah
gelap tanda usianya beratus-ratus tahun.
Lalu masuk sebuah ruangan yang menyediakan suvenir dan pernik-pernik seperti
kalung tao, rosario, salib, gambar ikon yang semuanya bernuansa
rohani, bahkan ada parfum atau pengharum ruangan berwujud bunga mawar yang
baunya sangat harum.
Pintu keluar lorong tersebut ternyata bermuara pada
satu ruangan devosionalia yang menyediakan berbagai benda-benda devosi yang
terkait dengan kisah St. Fransiskus Asisi. Ada macam-macam benda yang dipajang
di etalase, tentu untuk itu saya harus sekali lagi berhitung kembali dengan
Euro yang ada di dompet. Sebagai tanda mata beberapa Euro harus dilepas dari
kantong untuk oleh-oleh kerabat dekat. Tentu para pengunjung lainnya tidak mau ketinggalan untuk merogoh kocek membeli beberapa tanda mata sebagai oleh-oleh
dibawa pulang.
Setelah puas dimanjakan dengan seni karya tangan khas Italia
di
ruang devosionalia, kami kembali ke tempat penginapan, karena hari sudah mulai menjelang senja. Kali ini untuk kembali ke
penginapan kami menunggu bus di depan Basilica. Tinggal tunggu bus jurusan ke tempat
penginapan. Demikianlah hari pertama di Asisi.
Hari ini menjadi sangat istimewa bagi saya. Selain gereja seluruh
dunia merayakan hari Malaikat Agung, bagi
saya
hari ini merupakan ulang tahun ke-39. Tidak ada hal-hal yang istimewa dalam perayaan hari
kelahiran saya kali ini, kecuali dirayakan dengan santap malam di Restorante
Italia dengan sebotol white wine bersulang dengan para bruder yang lain
dengan ditemani keratan daging sapi Italia. Ini menjadi kado istimewa bagi saya terutama
memiliki kesempatan oleh Sang Pencipta untuk mengunjungi tempat-tempat
bersejarah dalam khazanah spiritualitas Fransiskan.
“Terimakasih Tuhan.”
Alun-alun Kota
dan Ketelanjangan
Fransiskus Asisi perlahan-lahan menuju tengah kerumunan warga Kota Asisi yang sedang berkumpul di alun-alun kota yang dikenal dengan sebutan Piazza Del Commune. Sosok pemuda kurus kering tersebut lalu berdiri di hadapan Uskup Guido, perlahan tangan pemuda itu melepaskan helai demi helai pakaian yang dikenakannya.
“Mulai sekarang aku tidak lagi menyebut Pietro Bernadone sebagai Bapakku.
Sekarang aku menyebut Bapakku yang ada di surga.” Demikianlah
adegan yang melegenda dalam perjalanan sejarah pertobatan Fransiskus yang
terjadi pada tahun 1209. Aku tercengung
sejenak membayangkan betapa kala itu suasana orang-orang di alun-alun kota
tersebut menegangkan melihat sosok pemuda kurus kering dan dekil lalu
melepaskan pakaiannya sebagai simbol pertobatan.
“Hari ini, kita tidak perlu
tergesa-gesa karena semua tempat yang akan dikunjungi
berada di dalam kota Asisi,” ujar Bruder Thomas pada kami
di penghujung sarapan pagi. Hari ini, kami akan mengunjungi Basilika St. Clara yang tidak terlalu
jauh dari tempat kami menginap, kurang lebih 15 menit berjalan kami menyusuri Jalan Via Borgo Aretino.
Di Jalan Borgo Aretino setiap hari Sabtu salah satu sisi bahu jalan diperbolehkan untuk
para pedagang kaki lima menjajakan
barang dagangannya.
Semacam pasar murah. “Pedagang kaki lima menyediakan
berbagai
jenis barang kelontong seperti keperluan rumah tangga, alat-alat dapur, pakaian
anak-anak dan kaum ibu, buah-buahan, keju, kentang, hingga roti,”
ujar Suster Rosa, asal
India yang berkarya di Rumah Penginapan Tarekatnya di Asisi. Pagi ini, Sabtu 30 September 2017, cukup ramai para pengunjung dan warga setempat yang
berinteraksi di pasar kaget ini, terutama pengunjung yang datang menikmati hari
akhir pekannya.
Memasuki bulan
Oktober bagi warga Asisi merupakan suatu rahmat. Karena pada bulan Oktober merupakan peringatan bagi Santo
Fransiskus dari Asisi yang dikenal di seluruh dunia sebagai sosok orang suci yang mencintai lingkungan
hidup.
Pagi ini juga terlihat beberapa rombongan ziarah yang
kukira berasal dari negara di luar
Italia. Mereka berkelompok dengan satu pemandu yang menuntun mereka mengunjungi situs-situs sejarah antara lain situs sejarah terkait dengan St. Clara dan
St. Fransiskus. Tidak terkecuali kami. Pada hari ini situs sejarah yang akan kami kunjungi ialah Basilica St. Clara, Basilica St. Fransiskus Asisi, Basilika St. Rufinus,
dan situs-situs lainnya yang ada di kota Asisi
Dalam Basilica St. Clara ini terdapat makam sang santa. Kami selalu diingatkan oleh teman. “Nanti jangan
coba-coba kita jepret sembarangan di situs makam St. Clara karena petugas siap
menegur.” Tetapi saya sedikit mengabaikan pesan tersebut. Saya ambil kamera dan langsung
jeprat-jepret pada sosok jasad manusia
yang berbaring di peti kaca tersebut yang tidak lain adalah jenazah St.
