Benarkah Ada Perang Perbudakan di Tanah Dayak?

November 12, 2022
Last Updated


Benarkah terjadi perang perbudakan di tanah Dayak? Sebuah cerita hitam yang mendorong terjadinya perjanjian Tumbang Anoi? Temukan ceritanya dalam buku yang ditulis Damianus Siyok. Buku ini bakal beredar awal 2023.

Carl Schwaner meletakkan pantatnya. Demikian juga Tamanggung Ambu, tamanggung Pulau Petak yang terpelajar itu, mereka sama-sama melepaskan lelah di atas lantai ulin Balai Tomoi. Para pengawal yang membawa senjata api dan Mandau pun demikian. Mereka diterima Raden Pati, sang pemimpin Kuta Dewa.

Di dalam Kuta Dewa, Schwaner, pemuda Jerman berusia 30 tahun itu terpana memandang Nyi Balau. Tentu bukan karena kecantikan Nyai Dayak Ngaju itu, melainkan cerita tentang si Dia yang masyur di masa silam.

Apabila ditanya siapa perempuan hebat, orang Dayak Ngaju akan menyebut dua nama, yaitu Nyi Undang dan Nyi Balau. Keduanya simbol perempuan pemberani yang selalu jadi contoh bagi perempuan masa kini. Keduanya memang masyur karena menang dalam peperangan. Tapi bukan itu. Kemasyuran mereka karena keberanian dan kebijaksanaan. Jika Nyi Undang adalah simbol penghimpun pasukan, maka Nyi Balau adalah pengguna akal paling masyur.

Di hadapan  Schwaner, Nyi Balau memang sudah berumur. Itu sekitar tahun 1845. Tetapi, ketika muda pastilah Nyi Balau ini cantik jelita. Bukan, bukan itu yang hendak dikatakan. Tatkala muda, akal Nyi Balau mengalahkan kecantikannya.

Beberapa tahun silam, tatkala Nyi Balau masih muda, Kuta Tewah diserang laskar asang orang Ot Pari. Laskar itu datang dari sungai, mengepung Kuta Dewa dan meneriakkan yel perang. Dari segi jumlah laki-laki, penduduk Kuta Dewa jelas-jelas kalah jumlah. Namun para lelaki harus keluar dan berperang. Sebab itu panggilan! Jika tidak berperang artinya menyerah dan kalah. Sebab jika menyerah atau kalah tanpa berperang maka seluruh penghuni Kuta Dewa akan jadi tawanan perang orang Ot Pari. Nasib sebagai tawanan ya jadi budak. Budak tawanan perang adalah Jipen Kabalik yang bisa diperlakukan apa saja. Namun jika kalah perang, para lelaki yang tersisa, kaum perempuan dan anak-anak pun tetap menjadi tawanan perang.

Agar tidak jadi tawanan perang ya harus memang.  Namun peperangan tidak seimbang. Jumlah penduduk Kuta Dewa hanya 180 orang. Jumlah kaum lelaki kuat yang siap berperang tidak sampai  setengah dari jumlah itu. Sementara jumlah musuh tiga kali lipat dari kaum lelaki kuat. Meskipun demikian, Raden Pati dengan mandaunya yang mengkilat tetap keluar memimpin pasukan Kuta Dewa.

Nyi Balau tau, peperangan itu sungguh tiada seimbang dan laskar suaminya bisa kalah apabila tidak disokong. Sebelum kejadian menakutkan terjadi, Nyi Balau mengumpulkan para perempuan di dalam Kuta Dewa. Nyi Balau meminta para perempuan mengumpulkan Katambung (gendang panjang) dan meminta mereka memasang pantat Katambung keluar dari sela-sela Kuta. Oleh ulah kaum perempuan Kuta Dewa, terlihat oleh pasukan Ot Pari, pantat-pantat Katambung itu seperti mulut meriam yang siap memuntah peluru kea rah mereka. Oh my God, Kuta Dewa punya banyak meriam.

Setelah memasang seluruh katambung di sela kuta dan menjadi moncong meriam palsu, Nyi Balau meminta jipen (budak) perempuannya naik ke atas kuta, menghadap persis ke pasukan Ot Pari dan membuka seluruh pakaian. Jipen perempuan Nyi Balau yang telanjang di atas Kuta seraya menari. Semua pasukan Ot Pari terkejut dan melihat ke arah perempuan telanjang itu. Tapi itu kemalangan buat mereka. Segala kekuatan dan kesaktian perang mereka luntur tatkala melihat tubuh perempuan telanjang. Tiba-tiba nyali perang mereka ciut. Sejenak kemudian, Nyi Balau mendengar aba-aba, agar laskar Ot Pari mundur dan kembali ke perahu mereka di sungai.

Pasukan Ot Pari mundur dan pasukan Raden Kuta Dewa terbebas dari kemalangan besar. Nyi Balau dan kaum perempuan serta anak-anak di dalam Kuta Dewa pun bebas dari ancaman perbudakan seandaikan pasukan Raden habis dan kalah.

Schwaner melepas lelah! Dia harus istirahat, karena keesokan harinya dia harus melanjutkan perjalanan ke Kuta Batu Suli, Kuta termegah dan terkuat yang dihuni Kepala Onderdistrik Boven Kahaijan, Tamanggung Tundan.

Penulis: Damianus Siyok

Artikel Lain: Belajar Toleransi di Pedalaman, Agama hanya Jalan ke Tuhan

Selengkapnya