Clara yang terbaring kaku. Peti itu
diletakkan di ruang bawah tanah dengan dibatas jeruji besi. Setelah itu
kami kembali melakukan perjalanan ke situs rumah Pietro Bernardone dan Dona
Pica yang merupakan orang tua Fransiskus Asisi.
Hanya menelan waktu 5 menit berjalan dari
Basilika St. Clara, kami sudah
sampai di rumah orang tua Fransiskus yang sudah
direnovasi. Sekarang
menjadi gereja Chiesa Nouva (gereja baru). Entere/spiringer yang
berarti masuk tertera di setiap pintu masuk bangunan bersejarah. Demikianlah plakat yang tertera pada di pintu
bekas rumah orang tua St. Fransiskus.
Di halaman bangun ini terdapat patung Pietro Bernardone
dan Dona Pica dengan memegang rantai menjuntai. Hal ini menunjukkan
bahwa dia yang melepaskan Fransiskus dari penjara di
rumahnya. Di dalam salah satu bangunan rumah tersebut, terdapat satu ruangan
sempit yang dinyatakan sebagai tempat Fransiskus di
penjara oleh orang tuanya karena melakukan pemborosan terhadap harta orang
tuanya. Lalu setelah itu ada pintu keluar dengan trap-trap untuk menuju ke satu
raungan di bawahnya, yang diyakini sebagai tempat Fransiskus dilahirkan.
Setelah dari rumah orang tua Fransiskus, kami menuju ke Chiesa St. Maria Magiore,
tetapi saya dan Bruder
Vianey
kehilangan jejak rombongan. Kami terus menyusuri jalan Arcopri Ori menuju ke Piassa Vescolvado
kemudian menyusuri Jalan Apolinaire
sampai pada Jalan Do Borgo Santo
Pietro. Kami berdua masuk ke dalam biara tua Abbazia St.
Pietro. Di halaman biara ini terdapat patung mendiang Sri Puas Yohanes Paulus II dengan kedua tangannya terbentang memberkati arah
kota.
Karena sudah
terlanjur berjalan terpisah dengan rombongan,
kami menuju ke Basilika St. Fransiskus Asisi yang menurut rencana besok minggu
baru dikunjungi sekaligus mengikuti perayaan ekaristi. Dengan menyusuri Jalan Frate Elia,
kami sampai pada komplek Basilika Fransiskus Asisi. Kami
melihat pengunjung yang lain sudah mengantre
di pintu pemeriksaan petugas keamanan. Tentara dan polisi Italis yang bertubuh
gempal tegak tinggi besar dengan senapang laras panjang siap diselempangkan di
depan dadanya.
“Bourjono. Sorry, open your bag!” (Selamat pagi, maaf buka tas anda) perintah polisi Italia. Spontan
saya membuka tas selempang yang isinya terdiri atas paspor dan recehan uang euro, power bank, dan beberapa bekas tiket bus yang hanya disimpan
sebagai kenangan saja. “Si. Grazie,” (Ya. Terima kasih) katanya lalu mempersilakan kami masuk.
Saat masuk ke Basilica, kami melihat beberapa
petugas yang memakai rompi volunteer mengarahkan
para pengunjung yang berjubel mau masuk ke dalam Basilica.
“Sssssst. Silenzio. No foto. No picture,” suara petugas mengingatkan pengunjung setiap ada
suara berisik dan blitz dari kamera-kamera pengunjung mengambil objek ikon dan
mozaik pada dinding dan jendela Basilika.
Saya dan Bruder Vianey langsung menuju ke lorong bawah
Basilika tempat tubuh St. Fransiskus
Asisi disemayamkan bersama ketiga sahabatnya, Maseo, Rufino, dan Leo. Di ruang bawah Basilica ini para pengunjung termasuk
kami berdoa
sejenak dan merenung-renung dengan menggali ingatan tentang kisah-kisah
Fransiskus dalam buku Tiga Sahabat. Dalam
Basilica ini terdapat lukisan ikon mengenai perjalanan hidup Santo Fransiskus
Asisi. Basilika ini dikelola oleh Ordo Saudara Dina Conventual (OFMConventual),
termasuk juga stan devosionalia yang tidak pernah sepi oleh pengunjung. Setelah
dari Basilika St. Fransiskus Asisi, kami meneruskan ziarah ke San Damiano pada
pukul 15.00 waktu Italia.
Ya. San Damiano. Tempat Para
Claris tinggal. Tempat ini sangat terkenal bagi setiap Fransiskan/nes (pengikut
spiritualitas Fransiskan). San Damiano bagi St. Clara dan pengikutnya merupakan
tempat memulai pertobatan. San Damiano juga merupakan tempat yang sangat
bersejarah dalam perjalanan hidup St. Fransiskus Asisi. Di Kapel San Damiano
ini, mendengar panggilan Tuhan ketika sedang khusuk berdoa di depan salib, sayup-sayup
ia mendengar suara Tuhan yang mengatakan, “Fransiskus perbaikilah rumahKu yang
mau roboh ini.”
Dari Kapel San Damiano, Fransiskus mengawali hidup
pertobatan dengan berusaha memperbaiki gereja San Damiano yang kala itu rusak
parah. Kemudian setelah St. Clara bergabung dalam barisan pengikutnya, maka San
Damiano diserahkan bagi St. Clara dan para pengikutnya untuk memulai hidup
pertobatan dalam kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian.
Di dalam Kapel San Damiano, satu persatu ruangan
bersejarah itu kami kunjungi. Ada ruang makan, ruang doa, ruang menerima tamu
dengan masih mempertahankan bentuk aslinya. Pada bangunan atas, kita dapat
menemukan tempat St. Clara wafat yang persis berada di sudut ruangan. Setelah
itu dari lantai loteng pengunjung dapat menikmati pemandangan ke arah pebukitan
di sekitar Asisi. Turun dari loteng para pengunjung langsung disuguhi dengan
berbagai jenis kembang warna warni yang ditanam di taman, di tengah taman
terdapat sebuah sumur tua. Demikianlah San Damiano sebuah situs sejarah bagi
Fransiskus dan para pengikutnya dalam peziarahan dan pertobatan sebagai orang
beriman.
Silenzio di Basilika St. Fransiskus Asisi
Minggu, 1 Oktober 2017, pukul 07.30
waktu Italia atau pukul 12.30 waktu
Indonesia bagian barat, kami beribadat di kapel susteran tempat menginap. Kapel suster begitu sederhana
dan bersahaja. Altar tanpa dihiasi
rangkai bunga. Terpampang di dinding Salib San Damiano sebagaimana menjadi
sebuah ciri khas salib bagi para
pengikut Fransiskus.
“Kita, pukul 09.00 saja berangkat ke Basilika karena ekaristi
dimulai pukul 11.00,” ujar kepala
rombongan mengingatkan kami. Ternyata ekaristi di Basilika St. Fransiskus pukul
10.30, karena beranggapan pukul 11.00 ekaristi
dimulai, maka kami berleha-leha di jalan sehingga kami agak terlambat, karena
untuk perjalanan dari penginapan menuju ke Basilika St. Fransiskus menelan
waktu 45 menit. Jalan gang di Kota Asisi berundak dan kadang menurun tajam karena kota
ini berada di lereng bukit. Setelah sampai di Basilika semua tempat
duduk sudah diisi penuh, akhirnya kami mengikuti perayakan ekaristi dari awal sampai akhir
dengan posisi berdiri bersama para peziarah yang lain
yang mengalami hal yang sama dengan kami. Ekaristi menggunakan bahasa Italia
dan dipimpin oleh Pastor Fransiskan Conventual (OFMCov).
Usai ekaristi, kami berbaur dengan
berjubel pengunjung lain keluar
dari Basilika. Ada kejadian yang
cukup menyedot perhatian para pengunjung kala itu.
Ketika melihat kelompok koor yang baru saja bertugas melayani ekaristi keluar
di halaman, kami spontan meminta berpose bersama pada salah
satu anggota koor tersebut. Ia kemudian memberitahu teman-temannya. “Wwoouuuwww. Indonesia. Mari, mari kita foto. Ayo
teman-teman, kita foto dengan Indonesia,” demikian salah seorang pria anggota koor mengajak
teman-temannya. Setelah itu kami spontan menyanyikan lagu “Laudato Si Mi
Signore” yang membuat mereka sontak mengernyitkan
dahi karena kami tidak begitu hafal syairnya. Begitulah
kami membuat heboh di pelataran Basilika Fransiskus Asisi.
Setelah sesi foto-foto, kami bergegas menuju ke tempat
devosionalia yang berada di bagian bawah Basilica untuk mencari oleh-oleh. Sekali lagi di ruang devosionalia ini, kami harus pandai-pandai mengatur
keluarnya Euro dari
saku dan dompet masing-masing berpindah ke laci uang Fransiskan
Conventual. Ketika urusan suvenir selesai, kami
menuju Katedral St. Rufino dan sekaligus dalam
perjalanan mencari
stan makanan untuk makan siang.
Suatu pengalaman mengelikan, bagi saya, dasar tidak mengerti bahasa Italia dan kurang menguasai bahasa
Inggris. Saat membeli makanan selalu saja dengan hati-hati untuk menunjukkan gambar makanan yang dipajang di etalase.
“This one and Cola,” sebuah ujaran
yang saya ucapkan pada pramuniaga. Lalu dijawab oleh pramuniaga “Okey. Seven Euro,” jawabanya spontan lalu mengambil makanan yang di Indonesia kita sebut Hot Dog. Makanan dibungkus dengan kertas, sembari kami menyodorkan
euro sesuai dengan harga yang disebut.
Pada umumnya makanan Italia bagi lidah Indonesia tidak terlalu cocok, hanya perut harus diisi agar tidak masuk angin.
Setelah melahap
makan siang dengan minuman cola, kami meneruskan perjalanan menuju ke Roca
Maggiore yang memiliki arti Benteng Besar. Roca Magiora dibangun
di atas kota Asisi. Ketika kita berada di menara pengintai, tampak sebuah pemandangan hamparan lembah Umbria dan seluruh kota Asisi. Saya dan salah seorang teman masuk ke dalam
banteng tersebut. Di dalam bangunan banteng tersebut terdapat
ruangan-ruangan yang menjadi tempat memajang beberapa alat-alat perang, pistol,
senapan lantak, baju jirah, pedang, helmet,
dsbnya. Puas menikmati perlengkapan perang, kami menaiki
tangga menara pengintai musuh.
Untuk itu kami harus melewati trap-trap dengan
lorong yang sempit, sesekali mengintip dari jendela menara yang berbentuk bulat
untuk melihat ke arah hamparan
lembah Umbria dan kota Asisi. Tentu kala itu, gerak gerik musuh dapat dilihat
dari jendela pengintai ini, sehingga pasukan diberi isyarat untuk menyerang
lawan. Karena memang pada kala itu perang antarkota menjadi
lazim untuk mempertahankan kekuasaan para pemimpin kota. Demikianlah kami
menghabiskan waktu ziarah di kota St. Fransiskus yang bertepatan pada bulan di mana
kota Asisi memperingati sang santo dari kota tersebut.
Aku Kembali lagi Ke Roma
Pada Senin, 2 Oktober 2017. “Suster, hari ini kami
pamit ya,” ujar Bruder Thomas dengan
bahasa Inggris pada Suster Kora dan Suster Krisma yang bertugas khusus mengurus tamu penginapan
yang dikelola oleh tarekat mereka (Suster
Fransiskan Hati Kudus Yesus). Sr. Kora yang
berwajah oriental ternyata berasal dari Mindanao Filipina, sedangkan Sr.
Krisma berasal dari Timor Leste. Sesekali kami berkomunikasi dengan Sr. Krisma
dengan bahasa Indonesia.
Usai sarapan pagi,
kami mengucapkan terima kasih atas pelayanan para suster selama berada di
Asisi. Secara spontan ada teman
langsung melantunkan
sebuah lagu “Terima kasih
Seribu” dan “Terima kasih Tuhan”. Tentu setelah itu tidak lupa sesi
foto-foto sebagai kenangan dengan para
suster yang begitu bersahaja melayani kami selama beberapa hari di rumah
mereka.
Bruder Thomas selalu tidak lupa melaksanakan tugasnya sebagai kepala rombongan. “Pukul 10.00
semuanya sudah siap beranjak meninggalkan
penginapan menuju ke halte bus di dekat Porta Nouva (Gapura Baru), jangan sampai lupa barang-barang pribadi,” ujarnya. Pada waktu yang
ditentukan, semua punggung dibebani tas ransel yang sudah bertambah berat oleh
barang-barang suvenir. “Ayo. Kita jalan,” ujar Bruder Thomas. Kami
mengekorinya setelah bersalaman-salaman dengan para suster sebagai tanda pamit
untuk terakhir kali dengan mereka.
Kurang lebih 15
menit menunggu di halte, bus Fermata tiba dan kami langsung naik ke dalam
bus. Tentu tidak lupa validasi tiket pada mesin yang tersedia di samping sopir. Ini
dilakukan agar tidak didenda oleh petugas. Transportasi di Asisi sebagaimana di
Italia selalu tepat waktu sesuai dengan jadwal yang tertera pada setiap halte. Dengan demikian
para peziarah sangat dipermudah untuk melakukan rencana perjalanan.
Kurang lebih 10 menit perjalanan bus Fermata dari
halte tadi kami sampai
di Stasiun Kereta Api Asisi. Kepala rombongan langsung membeli tiket tujuan Asisi ke Roma. “Nanti pukul 14.00
waktu Italia kereta baru tiba,” ujar Bruder Thomas sembari
membagikan tiket pada kami masing-masing. Intinya kami harus
menunggu satu jam tiga puluh menit sesuai dengan jadwal kereta api menuju ke
Roma. Sembari menunggu kami membunuh kebosanan dengan
foto-foto, yang mungkin suatu perilaku yang aneh bagi orang Asisi.
Perjalanan dari Asisi menuju Roma menelan waktu dua jam
tiga puluh menit. Kereta api memiliki
beberapa gerbong dengan setiap gerbong memiliki tempat duduk yang nyaman, tas, dan barang bawaan disimpan di bagasi yang terdapat
di atas tempat duduk. Sepanjang perjalanan kita dapat
menikmati suguhan hamparan lahan pertanian yang baru diolah. Beberapa kebun anggur yang terletak dipetak pekarangan
rumah. Rumah-rumah penduduk banyak terletak di lereng-lereng bukit kapur
berundak-undak rapi. Sesekali kita juga memasuki lorong gelap kurang lebih lima
menit. Agar tidak menjenuhkan dalam perjalanan tersebut ada teman-teman yang
bermain kartu remi, tetapi ada juga yang membunuh kejenuhan dengan melelapkan
diri dengan tidur, sampai rem kereta api berhenti di tujuan.
Sampailah kami
di stasiun Termini, Roma. Stasiun ini merupakan
stasiun pusat yang begitu sibuk. Di sini
kurang lebih seperti tempat sebuah pusat
pertemuan budaya segala bangsa. Kita dapat menjumpai orang-orang yang berasal
dari berbagai negara. Umumnya di Termini terdapat wajah-wajah
Afrika dan Asia lalu lalang di pelataran stasiun
dan parkiran. Kebanyakan mereka yang menjadi calo-calo di
Stasiun Termini
berwajah Afrika, Asia menawarkan
jasanya pada para wisatawan yang datang ke Roma. Tidak menunggu lama, karena tempat menginap tidak terlalu jauh dari stasiun,
kami berjalan menyusuri trotoar kota Roma yang terbuat dari batu-batu kali yang
kuat. Sesekali rombongan terkekeh-kekeh mentertawakan kekonyolan diri sendiri.
Kurang lebih setengah jam perjalanan kami sampai di tempat penginapan. Namun
sebelum ke tempat penginapan kami mampir di rumah para suster Putri Rienha
Rosari (PRR).
Suster Penjaga
Uskup Militer
Rumah Para Susteran PRR, satu gedung dengan Wisma
Uskup Militer, sebab mereka khusus bertugas sebagai pelayan rumah di Wisma
Uskup Militer yang dalam bahasa Italianya “Ordinariato Militare Per L’Italia”.
Tempat tinggal para suster ini mengambil satu ruangan ruangan besar dalam
bagunan Wisma Uskup Militer. Wisma ini berlantai empat dan terletak di pusat
kota Roma. Letaknya terhimpit antara
gedung-gedung tua di jalan Salita Del Grillo 37-00184 ROMA.
“Waktu kalian mau mengunjungi kami di sini, kami sudah
melaporkan kepada bagian resepsionis militer, jadi kedatangan para bruder tadi
sudah diketahui oleh mereka,” tutur seorang Suster sembari mempersilakan kami
duduk setelah kami masuk ruang tamu di lantai empat. Sofa empuk yang mungkin
saja pernah diduduki Uskup Militer, saat ini kami duduki untuk melepas penat
selama perjalanan dari Asisi.
“Mari kita minum teh dan kopi dulu,” Suster Pimpinan
Rumah menawarkan pada kami sebagai tanda keramahan orang Indonesia. “Setelah
nge-teh dan ngopi, kita akan lihat kota Roma dari balkon atas ya?” lanjutnya
membuat kami penasaran akan pemandangan kota Roma.
“Kenapa suster-suster bisa kerja di tempat elit
seperti ini?” tanya salah seorang dari rombongan kami.
“Dulu ada seorang pastor SVD yang studi di Roma. Kemudian
dia memiliki teman seorang pastor Italia. Suatu ketika Uskup Militer ini
mencari tarekat suster untuk membantu mengurus rumah tangga Wisma Keuskupan. Lalu
teman dari Pastor SVD tersebut bertanya dengan padanya. Apakah anda punya
kenalan dari tarekat suster yang bersedia berkarya di bagian rumah tangga di Wisma
Uskup Militer. Karena pastor SVD ini kenal dengan Sr Gratiana, PRR yang juga
pernah studi di Roma. Maka pastor tersebut meminta pada pimpinan PRR di
Larantuka, apakah suster PRR punya tenaga untuk membantu rumah tangga di Wisma
Uskup Militer di Roma. Demikian singkatnya mengapa kami bisa kerja di sini,” seorang
suster berkisah pada kami.
Dasar orang kepo, maka satu pertanyaan lagi
dilontarkan seorang teman pada suster-suster. “Suster, apakah setiap kunjungan
pastoral, para suster juga ikut?”
“Ya, kadang kami ikut tetapi kadang tidak, tetapi
tergantung permintaan Uskup sendiri. Yah, pernah ketika ziarah ke Lourdes,
Uskup meminta kami ikut dan sekaligus ziarah, tetapi kalau acara-cara resmi di
Kota Roma jarang kami ikut,” tutur seorang suster yang sudah sembilan tahun
tinggal di Roma.
“Mengenai komunikasi bagaimana suster?” lanjut temanku
ingin tahu.
“Kalau kita di sini memang harus bahasa Italia. Bagi
suster Indonesia yang baru datang bertugas di sini, mereka harus kursus bahasa
Italia selama satu tahun. Yah semuanya bisa dipelajari kalau ada kemauan,” ungkap
seorang suster.
“Daripada banyak tanya-tanya, lebih baik kita minum
dulu,” timpal seorang teman. Kami pindah tempat duduk ke ruang refter. Menurut
penuturan suster-suster, kadang bapak Uskup juga ikut makan bersama mereka,
terlebih kalau ada di tempat. “Oh, lupa nanti habis minum dan snack, kita akan
naik ke atas balkon biasa tempat kami santai-santai atau sekadar buat acara
kecil jika ada ulang tahun,” ujar seorang suster menimpali.
Setelah menyerumput teh dan kopi, kami bergegas
menaiki tangga menuju balkon Wisma Uskup Militer. Dari atas balkon tersebut,
kita dapat menikmati pemandangan kota Roma. Termasuk reruntuhan kota Romawi kuno.
Selesai menyeruput kopi dan teh, kami diajak menapaki tangga berbentuk spiral
untuk sampai di balkon paling atas dari gedung tersebut. Di sini kami dapat
memandang hamparan gedung tua dan bekas-bekas reruntuhan kota lama Roma.
Puas memanjakan mata dengan menikmati pemandangan kota,
pada senja hari dari Balkon Wisma Uskup Militer ini, kami diantar oleh seorang suster menuju ke
tempat penginapan yang jaraknya kurang lebih 15 menit berjalan kaki dari Wisma
Uskup Militer.
“Para saudara tolong kumpulkan paspor kalian untuk
dicatat oleh suster,” kata
Bruder
Thomas
pada kami saat registrasi di ruang
resepsionis penginapan. Setelah proses registrasi, kami masing-masing mendapat satu peta kota Roma dan kunci kamar. Kami
bergegas menuju
ke kamar untuk rehat sejenak.
Pada umumnya
penginapan di Roma hanya menyediakan sarapan pagi saja,
sedangkan makan siang dan malam di harapkan para penginap mencari di luar
penginapan. Kalau mau minum kopi atau teh dan minuman kaleng, di penginapan
disediakan mesin penjual yang secara otomatis akan menyediakannya
kalau kita tebus dengan keping-keping euro pada saku kita.
Kota Tua Pusat
Budaya
Tanggal 3 Oktober 2017, hari pertama di
Roma. Kami melakukan perjalanan mengunjungi kota tua Coloseum dan Basilika Lateran. Komplek kota
tua yang akan kami kunjungi tidak terlalu jauh dari penginapan. Kurang lebih
membutuhkan waktu 15 menit berjalanan kaki.
Kota Romawi demikian penjelasan seorang teman pada saya. Bekas-bekas puing
bangunan dengan dibiarkan teronggok. Di antara
puing–puing bangunan tersebut berdiri sebuah
tugu dengan ketinggian kurang lebih 50 meter dengan berdiameter dua meter yang terbuat dari
marmer. Konon
kabarnya tugu ini dibawa dari Mesir.
Hanya puing-puing dan onggokan tembok bata yang
menunjukkan bahwa teknologi arsitektur bangunan kala itu cukup kokoh. Tidak
jauh dari lokasi tersebut ada Monumen Nasional Italia, kami bergegas menuju ke monumen
nasional tersebut yang lebih dikenal
dengan Monument Vittorio Emanuelle. Di pelataran monumen terdapat
tugku api abadi yang dijaga dua puluh empat jam
oleh petugas militer di sisi kanan dan
kiri tungku. Penjaga tungku api abadi ini beregu dengan senjata
lengkap.
Naik lagi dari samping kiri atau kanan pelataran
pertama kita akan menginjakan kaki di pelataran yang agak luas dengan beberapa
patung pahlawan Italia berdiri berjejer di pinggir pelataran. Tentu ada satu
patung besar seorang berseragam militer dengan menunggangi kuda dan sosok itu
ternyata Vittorio Emmanuelle, pendiri pahlawan sekaligus pendiri negara Italia. Selain itu, pada bagian pelataran ini terdapat museum dengan
ruang-ruang tempat di mana benda-benda bersejarah diletakkan untuk dipamerkan
pada pengunjung.
Setelah dari monumen nasional, kami menuju ke Coloseum dengan berjalan kaki sembari
menikmati bekas-bekas kota zaman romawi kuno yang terdapat di dua sisi jalan. Tentu di trotoar menuju ke Coloseum beberapa titik,
kita dapat sekadar singgah untuk menikmati para seniman beratraksi secara
gratis. Ada seorang berwajah Asia sedang beraksi dengan alat-alat melukisnya
ada juga wajah orang India beraksi dengan atraksi dengan lakon sulapnya. Tentu
ini semua untuk menarik perhatian para pengunjung dengan harapan kotak terbuka
di depannya diisi recehan euro.
Sesampai di komplek Coloseum,
kami berbaur dengan ribuan pengunjung dari berbagai negara yang memadati
halaman dengan sibuk
berfoto ria dengan berbagai gaya pada latar belakang
Coloseum. Pada
masa silam, bangunan Coloseum ini boleh dikatakan gedung bioskop, atau stadion di mana diselenggarakan even pertarungan
antara manusia dnegan manusia atau manusia
dengan singa
sebagai sebuah hiburan yang menarik.
Kami tidak masuk ke dalam Coloseum, karena berjubelnya
wisatawan yang datang dan mengantre
dipintu masuk ke dalam bangunan Coloseum. Selanjutnya
kami langsung menuju ke Basilika Lateran yang dikenal
dengan Katedral Roma dan tempat Paus bertahta sebelum dipindahkan ke Basilika St. Petrus, Vatican. Di Basilika ini juga terdapat makam St.
Yohanes Rasul yang menemani Yesus sampai di Bukit Golgota.
Usai menikmati keindahan arsitektur dan lukisan-lukisan di plafon
Basilica
Lateran, kami menuju ke Basilika St. Paulus, dengan menaiki bus kota kurang lebih 20 menit. Di dalam komplek taman Basilika St. Paulus ini terdapat patung
Paulus yang sedang menghunus pedang, kemudian dalam Basilika terdapat kapel di mana terletak makam St. Paulus. Pada dinding atas sekeliling
Basilika juga terdapat lukisan ikonik seluruh Paus yang
bertahta mulai dari St. Petrus sampai dengan Paus Johanes Paulus II. Tentu bagi
salah seorang teman yang kebetulan seorang guru di SMA St. Paulus Pontianak, langsung
mengambil momen foto-foto di dalam Basilika tersebut. Semoga semangat St. Paulus menular pada semangat
pendidikan dan pengajaran untuk mewartakan Kristus sebagai juru selamat dunia.
Kolam Trevi,
Uang Logam, dan Saya yang Ditinggalkan
Hari ini, 4 Oktober 2017, hari
kedua kami di Roma. Sekaligus hari bagi seluruh pengikut Fransiskan di dunia merayakan
peringatan akan kematian sang santo. Rencana perjalanan hari
ini, kami akan menuju ke Basilika St. Petrus, Vatikan. Dari
penginapan kami berjalan kaki selama kurang
lebih waktu
10 menit menyusuri jalan pintas dan lorong
gang menuju ke Stasiun Cavour kereta bawah tanah dengan
tujuan menuju Stasiun Ottoviano yang dekat dengan lokasi Basilika
St. Petrus.
Sesampai di Stasiun Cavour,
hiruk pikuk para penumpang kereta bawah tanah, seluruh kalangan berbaur dalam gerbong kereta api yang setiap 5 menit
sudah tiba kereta menyambangi stasiun. Untuk dapat masuk pada ruang tunggu, satu persatu penumpang masuk dengan sistem
validasi tiket elektronik dengan menempelkan barcode pada mesin. Saat barcode tiket menempel di layer, portal terbuka
secara otomatis mempersilakan penumpang
masuk.
Beda lagi dengan mesin validasi pada kereta api untuk keluar Roma. Mesin
validasinya tersendiri di bagian salah satu sudut lobbi. Sistem
validasi melalui barcode
atau dicap di kartu pada mesin validasi merupakan sebuah sistem yang terintegrasi pada seluruh moda transportasi
di Italia. Jika kita tidak melakukan validasi, kita akan didenda
oleh petugas yang akan melakukan pengecekan di saat kereta mulai berjalan.
Sampai di Stasiun Ottaviano, satu-satunya stasiun yang
dekat dengan komplek Vatican, kami berjalan menyusuri trotoar ke arah Lapangan
St. Petrus. Untuk masuk komplek lapangan St. Petrus, satu persatu kami
antre dengan pengamanan ketat beberapa tentara
bersenjata lengkap.
Ada juga yang berdiri di samping
mobil canon water dengan moncong senjata tembak di depan mulut masuk komplek Negara Vatikan.
Untuk negara-negara Eropa akhir-akhir ini aksi-aksi teroris
cukup mengkawatirkan keamanan bagi
wisatawan.
Namun demikian para wisatawan dengan tenang
berseleweran hilir mudik di area Vatican dari berbagai jenis etnis, budaya dan negara dengan warna kulit yang beraneka ragam.
Mungkin benar juga orang mengatakan bahwa Roma merupakan
kota dunia, karena warga negara di seluruh
dunia hampirnya terwakili di Kota Roma.
“Tas pinggang, ransel, dompet, handphone silakan dilepas,” kata temanku memerintah. Lalu semua barang
itu dimasukkan ke alat pemindai sebagaimana masuk ke bandara dan tempat-tempat penting lainnya.
Setelah lolos dari pemeriksaan, kami mencari tempat senyaman mungkin untuk
mengikuti acara audiensi umum dengan
Paus Fransiskus. Karena kami agak terlambat datang ke Lapangan St. Petrus, maka harus puas dengan menyempil di antara kerumunan
pengunjung yang sudah duluan datang.
Sebenarnya kami
telah mengantongi satu kartu khusus untuk dapat mencari tempat yang lebih dekat
dengan pelataran di mana kita dapat
melihat Paus
secara dekat, karena terlambat tiba, maka kartu itu
hanya sebagai kenang-kenangan saja. Padahal kartu itu
sudah diambil jauh hari oleh seorang Suster Puteri Ratu Reinha Rosari (PRR) untuk kami.
Hari ini merupakan hari Raya
Pesta Bapa Santo Fransiskus Asisi. Tentu suatu hari
istimewa bagi Paus Fransiskus yang mengambil nama pelindung ponticifalnya. Beberapa pengunjung dan kelompok menyanyikan lagu Happy Birthday dengan riang
gembira sebagai tanda syukur ketika Paus memberi berkat dan bersalaman dengan
para peserta audience yang duduk di
bagian khusus dekat pelataran. Bagi peserta audience seperti kami, harus puas dengan melihat sosok Paus dari kejauhan, walaupun ada
beberapa anggota rombongan kami yang berusaha mendekat untuk sekadar mengambil foto atau video.
Panas terik
siang itu cukup menyengat kulit namun tidak mengurangi semangat para pengunjung
untuk berpose ria di komplek
lapangan St. Petrus. Sebelum melanjutkan untuk mengunjungi situs-situs
bersejarah di Kota Roma, saya dan salah seorang kawan, kebetulan kami berjumpa di lapangan St. Petrus. Dengan
senang hati, ia menemani kami untuk menunjukkan tempat makan yang sedikit cocok
dengan lidah Asia.
“Ayo der saya antar ke restoran
Asia, yang dikelola oleh Keluarga China,” kata
teman tersebut mengajak kami menyusuri gang-gang sempit menuju restouran tersebut.
Sesampai di restouran tersebut, kami meminta teman
tersebut memesan makanan pada pramusaji. “Bro, tolong pesankan makanan untuk kami,” ujarku.
Teman tersebut menghampiri pelayan dengan bahasa Italia
yang fasih, sembari melihat ke buku menu. “Ya. Ya, ya. Nasi putih, babi
kecap dan capcay,” kurang lebih seperti ini
terjemahan bahasa Indonesia komunikasi teman tadi dengan sang pelayan. Setelah
memesan makanan teman tadi mohon pamit kembali ke rumahnya karena ada janji
dengan temannya.
Kurang lebih 20
menit menunggu, sambil menyeruput minuman yang kami pesan, beberapa pengunjung
restoran berwajah oriental dengan kulit kuning yang kukira berasal dari daratan
China atau Jepang dan Korea masuk mencari meja
kosong. Setelah menunggu, akhirnya pelayan membawa
pesanan kami, dua piring nasi dan dua mangkok babi kecap yang untuk ukuran rumah makan di Indonesia
cukup untuk lima orang. Tidak
lama kemudian salad dan kimci mendarat di meja kami. Kami agak kaget, karena
capcay yang kami maksud itu seperti capcay di Pontianak. Yah, karena
kendala bahasa maka kami sulit komplain, cukup
puas dengan salad
dan kimci. Saya kira kimci ini, barangkali yang mereka
sebut dengan capcay. Apa boleh buat yang
penting kenyang.
Usai mengisi
kampung tengah, kami berjalan
menuju ke toko suvenir yang sesuai dengan kocek kami yang berlagak turis ini. “Toko Combardini,” demikian teman tadi meminta
kami mengingat nama toko yang lumayan murah untuk mencari oleh-oleh bagi handai taulan. Setelah
menemukan toko yang dimaksud,
kami mencari beberapa osario, Kalung Tau, Salib, gantungan kunci, dstnya, yang penting Euro pada dompet masih tersisa untuk kembali ke Belanda nantinya. Sebab kami masih akan
kembali dan tinggal selama seminggu di Belanda setelah dari ziarah ini.
Setelah merasa
cukup berbelanja buah tangan, kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke arah Castel Angelo, kemudian menyusuri jembatan antik yang melintasi sungai Rein. Setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Fontana Navona. Fontana Navona ini merupakan tempat pacuan
kuda pada zaman Romawi kuno. Tempat ini memiliki luas
sebesar kurang lebih lapangan bola dan di tengahnya terdapat dua kolam besar dengan
air mancur dan patung manusia telanjang tersandar pada satu batu yang
memancurkan air ke dalam kolam. Air mancurnya terdapat lima buah yang mewakili
lima benua di dunia. Di tepi lapangan ini juga, berdiri kokoh menjulang sebuah gereja
St. Maria Magdalena. Konon Mozart
Wolfgang pernah konser memainkan alat
musiknya di tempat itu.
Suatu pemandangan yang umum di alun-alun
Fontana ini, banyak seniman berekspresi sesuai dengan talentanya.
Ada pemain musik yang beraksi, ada pelukis, ada pantomin, ada
patung-patung hidup. Seolah
pengunjung dimanjakan dengan nilai-nilai seni. Beranjak dari Fontana, kami menuju ke Pantheon yang merupakan tempat
pemujaan masyarakat pada Dewa Zeus. Namun sekarang tempat ini menjadi sebuah gereja yang
dipersembahkan pada Bunda Maria. Di sisi-sisi dinding bangunan bagian dalam
Pantheon terdapat beberapa makam, salah satunya
makam Vittorio Emanuelle dan
Umberto I.
Untuk dapat
masuk ke dalam bangunan, kami harus rela
antre mengular karena banyak para pengunjung yang ingin
melihat bangunan yang unik ini. Keunikan tersebut terdapat pada atap yang
berbentuk kubah dan di tengah kubah tersebut berlobang dengan memiliki diameter satu meter, sehingga jika kita berdiri persis di bawah kubah tersebut kita dapat
melihat langit dari lobang tersebut, namun anehnya lobang tersebut
tidak membuat air hujan jatuh ke bagian dalam bangunan.
Setelah keluar
dari Pantheon kami menuju ke Fontana Trevi.
Di sini para
wisatawan menyemuti lokasi dengan menikmati
kolam
air mancur sembari membasuh kaki dengan airnya. Semua sibuk
masing-masing dengan kepentingannya. Pada latar belakang kolam itu terdapat tiga patung besar yang menempel di
tembok pada bangunan kuno. Menurut pameo, setiap pengunjung
yang melemparkan uang logam ke dalam kolam tersebut, suatu ketika di masa yang akan
datang akan kembali lagi ke Kota Roma. Entah benar atau tidak, pameo tersebut, namun saya mencoba melempar uang logam 1 euro ke dalam
kolam, dengan tidak terlalu berharap satu saat nanti akan
kembali ke Roma lagi, tetapi seandainya
kembali ke Roma lagi saya kira itu hanya kebetulan saja.
Setelah menikmati
air mancur dan kesumpekan pengunjung yang menyemut di sekitar kolam itu, saya masuk ke dalam gereja
yang berhadapan persis di depan kolam Trevi
ini. Dasar telinga kurang jelas menangkap kesepakatan untuk kembali ke
penginapan. Maka setelah keluar dari gereja, saya menunggu anggota rombongan untuk sama-sama meneruskan perjalanan kembali ke
penginapan. Ternyata saya saja yang
tertinggal di lokasi tersebut. Rombongan sudah berjalan menuju ke Stasiun Termini. Hal ini saya ketahui setelah menerima SMS
dari nomor handphone salah seorang anggota
rombongan. Oalah, saya ternyata menunggu
angin. Lalu saya
balas SMS tersebut. “Okey kalau
begitu saya mencari jalan pulang ke penginapan sendirian saja, dari pada saya
harus ke Termini,” pesan singkat yang kukirim.
Akhirnya saya terpaksa meraba-raba arah menuju ke penginapan. Saya
duduk sambil melihat lembaran peta kota Roma yang diberikan resepsionis penginapan. Dalam batin saya bergumam, seandainya tersesat pun
saya tidak akan hilang, karena kota Roma tidak terlalu luas yang penting saya
berjalan kaki saja. Untuk itu langkah pertama untuk bisa kembali ke penginapan,
saya berusaha
mengidentifikasi tempat di mana saya berada,
lalu mencocokannya di peta.
Setelah merasa yakin cocok, saya memutuskan untuk berjalan sembari memastikan arah
pada peta apakah benar arah menuju ke penginapan. Setelah melewati gang-gang akhirnya saya menemukan jalan raya besar
yang dalam ingatan saya bahwa arah penginapan ada di pinggir jalan raya besar
di mana kendaraan hilir mudik. Aku berjalan dengan satu tanda yang menyakinkan
bahwa arah saya benar, yakni sebuah gedung Universitas Angelicum, penginapan
kami persis di belakang universitas tersebut.
Dari pengalaman tertinggal sendiri di Fontana Trevi
ini, saya lalu ingat pameo melempar uang logam di kolam tadi, bukan sebagai terkabulnya harapan kembali ke Roma. Ternyata justru dapat
dengan mudah menemukan
kembali arah jalan ke penginapan.
Ini sekadar cerita dari saya
selama
dalam peziarahan ke Kota Asisi dan Roma.
Kedua kota ini memiliki hubungan erat dalam khazanah umat Kristiani, terlebih
dalam sejarah Fransiskan (Pengikut Fransiskus Asisi). Ziarah ke Kota Asisi dan
Kota Roma bagi saya seperti mempelajari kembali studi tentang spiritualitas
kristiani dan tentu mengingatkan kembali sebuah panggilan hidup. Jalan
panggilan menuju kekudusan hidup, berjarak terlalu dekat dengan jalan panggilan
menuju kedosaan. Hanya pertobatanlah yang dapat memberi bekal untuk perjalanan
menuju kekudusan. “Jatuh lalu kembali bangun,” demikian WS. Rendra
menggambarkan sebuah jalan menuju kesucian.
Ziarah merupakan salah satu cara untuk mengingatkan
kita pada hal-hal yang adikodrati sekaligus juga kodrati. Dengan bersentuhan
dengan yang adikodrati, kita akan semakin memahami arti kodrati dalam hidup
kita. Dalam arti kita mampu memanusiakan diri kita dengan berkata; “Memberi
arti pada keseharian kita sebagai sebuah panggilan hidup menuju sukacita
sejati.”
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Foto-foto: Koleksi Pribadi Br. Kris Tampajara, MTB